Menuju konten utama

Insentif Pemerintah Atasi Dampak Corona Baik, tapi Tanggung

Insentif pemerintah untuk mengantisipasi efek Corona dianggap "nanggung". Sektor lain yang juga penting tidak kebagian.

Insentif Pemerintah Atasi Dampak Corona Baik, tapi Tanggung
Menteri Keuangan Sri Mulyani bersiap mengikuti rapat terbatas (ratas) tentang peningkatan peringkat pariwisata Indonesia di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (17/2/2020). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/ama.

tirto.id - Pemerintah mengobral sejumlah insentif untuk membendung pengaruh Corona atau Covid-19 ke sektor ekonomi. Insentif cukup mencolok diberikan ke sektor pariwisata yang terdampak cukup parah. Potensi kerugian Indonesia karena berbagai larangan perjalanan--termasuk untuk para turis--mencapai setengah juta dolar AS per bulan, kata Menko Luhut Panjaitan.

Menko Airlangga Hartarto menyebut insentif untuk turis, baik lokal atau asing, ditambah Rp298,5 miliar. Sebanyak Rp98,5 miliar diberikan kepada maskapai dan agen, Rp103 miliar untuk keperluan promosi, dan kegiatan turisme lain sebesar Rp25 miliar. Ada pula alokasi Rp72 miliar untuk para influencer media sosial--yang belakangan banyak dikritik karena dianggap pemborosan.

Sementara Menhub Budi Karya Sumadi mengatakan insentif sebesar Rp860 miliar yang diberikan kepada Angkasa Pura dan Airnav dipakai untuk mendiskon harga tiket sebesar 50 persen, atau meningkat 20 persen dari rencana awal, untuk 10 destinasi wisata unggulan seperti Batam, Denpasar, Yogyakarta, dan Labuan Bajo.

Insentif sebetulnya tak hanya untuk sektor pariwisata. Selasa (25/2/2020) lalu pemerintah memastikan menggelontorkan duit Rp10,3 triliun ke berbagai sektor, termasuk untuk subsidi bunga perumahan dan dana sosial tambahan sebesar Rp4,6 triliun dalam rangka menjaga daya beli masyarakat.

Namun, seperti yang Menkeu Sri Mulyani katakan di hadapan ratusan pelaku usaha 26 Februari lalu, prioritas insentif ini memang sektor pariwisata.

Menurut ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira, paket insentif ini terbilang tanggung, meski tetap patut diapresiasi. Paket ini tidak menyertakan sektor-sektor lain yang sebenarnya juga terdampak, misalnya perdagangan dan pengolahan--cabang industri manufaktur.

“Sektor lain misalnya industri manufaktur dan perdagangan kan juga terdampak,” kata Bhima saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (26/2/2020).

Realisasi penerimaan pajak Januari 2020 mencatat sektor perdagangan hanya tumbuh 2,6 persen atau lebih lambat dibanding periode pertama tahun sebelumnya yang tumbuh 8,4 persen. Pun dengan industri pengolahan yang hanya tumbuh 4 persen, padahal tahun lalu bisa mencatatkan angka 5,4 persen.

Perlambatan memang belum sesignifikan sektor transportasi, tapi tetap harus diperhatikan, kata Bhima, karena pertumbuhan bea keluar industri pengolahan dan perdagangan juga melambat. Masing-masing melambat menjadi 38,66 persen dari 43,77 persen di Januari 2019 yoy dan 25,13 persen dari 127,88 persen yoy.

Beberapa kebijakan yang bisa dilakukan adalah pemberian pembebasan pajak bagi pelaku usaha yang omzetnya anjlok hingga 50 persen atau penangguhan bunga kredit ke bank BUMN. Dengan cara ini, efek lebih luas seperti kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) sampai keluarnya modal asing bisa ditekan.

Peneliti fiskal dari Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet juga menilai kebijakan inibelum maksimal meski patut diapresiasi. Sektor pariwisata yang paling getol dibantu, misalnya, sebenarnya tidak begitu berkontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), yaitu di kisaran 5,57 persen.

Menurutnya, sektor lain yang perlu dibantu adalah manufaktur yang juga menyerap banyak tenaga kerja. Pun dengan perdagangan. Dua sektor ini menyumbang PDB sebesar lebih dari 19 persen dan 13 persen. Jika terlambat diantisipasi, pukulan pada dua sektor ini akan lebih keras pada perekonomian nasional.

“Apakah masalah ini sudah dipikirkan oleh pemerintah? Meskipun terus menurun, manufaktur masih menjadi sektor sumbangan terbesar terhadap PDB,” ucap Yusuf kepada reporter Tirto, Rabu (26/2/2020).

Anggota Dewan Pakar Kamar Dagang dan Industri (Kadin) sekaligus mantan wakil Menteri Perdagangan tahun 2011-2014 Bayu Krisnamurthi mengaku ragu dengan efektivitas kebijakan insentif yang hanya berlaku untuk beberapa sektor ini. Menurutnya, saat ini pemerintah tak perlu tanggung menggenjot konsumsi.

Bayu mengatakan saat ini konsumsi menyumbang 56,62 persen dari struktur PDB 2019. Daya beli ini yang semestinya diperhatikan.

“Kalau momen lebaran nanti tidak ada dorongan pertumbuhan permintaan, jangan-jangan ekonomi kita pada level mikro bisa semakin tertekan,” ucap Bayu saat ditemui di Menara Kadin, Jakarta Kamis (27/2/2020).

Dikritik Sektor Pariwisata

Wakil Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran juga menilai kebijakan ini belum tentu menolong. Salah satu yang ia sorot terkait insentif yang dibatasi hanya terhadap 10 destinasi.

Menurutnya, tidak tepat jika 10 destinasi itu dipilih karena merupakan tujuan favorit turis Cina, yang menurut BPS mencapai 2 juta per tahun. Ia menegaskan bahwa dampak Corona tak hanya memukul Cina, tapi juga Korea Selatan, Singapura, dan Malaysia. Negara yang disebut terakhir bahkan menyumbang angka turis asing terbanyak, lebih banyak ketimbang Cina.

Dengan begitu, katanya, insentif juga semestinya diberikan ke daerah-daerah yang punya penerbangan langsung ke Singapura dan Malaysia.

“Kenapa 10? banyak pertanyaan dari kami,” katanya.

Pembatasan insentif bagi 10 destinasi wisata yang terletak di 33 kabupaten/kota itu menurutnya juga bermasalah karena akan menciptakan ketimpangan. “Persaingan usahanya gimana itu?” katanya.

Sri Mulyani mengatakan hotel dan restoran di 33 kabupaten/kota itu tidak akan dipungut pajak selama enam bulan ke depan.

Yusran juga mengkritik pembuatan paket insentif ini karena ia tidak melibatkan pelaku usaha. “Saya enggak mau terima kebijakan itu” kata Yusran.

Menko Airlangga mengatakan insentif bidang pariwisata akan terasa dampaknya tiga bulan ke depan. Saat itu pemerintah sekaligus akan mengevaluasi, apakah akan melanjutkan insentif ini atau tidak.

Baca juga artikel terkait WABAH VIRUS CORONA atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino