tirto.id - Vanessa Friedman selalu merasa cringe tiap kali mendengar kata influencer. Sayangnya, mengutip kolomnya untuk New York Times, istilah itu terlanjur dimasukkan dalam Kamus Cambridge.
Definisinya kurang lebih “orang atau kelompok yang punya kemampuan mempengaruhi opini atau mengubah perilaku orang lain”.
Contohnya, yang merepresentasikan pemahaman paling lazim di era kekinian, adalah seseorang atau kelompok (diklaim) mampu mempengaruhi orang-orang melalui media sosial.
Vanessa tertarik membahas tema tersebut setelah Kendall Jenner direkrut sebagai model sampul majalah Vogue India. Majalah terbit pada Mei 2017, bertepatan dengan perayaan ulang tahunnya yang kesepuluh.
Kendall adalah pesohor Amerika Serikat. Publik mengenalnya sebagai anggota keluarga Kardashian. Sebagian warganet segera menilainya sebagai bentuk cultural apropriation. Lainnya bertanya dalam nada retoris: “apa India sudah kekurangan model?”
Vanessa menjelaskan logikanya sederhana belaka: Kendall menggenggam lebih dari 80 juta pengikut di akun Instagram (kini sudah lebih dari 100 juta). Sang model otomatis punya kekuatan sebagai influencer yang menguntungkan bagi majalah Vogue.
Strategi marketing ini telah dijajaki oleh berbagai perusahaan sejak warga dunia makin kecanduan medsos dan jumlah influencer menanjak secara signifikan.
Semakin banyak pengikut yang dimiliki influencer, semakin mahal tarif memasang produk di akun medsosnya.
Penyewa jasa influencer harus benar-benar memperhitungkan dampak pengeluaran terhadap tingkat laba atas investasinya (return of investment). Jika tidak, mengutip ahli yang diwawancarai Vanessa, bisnis akan merugi, dan kemeriahan dunia influencer akan kolaps dalam 12 bulan ke depan.
Vanessa menulis laporannya pada Mei 2017. Prediksi si ahli rupanya tidak terwujud. Kini, menuju akhir bulan Juli 2019, strategi marketing ala influencer justru makin berkembang.
Sayangnya, tidak semua influencer menjalankan bisnisnya dengan mematuhi standar profesionalitas atau nilai etika. Sebagian dari mereka mencoreng reputasi influencer lain dan beberapa hari belakangan menjadi perbincangan yang viral di kanal medsos.
Contohnya seperti yang dikisahkan dalam unggahan akun Facebook bernama Teddy Satrio Wibowo pada 16 Juli 2019. Isinya berupa pengalaman teman Teddy, mantan pebisnis kue risoles, yang diajak kerja sama oleh seseorang yang mengaku sebagai influencer Instagram dengan pengikut lebih dari 200 ribu orang.
Si influencer meminta dikirim 500 buah risoles. Sebagai gantinya, risoles akan dipromosikan melalui tiga unggahan Instagram. Ia menyatakan kerja sama tersebut akan berdampak positif untuk bisnis teman Teddy karena pengikutnya termasuk “aktif lho”.
Teman Teddy menolak dengan alasan risolesnya lebih terkenal ketimbang si influencer. Ia menambahkan dirinya akan merugi secara modal dan tenaga dalam kerja sama itu.
“Apresisasi kerja keras orang lain, semuanya tidak gratisan,” demikian bonus nasihat untuk si influencer.
Unggahan Teddy dibagikan hingga lebih dari 6.000 kali. Ini belum termasuk ribuan retweet di Twitter dan pemberitaan di media massa.
Warganet saling berbagi pengalaman serupa. Ada yang kalem. Namun ada juga yang terang-terangan menyindir influencer sebagai “gembel generasi baru”.
Dua minggu yang lalu wartawan senior Kompas Andreas Maryoto menulis kolom dengan judul provokatif: "Menunggu Kejatuhan Rezim 'Influencer'”.
Ia membagi pengalaman beberapa rekannya yang bergerak di kehumasan. Mereka kerepotan mengurus para influencer yang menetapkan harga secara semena-mena.
Para influencer juga mengajukan macam-macam permintaan. Mulai dari produk, fasilitas hotel mewah, hingga penerbangan kelas utama.
Andreas mengutip studi sebuah lembaga asal Swedia yang mengakses 1,84 juta akun Instagram di 82 negara.
Hasilnya menyebutkan mayoritas influencer melakukan tindakan tidak terpuji, seperti membeli akun palsu, memanipulasi like dan komentar, dan menggunakan bot atau program komputer.
New York Times melaporkan pembelian akun palsu melalui situs-situs seperti Social Envy atau DIYLikes.com adalah solusi instan yang kerap dilakukan influencer. Situs tidak pernah mengungkap apakah ada orang betulan yang berada di balik akun bodong, atau semata hanya berstatus bot.
Satu fakta pasti: kasus pencurian foto maupun identitas diri untuk bisnis jual-beli akun marak terjadi di Amerika Serikat dan negara-negara lain.
Kate Jones adalah manajer komunikasi dan marketing di resor bintang lima Dusit Thani di Maladewa.
Kepada jurnalis Atlantic, Taylor Lorenz, ia bercerita bahwa setiap hari minimal ada enam influencer yang menghubungi hotelnya melalui pesan Instagram untuk meminta pelayanan menginap gratis.
“Mereka bilang, ‘aku berencana melancong ke Maladewa selama 10 hari dan aku akan mengunggah konten untuk sekitar 2.000 pengikutku’. Atau orang dari Facebook dengan 600 teman yang bilang ‘Hai, aku influencer, aku ingin menginap di hotelmu selama 7 hari.”
Kate melanjutkan, “lainnya mengirim pesan kabur seperti ‘aku ingin berkolaborasi denganmu’ tanpa penjelasan lain. Orang-orang ini berharap pelayanan lengkap. Maladewa bukan tujuan wisata yang murah.”
Cerita serupa datang dari Jack Bedwani. Pemilik agen konsultan merek The Projects itu memiliki beberapa teman yang berprofesi sebagai manajer humas hotel dan kelab malam di Bali.
“Mereka mendapat lima hingga 20 permintaan dalam sehari dari mereka yang mengaku sebagai influencer,” katanya.
“Kamu bisa menyaring yang amatir dan yang profesional dengan sangat cepat. Sebagian bernada dingin dan ditulis dengan buruk. Lebih seperti pesan SMS kepada teman untuk undangan makan malam, alias bahasa sehari-hari. Mereka tidak memberikan alasan mengapa orang harus berinvestasi ke mereka.”
Pada September 2018 PR Week mempublikasikan temuannya perihal influencer palsu yang merugikan banyak lini bisnis. Agen merketing AS, Mediakix, memperkirakan total kerugiannya bisa mencapai $100 juta per tahun.
PR Week kemudian mengadakan survei OnePoll. Respondennya hampir 300 pengambil kebijakan senior yang berkecimpung di bidang komunikasi marketing di Inggris. Hasilnya mengungkap dua pertiga responden setuju bahwa influencer palsu adalah masalah yang akan memburuk dalam dua tahun ke depan.
Sejumlah pihak merasa terlalu gerah dengan kelakuan absurd para influencer. Mereka ada yang akhirnya mengambil kebijakan tegas. Ambil contoh pemilik hotel mewah The White Moose Café, Paul Stenson.
The White Moose Café terletak di Dublin, Irlandia. Pada Januari 2018 Paul membagikan pengalamannya di laman Facebook saat ia dihubungi oleh Elle Darby, influencer asal Inggris, melalui surel.
Elle meminta penginapan gratis selama beberapa hari berada di Kota Dublin. Sebagai gantinya, ia akan memasukkan profil The White Moose Café ke konten YouTube dan medsosnya.
Paul menolak. Alasannya serupa dengan yang diungkapkan pebisnis risoles pada awal artikel ini: selain bisnisnya sudah memiliki ribuan pengikut, siapa yang akan menggaji resepsionis dan karyawan yang akan melayani sarapan hingga kebersihan kamar Elle? Juga biaya listrik, laundry, dan lainnya?
Meski Paul tidak menyebut nama, publik dengan mudah mengidentifikasinya sebagai Elle. Elle mendapat respons negatif dari warganet. Ia sampai perlu mengunggah video klarifikasi tentang bagaimana ia merasa amat malu, marah, sekaligus terhina dalam insiden tersebut.
Kisah yang lebih populer datang dari Joe Nicchi, penjual es krim asal Los Angeles, Amerika Serikat. Merek dagangnya bernama CVT Soft Serve. Beberapa minggu belakangan truk jualan Joe mulai kedatangan para influencer.
“Mereka bilang ‘Hai, apa kabar. Jadi, mungkin kamu belum follow aku tapi aku punya 100.000 follower. Boleh minta es krim gratis? Nanti aku posting bisnismu di story-ku’,” katanya kepada LA Times.
Joe selalu menolak. Tapi barisan peminta es krim gratis muncul, minimal sekali dalam satu minggu. Lama-kelamaan ia muak, lalu mengambil kebijakan baru: influencer yang ingin beli es krimnya dikenakan harga dobel.
Joe juga mengumumkannya melalui akun Instagram CVT Soft Serve. Keterangan dan tagarnya terdengar galak: “Kami benar-benar tidak peduli jika kamu seorang influencer, atau berapa banyak pengikutmu.. Ini cuma $4 per buah… Ya, sekarang $8 untukmu. #InfluencersAreGross”.
Kepada Guardian ia menyatakan diri sebagai anti-influencer influencer. “Itu aneh, tapi kukira juga sangat asyik. Aku harap langkah ini akan menginspirasi pelaku bisnis kecil lain untuk setia dengan aturan jual-belinya dan berani bersuara.”
Editor: Windu Jusuf