Menuju konten utama

Perlukah Memisahkan Akun Medsos Pribadi dengan Profesional?

Sebanyak lebih dari 40 persen pemberi kerja akan melihat rekam jejak calon karyawannya.

Perlukah Memisahkan Akun Medsos Pribadi dengan Profesional?
Ilustrasi Media Sosial. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Media sosial adalah tempat paling menyenangkan untuk ‘pamer’ atau berkeluh kesah bagi sebagian orang. Bagi kelompok ini, aktivitas receh seperti makan, bengong, atau sambat tentang pekerjaan kantor pun bisa jadi konten. Tapi bagaimana jika unggahan-unggahan itu justru menjadi bahan evaluasi atasan atau rekan kerja atas kinerja Anda?

Terra, seorang pekerja di sebuah startup berbasis teknologi di Jakarta pernah memblokir dua orang teman kantor di akun Instagram pribadinya. Meski kemudian ia membuka blokir, Terra tak pernah lagi berkawan dengan mereka. Kedua rekan kerja itu dianggapnya mengganggu, setelah sering berkomentar soal kerjaan di unggahan yang sama sekali tak berhubungan dengan urusan kantor.

“Yang satunya malah jadiin unggahan aku sebagai bahan gosip di kantor, bareng atasan pula. Kan bikin malas,” kata perempuan berusia 24 tahun ini.

Padahal, ia sengaja memisahkan media sosial antara urusan kerjaan dan pribadi. Instagram sengaja dikonsep untuk berbagi cerita sehari-hari, tanpa membawa embel-embel tugas kantor. Terra hanya mempersilakan orang-orang yang dianggap ‘asyik’ di hidupnya untuk menjadi pengikut di Instagram. Sementara itu, Facebook dan Twitternya ditempatkan sebagai akun publik.

Semua hal yang berhubungan dengan pekerjaan, termasuk soal kegiatan dan rencana kantor ia bagikan dalam kedua akun tersebut. Pengaturan akun Facebook dan Twitter Terra juga disetel publik, berbeda dengan Instagram yang ia gembok untuk umum. Baginya, pemilahan semacam ini perlu dilakukan untuk menerapkan batas antara urusan pekerjaan dan pribadi.

“Aku enggak suka kalau urusan pribadi dibawa-bawa ke kantor, dan aku punya dunia yang harus terbebas dari kerjaan, biar enggak stres.”

Media Sosial sebagai Representasi Citra Diri

Pembatasan semacam ini juga dilakukan oleh Trisna, 26 tahun. Sebagai jurnalis sekaligus pekerja seni, Trisna memiliki lebih dari satu akun Instagram. Satu akun khusus disiapkan sebagai portofolio lukisan dan gambar-gambar miliknya, sementara akun yang lain berfungsi sebagai representasi dirinya sebagai pribadi sekaligus seorang jurnalis.

Akun media sosial lainnya ia gunakan pengaturan khusus, ada beberapa unggahan di Facebook yang hanya bisa dilihat oleh teman dekat atau orang-orang tertentu. Sementara itu, unggahan yang bersifat umum ia bagikan untuk publik. Lain lagi dengan akun Twitter. Di platform tersebut, unggahannya sedikit disesuaikan sehingga bisa dinikmati secara umum.

“Dengan pengaturan semacam itu, gue enggak perlu bingung kalau klien atau bos minta pertemanan di medsos. Jejak digital gue bersih,” ujarnya.

Trisna memahami bahwa media sosial miliknya sangat penting dikelola guna meninggalkan jejak digital yang bagus. Jika harus pindah pekerjaan nantinya, ada portofolio digital yang positif tentang citra dirinya. Ia juga tak perlu risau ketika ada rekan di lingkaran profesional yang mengajukan pertemanan di media sosial, sebab unggahannya telah disesuaikan.

Menerima permintaan pertemanan di media sosial dari lingkar profesional kadang memang menjadi dilema. Di satu sisi, media sosial sering menjadi tempat mengeluarkan ekspresi dan unek-unek pribadi, sehingga kurang cocok untuk citra profesional. Namun, di sisi lain, ada rasa kurang enak hati ketika menolak permintaan pertemanan semacam itu. Sebanyak 40 persen responden dalam studi yang dipacak di Laman Harvard juga merasa harus menerima permintaan teman dari kontak profesional.

Strategi pengaturan seperti yang dilakukan Terra dan Trisna menjadi langkah tepat untuk mengelola audiens dan konten medsos mereka. Unggahan konten bisa disesuaikan dengan kebutuhan pribadi maupun profesional, tergantung dari jenias pengikut media sosialnya. Dengan begitu reputasi profesional mereka tetap terjaga, tapi tak kehilangan identitas pribadi yang jujur dan hidup.

“Jenis pengaturan seperti ini sering digunakan jurnalis dan tokoh masyarakat, untuk memperjelas kapan mereka berbicara sebagai pribadi atau dalam kapasitas profesional,” tulis Harvard.

Meski sudah menerapkan pemisahan pada akun media sosial, Ariane Ollier dan Nancy P. Rothbard, profesor di bidang manajemen, penulis di laman Harvard tersebut, menekankan tidak ada strategi media sosial pribadi yang sempurna. Karenanya, kesadaran konteks penting diterapkan saat membikin unggahan di media sosial.

Infografik Membatasi Media Sosial Pribadi

Infografik Membatasi Media Sosial Pribadi & Profesional. tirto.id/Sabit

Jejak Digital Para Pencari Kerja

Melakukan pembatasan pada konten digital bukan tindakan merepotkan yang sia-sia belaka. Urusan jejak digital nyatanya dapat mempengaruhi penilaian profesional dan kesempatan kerja masa depan. Survei yang dilakukan Career Builder menyebutkan, sebanyak 40-60 persen manajer perusahaan mengamati medsos calon karyawannya.

Ada beberapa alasan bagi mereka untuk tidak menerima calon karyawan dilihat dari unggahan media sosialnya. Sebanyak 46 persen memilih mencoret kandidat ketika menemukan unggahan provokatif atau tidak pantas. Lalu, 41 persen karena unggahan minuman beralkohol atau menggunakan narkoba. Ada 36 persen manajer mengeliminasi kandidat akibat rekam jejak buruk terhadap perusahaan sebelumnya.

Selebihnya adalah menyoal keterampilan komunikasi buruk 32 persen, akibat komentar diskriminatif SARA 28 persen, berbohong tentang kualifikasi 25 persen, membagikan informasi rahasia dari atasan sebelumnya 24 persen. Kemudian, pelamar terkait dengan tindak kriminal 22 persen, nama di akun media sosial tidak profesional 21 persen, dan pelamar berbohong tentang ketidakhadiran mereka sebanyak 13 persen.

Namun, perlu diingat, meski sudah menerapkan pemisahan pada akun media sosial, Ariane Ollier dan Nancy P. Rothbard, profesor di bidang manajemen, penulis di laman Harvard, menekankan tidak ada strategi media sosial pribadi yang sempurna. Terkadang, meski sudah memisahkan akun media sosial, citra profesional tidak akan terlepas dari citra pribadi.

Contohnya ketika seorang jurnalis menyatakan pendapat politiknya di akun pribadi, bukan di akun profesional, publik akan tetap melihatnya sebagai pewarta yang tidak netral. Atau, pada seorang pebisnis, keputusan kerjasama dari klien bisa didasarkan pada penilaian pribadi, cara berkawan di dunia maya, dan rekam jejak bisnis yang ditelusuri dari akun media sosial pribadi.

Karenanya, kesadaran konteks dan kontrol diri sebagai pribadi maupun profesional penting diterapkan ketika membikin unggahan di media sosial. Dengan begitu, kita tak perlu khawatir terhadap dampak masa depan dari unggahan kita sekarang.

Baca juga artikel terkait MEDIA SOSIAL atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani