tirto.id - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyoroti kemacetan di DKI Jakarta yang terjadi setiap hari. Kondisi ini dinilai karena masyarakat lebih memilih kendaraan pribadi dibandingkan menggunakan angkutan umum.
"Bapak-ibu kalau di Jakarta pagi macet, siang macet, sore macet, malam macet sekarang ini karena keterlambatan membangun itu," kata Jokowi saat peresmian Depo Kereta Api Maros di Maros, beberapa waktu lalu.
Walaupun demikian, Kepala Negara itu menyadari kemacetan terjadi akibat pembangunan transportasi massal di Jakarta yang telat. Sebab pembangunan transportasi massal seperti MRT dan LRT baru berjalan dalam beberapa tahun terakhir.
Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran), Deddy Herlambang menilai, persoalan kemacetan di DKI Jakarta memang bukan masalah baru. Berdasarkan catatannya belum ada pemerintah yang benar-benar serius mengolah kemacetan.
"Jadi selama tidak ada penyeimbangan antara pembatasan kendaraan pribadi dan juga ada tarikan, sulit. Sekarang tidak ada batasan orang bisa beli kendaraan lebih," kata Deddy saat dihubungi Tirto, Jumat (31/3/2023).
Menurutnya, selama pemerintah tidak membatasi kendaraan pribadi, maka akan sulit untuk mengurai kepadatan lalu lintas di DKI Jakarta. Belum lagi, salah satu hal menjadi bumerang membuat kemacetan ialah pemberian insentif kendaraan dari pemerintah.
"Makanya pemerintah juga harus membatasi pergerakan kendaraan ini. Ganjil genap kita tau sendiri kurang lah, kita setiap lewat Jakarta tetap macet tidak pengaruh. Karena mobil tambah. Apalagi satu orang bisa beli dua orang," jelasnya.
Oleh sebab itu, salah satu solusi yang hadir dan tepat untuk mengatasi permasalahan kemacetan adalah dengan kebijakan rencana penerapan jalan berbayar atau Electric Road Pricing (ERP) di DKI Jakarta. Menurutnya kebijakan ini akan cukup efektif dan adil bagi masyarakat.
"ERP itu sebenarnya adil. Berapapun motor Anda mobil Ada, Anda lewat harus bayar dan itu bukan pajak. ERP itu seperti denda atau sanksi denda. Karena Anda membuat kemacetan, Anda membuat polusi, pemerintah daerah kenakan denda. Dendanya melalui ERP itu," katanya.
Kendati demikian, dia mengusulkan kebijakan tarif ERP tersebut harus bersifat progresif dan fluktuatif. Misalnya semakin padat kendaraannya, tarifnya semakin tinggi. Sebaliknya kalau semisal longgar tarifnya bisa lebih murah.
"Tapi ketika padat macet, stuck itu baru diancam mahal makanya itu adil," katanya.
Di sisi lain, upaya pemerintah mendorong masyarakat untuk beralih kendaraan umum juga dinilai masih kurang efektif, terutama pada angkutan jalan. Saat ini, kata Deddy jumlah Transjakarta baik mikro trans atau metro trans masih kurang menggantikan kopaja atau metromini dulu.
"Jumlah masih kurang terutama yang di pinggir-pinggir mungkin di daerah Kebayoran lalu daerah Lenteng Agung itu kan masih kurang. Dulu ketika pagi di stasiun Kebayoran sudah berderet kopaja dan metromini tapi sekarang sudah tidak ada. Sekarang hanya ojol yang banyak, itu masalahnya," sebutnya.
Harusnya, pemerintah daerah bisa menambah rute Transjakarta yang ada di pinggiran. Paling tidak jumlahnya sama atau lebih banyak.
"Kosong tidak apa-apa namanya pemerintah harus menyediakan angkutan umum itu udah kewajiban pemerintah ada di Undang-Undang 22/2009 pasal 138 itu," katanya.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Reja Hidayat