tirto.id - Kemacetan di DKI Jakarta masih menjadi masalah yang kian meresahkan. Menurut laporan yang disusun oleh TomTom Traffic Index 2022, kemacetan membuat warga Jakarta kehilangan waktu sekitar 3 hari.
Laporan ini juga memberikan sinyal bahwa Jakarta semakin macet pasca-penanganan pandemi. Hal ini terlihat dari rerata waktu tempuh jarak 10 kilometer (km) yang makin meningkat di tahun 2022.
Dilaporkan, rata-rata di Jakarta perlu waktu 19 menit untuk menempuh jarak 10 km. Saat macet paling parah terjadi, butuh 25 menit untuk menempuh jarak tersebut.
Hari Jumat antara pukul 5-6 sore disebut sebagai waktu macet paling parah di Jakarta.
Menurut pakar transportasi Djoko Setijowarno, adanya pembuatan jalan baru, seperti tol, tidak mengatasi kemacetan di Jakarta. “Justru makin menambah populasi kendaraan yang dimiliki,” kata Djoko melalui pesan singkat, Sabtu (18/3/2023).
Djoko menilai perlu ada pembenahan transportasi umum di daerah penyangga seperti Bodetabek (Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi). Sebab, sekalipun moda transportasi umum di Jakarta membaik, warga dari Bodetabek tidak merasakan hal serupa sehingga memaksa mereka tetap menggunakan kendaraan pribadi untuk ke Jakarta.
“Sinergi pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat dilakukan untuk mempercepat penerapan pembenahan transportasi umum di wilayah Bodebatek,” ujar Djoko.
Djoko menyebut meskipun sudah ada KRL Commuter Line dan tidak lama lagi (rencana Juli 2023) akan beroperasi LRT Jabodebek, ini belum mampu mereduksi kemacetan di Jakarta.
Sebagai sebuah angkutan publik massal, pelayanan LRT Jabodebek tidak bisa bersifat tunggal, tapi harus terintegrasi, dari hulu hingga hilir, pra perjalanan (first mile), selama perjalanan, dan pasca perjalanan (last mile).
“Aksesibilitas ke 310 kawasan permukiman dan komersial harus ada untuk memberikan kemudahan bagi pengguna LRT Jabodebek,” terangnya.
Ia mengatakan bahwa anggaran rutin tahunan bantuan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang diberikan ke Pemkab/Pemkot di Bodetabek bisa difokuskan untuk membenahi transportasi umum di masing-masing wilayah Bodetabek.
“Jadi, tidak punya alasan kesulitan fiskal,” sambung Djoko.
Pengadaan transportasi umum harus didukung dengan pelayanan yang baik sehingga pelanggan betah memakai moda transportasi publik. “Simpul transportasi bertumpu pada faktor keterpaduan/integrasi yang terdiri dari pelayanan transportasi integrasi fisik, integrasi layanan/informasi, dan integrasi tarif,” imbuh Djoko.
Sementara itu, dia juga menyoroti jumlah kendaraan bermotor yang kian memenuhi sudut Jakarta dan menyebabkan kemacetan. Ia menyarankan untuk dilakukan pembatasan kendaraan bermotor, yang dinilainya mampu mengurangi kemacetan.
“Membatasi wilayah operasional sepeda motor dirasa perlu. Pajak dan asuransi yang tinggi sudah mulai dipikirkan untuk pemilik sepeda motor di kawasan perkotaan,” ungkapnya.
Djoko menyebut bahwa pembatasan mobilitas sepeda motor pernah dilakukan untuk ruas Jalan MH Thamrin-Jenderal Sudirman di Jakarta tahun 2016.
“Hasilnya, terjadi pengurangan volume kendaraan 22,4 persen. Persentase kecepatan kendaraan meningkat, semula 26,3 km per jam menjadi 30,8 km per jam,” pungkasnya.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fahreza Rizky