tirto.id - Partai Solidaritas Indonesia (PSI) turut menyesalkan penurunan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2022. Demi memperbaiki IPK, PSI sepakat agar komisi antirasuah lebih memperhatikan masalah korupsi politik.
“Ini harus menjadi bahan koreksi mendalam. Korupsi tidak boleh lagi ditangani secara biasa-biasa saja,” kata Juru Bicara DPP PSI, Ariyo Bimmo dalam keterangan tertulis yang diterima Minggu, 5 Januari 2023.
Bimmo menyebut pihaknya sepaham dengan KPK bahwa kunci meningkatkan IPK Indonesia adalah dengan menekan korupsi politik. Hal tersebut diperkuat dengan adanya penurunan di 3 sumber data indikator yang digunakan untuk mengukur IPK.
“Political risk service turun 13 poin, IWD competitiveness yearbook turun 5 poin, political and economic risk consultancy turun 3 poin. Kesemuanya terkait korupsi dan sistem politik,” kata Bimmo.
Untuk itu, ia berharap supaya praktik politik bersih terus diperjuangkan termasuk dengan memperbaiki akuntabilitas keuangan partai politik.
“Hal ini menjadi sinyal bagi kita semua, bahwa politik bersih masih harus diperjuangkan. Peran parpol diperlukan utamanya dalam memperbaiki akuntabilitas keuangan dan pendidikan anti korupsi bagi kader parpol," kata dia.
Berdasarkan laporan Transparency International (TI) terbaru, secara umum menunjukkan 124 dari 180 negara mengalami stagnasi Indeks Persepsi Korupsi (IPK) pada 2022, yang menurut lembaga tersebut, artinya menunjukkan tak adanya progres signifikan dalam pemberantasan korupsi.
IPK menggunakan skala 0 sampai 100, di mana 0 berarti sangat korup dan sebaliknya. Indeks ini didasarkan pada 13 sumber data independen yang menggambarkan persepsi tingkat korupsi di sektor publik menurut para ahli dan pelaku bisnis.
Laporan TI pada 2022 juga menunjukkan 68 persen dari 180 negara atau sebanyak 122 negara mencatat skor di bawah 50.
Indonesia adalah salah satunya. IPK Indonesia memiliki skor 34 di 2022, memburuk dibanding skor 38 di tahun sebelumnya. Bersamaan dengan itu, posisi Indonesia secara global juga anjlok, dari urutan 96 pada 2021 menjadi 110 setahun setelahnya.
Penulis: Fatimatuz Zahra
Editor: Abdul Aziz