Menuju konten utama

Indonesia Siap Akses Imunoterapi, Harapan Baru Pasien Kanker

Dengan penanganan medis yang tepat, pasien kanker bisa tetap hidup produktif dan berkualitas.

Indonesia Siap Akses Imunoterapi, Harapan Baru Pasien Kanker
Ilustrasi imunoterapi. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Transformasi pengobatan kanker sudah sampai ke taraf paling modern. Tak perlu ke luar negeri, Indonesia siap akses imunoterapi.

Sudah lima tahun lebih Tetty Lidiawati Suwardhana, 50 tahun, bertarung dengan kanker endormetrium stadium III C. Tapi ia belum mau menyerah. Sel-sel kanker di tubuhnya berhasil ia pukul mundur hingga ke titik terendah berkat menjalani imunoterapi.

Kira-kira sebulan paska saudarinya meninggal akibat kanker payudara, Tetty memutuskan melakukan pemeriksaan kesehatan. Ia tak menyangka, Oktober 2014 akan menjadi hari yang paling mengerikan dalam hidupnya. Tetty diminta melakukan pengangkatan rahim karena didiagnosis kanker serviks stadium I B.

“Akhirnya saya operasi, tapi hasil patologi anatomi (PA) bersih, bertolak belakang dengan PA pertama,” katanya kepada Tirto, Rabu, (18/12/2019).

Sebelumnya Tetty memang mendapat hasil PA dari tindakan kuretase di sebuah rumah sakit wilayah Jakarta. Satu tahun kemudian hasil Positron Emission Tomography-Computed Tomography (PET/CT) Scan menunjukkan kanker masih ada di daerah pelvis. Atas saran seorang teman, Tetty terbang ke Singapura guna memastikan penyakitnya.

Tetty patut cemas. Selain saudari, ibunya juga meninggal akibat kanker payudara. Artinya, ia memang memiliki risiko kanker lebih besar dari orang biasa. Di Singapura, ia didiagnosis kanker endometrium dengan penanda kanker (Cancer Antigen 125) mencapai angka 500 U/mL. Padahal angka normal berkisar antara 0-35 U/mL.

Tetty kemudian menjalani kemoterapi. Nilai penanda kankernya memang turun, tapi masih berada di angka 200 U/mL. Ia lalu melanjutkan terapi radiasi dengan hasil penanda kanker 92 U/mL, tapi muncul sel kanker baru yang akhirnya kembali diberi tata laksana kemoterapi. Saat itu penanda kankernya naik menjadi 192 U/mL.

Pada Desember 2016, dokter menemukan kanker yang metastasis (menyebar) ke kepala. Dengan berbagai pertimbangan, tim medis menghentikan terapi dan memberi tiga pilihan pengobatan: kemoterapi dengan obat berbeda, uji coba obat baru, atau menjalani imunoterapi.

“Kanker saya memang tergolong bandel, dokter juga bilang ini hanya bisa dilokalisir dan jangan berharap hilang.”

Tetty memberanikan diri menjajal imunoterapi. Ia berpikir setidaknya terapi ini sudah terbukti berhasil di kasus kanker lain (saat itu belum tersedia imunoterapi untuk kanker endometrium). Januari 2017, ia menjalani imunoterapi pertama. Setelah melalui serangkaian tes, ternyata obat yang paling cocok adalah pembrolizumab.

Saat itu standar pengobatan pembrolizumab baru digunakan untuk imunoterapi kanker paru dan kolon. Kira-kira dua tahun berlalu, pada Februari 2019, Tetty menyelesaikan 33 siklus imunoterapi. Awalnya untuk mengontrol angka penanda kanker, ia melakukan cek kesehatan rutin setiap tiga minggu sekali dan PET/CT Scan secara berkala.

“Saya terapi setiap tiga minggu sekali. Setelah pakai imunoterapi, penanda kanker saya stabil di angka 20-an dan hasil PET/CT Scan membaik,” katanya.

Paling banter ia merasakan gatal selama tiga hari setelah imunoterapi. Efek minim itu jelas tidak sebanding dengan kemoterapi karena membikin penurunan sel darah putih, trombosit, serta mual muntah selama lima hari. Tetty hampir tidak merasakan efek negatif dari pengobatan anyar ini.

Bahkan, katanya, seperti tidak melakukan pengobatan kanker.

Peta Pengobatan Kanker di Indonesia

Indonesia meraih posisi kedelapan dengan jumlah kasus kanker terbanyak di Asia Tenggara. Di Asia, peringkatnya duduk di urutan ke-23. Menurut data Riset Kesehatan Dasar 2018, jumlah kasus kanker naik menjadi 1,79 dari 1,4 per 1000 penduduk di tahun 2013. Angka kejadian tertinggi kanker pada pria adalah kanker paru dan liver, sementara pada perempuan adalah kanker payudara dan leher rahim.

Berdasarkan data dari Cancer Statistics 2019, jenis kanker paling mematikan pada pria adalah kanker paru (24 persen), prostat (10 persen), kolon (9 persen), pankreas dan liver masing-masing 7 persen. Kemudian pada perempuan jenis kanker dengan tingkat kematian tertinggi ada pada kelompok kanker paru (23 persen), payudara (15 persen), kolon dan pankreas 8 persen, serta ovarium 5 persen.

Perkembangan teknologi terapi kanker dimulai pada tahun 1809. Saat itu para dokter biasa melakukan tindakan bedah (operasi) untuk mengambil sel kanker, kemudian di tahun 1896 berkembang menjadi tindakan radiasi (radioterapi). Kemoterapi mulai diperkenalkan menjadi tindakan medis di tahun 1940-an dan masih dilakukan hingga kini.

Lalu, pada tahun 1990-an evolusi pengobatan kanker sampai pada tindakan terapi target guna memblok sel kanker agar tidak berkembang. Tahun 2000-an metode imunoterapi mulai diperkenalkan sebagai tata laksana medis teranyar untuk kanker. Sementara di Indonesia, metode ini mulai diterapkan sejak Agustus 2016 dengan akses khusus Kementerian Kesehatan dan kini telah digunakan secara lebih luas.

Sejak Juni 2017, BPOM memberi izin edar pembrolizumab sebagai obat imunoterapi pertama yang tersedia di Indonesia untuk pengobatan kanker paru. Kemudian baru-baru ini Roche Indonesia juga memperkenalkan atezolizumab sebagai tambahan obat imunoterapi di Indonesia.

“Imunoterapi di Indonesia digunakan untuk kasus stadium lanjut, setelah pengobatan lini satu tidak berhasil, baru untuk lini kedua,” papar Arif Riswahyudi Hanafi, dokter Spesialis Paru dari Rumah Sakit Kanker Dharmais dalam diskusi terbatas ‘Memahami Imunoterapi Kanker’ akhir November lalu.

Arif adalah dokter yang sudah pernah menangani imunoterapi untuk pasien kanker paru dan kulit melanoma. Di Indonesia, terapi ini sudah bisa digunakan untuk beberapa jenis kanker yang memiliki ekspresi Programmed Death-Ligand 1 (PD-L1). Jadi, untuk mendapatkan pengobatan seperti yang didapat Tetty, tak perlu datang jauh-jauh ke luar negeri, sebab imunoterapi sudah siap akses di Indonesia.

Imunoterapi merupakan metode pengobatan kanker dengan mekanisme memperkuat sistem kekebalan tubuh untuk melawan kanker. Pada kondisi normal, imun berfungsi untuk melawan infeksi atau penyakit yang masuk ke tubuh. Awalnya imun juga memerangi sel kanker, namun sel-sel ini terlalu “lihai” mengelabui dan mampu berubah serta beradaptasi untuk menghindari kerusakan dari sistem imun.

Saat sel kanker dan sel T berinteraksi, sebuah protein di sel kanker yang disebut PD-L1 melumpuhkan sel T sehingga sel-sel imun tidak dapat mengenali dan membunuh sel-sel kanker. Melalui imunoterapi, interaksi ini dicegah sehingga sel T bisa mendeteksi dan membasmi sel-sel kanker. Imunoterapi bekerja dengan mencegah interaksi antara sel T milik sistem imun dengan sel kanker.

“Gambarannya obat ini bekerja dengan cara memegang tangan sel kanker supaya imun bebas membunuh sel kanker. Jadi bukan obatnya yang membunuh kanker, tapi imun kita,” lanjut Arif.

Infografik Pengobatan Kanker

Infografik Pengobatan Kanker. tirto.id/Sabit

Coba-coba Obat agar Selamat

Pada September 2014, saudari perempuan Tetty meninggal akibat kanker payudara. Ia bertahan hidup hingga lima tahun sampai kemudian kondisi kesehatannya menurun drastis. Selama itu Tetty acapkali menemani saudarinya pergi berobat ke dokter. Namun, obat-obatan yang diberikan adalah sejenis herbal. Tetty merasa janggal.

Menurut Riskesdas 2018, prevalensi penanganan kanker di Indonesia paling banyak dilakukan dengan tata laksana pembedahan/operasi (61,8 persen). Kemudian baru kemoterapi mengambil porsi sebanyak 24,9 persen, radiasi 17,3 persen, dan pengobatan lainnya 24,1 persen. Meski teknologi pengobatan kanker sudah maju, masih banyak penyintas yang memilih terapi non medis sebagai penyembuhan.

Misalnya saja ketika tersiar kabar tentang sebuah rompi ciptaan Warsito Purwo Taruno bisa menyembuhkan kanker, masyarakat berbondong-bondong mencari rompi tersebut. Atau soal Ningsih Tinampi yang kabarnya bisa menyembuhkan kanker paru, payudara, usus, hingga kelenjar getah bening. Antrean pasiennya bahkan sudah terdaftar hingga tahun 2021.

Saat tiga orang remaja memenangkan sebuah lomba di Korea atas temuan bajakah sebagai penawar kanker, tanaman langka ini pun langsung diburu. Bahkan seorang penyintas kanker payudara stadium 4A, Evita, bukan nama asli, 33 tahun, pontang-panting mencari tanaman ini langsung ke beberapa kenalan di Kalimantan.

Ia tahu tanaman ini termasuk langka dan sudah dilarang untuk keluar Kalimantan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan. Tapi, menurutnya langkah ini adalah salah satu bentuk usaha mencapai kesembuhan. Hingga akhirnya pertengahan Agustus lalu, Evita menghubungi seorang suku dayak asli untuk menanyakan keberadaan bajakah.

Hasilnya nihil. Salah seorang rekan Evita pun sudah tidak pernah melihat tanaman yang konon digunakan turun temurun untuk menyembuhkan kanker itu. Hingga Oktober lalu, seorang saudara yang sedang berdinas di Kalimantan pulang membawakan bajakah untuknya.

"Ya, medis juga jalan, saya tahu ini bukan obat, tapi alternatif atau suportif saja," ungkapnya kepada Tirto, sembari mengaku khawatir perbuatannya akan dituding ilegal.

Salah satu peneliti kesehatan, Yazid Rafli Akbar, saat dikonfirmasi Tirto mengamini fenomena perburuan bajakah paska berita terkait tersiar secara luas. Banyak orang akhirnya menanyakan jenis dan ketersediaan bajakah. Namun, ia memastikan hanya keluarganya yang tahu jenis bajakah yang digunakan dalam penelitian.

Yazid tak menyarankan masyarakat untuk menjajal ramuan bajakah, terlebih hasil penelitiannya juga masih berada di tahap awal. Dari pantauan Tirto, ekstrak bajakah banyak ditawarkan secara online dalam bentuk serbuk, kayu kering, atau teh. Harganya dibanderol bervariasi, mulai dari Rp100-an ribu hingga jutaan rupiah.

“Bajakah itu banyak jenis, yang di luar entah benar atau salah,” ujar Yazid tak menjamin.

Padahal untuk bisa menjadi terapi kanker yang terbukti efektif, suatu penemuan harus melewati serangkaian uji klinis dan medis. Tujuannya demi memastikan keamanan dan keektifan terapi. Namun, seringkali ketika disanggah dengan argumen medis, sebagian kelompok menganggap pemerintah hanya ingin menjatuhkan inovasi anak negeri.

Studi yang terbit di Journal of the National Cancer Institute (JNCI, 2017) sudah membuktikan pengobatan tanpa dasar ilmiah bisa membikin penyakit kanker semakin parah. Ketika pasien kanker mensubtitusi terapi medis dengan pengobatan alternatif, maka risiko kematian akan naik menjadi 2,5 kali lipat.

“Banyak ketidaktahuan yang membikin pasien sudah keluar uang banyak tapi tidak ada hasilnya,” tambah Arif Hanafi, dokter spesialis paru dari RS Kanker Dharmais dalam acara yang sama.

Infografik Pengobatan Kanker

Infografik Pengobatan Kanker. tirto.id/Sabit

Beruntungnya Tetty termasuk penyintas kanker yang melek informasi. Belajar dari pengalaman ibu dan saudarinya, Tetty memutuskan menjalani pengobatan medis. Selama lima tahun pengobatan, ia sudah melalui berbagai macam efek turunan terapi, mulai dari terganggunya saluran pembuangan air kecil, infeksi, skoliosis, fraktur tulang, hingga depresi.

Namun, semua rintangan itu tak membuatnya patah arang melawan kanker. Bahkan selain beberapa kali menjadi pembicara dan berbagi pengalaman (terutama dengan sesama penyintas), Tetty masih melakukan supervisi bisnis pendidikan yang ia kelola.

Di lantai bawah rumahnya, Tetty mendirikan bimbingan belajar untuk aritmatika, megabrain teknik, baca, tulis, dan berhitung. Ia juga masih sempat menyelakan waktu merangkai bunga atau merajut. Tetty adalah bukti bahwa jika diobati secara tepat, penyintas kanker bisa hidup produktif dan berkualitas.

Perbincangan malam itu ditutup dengan sebuah kalimat yang ia pegang sebagai cambuk semangat: Berserah bukan berarti menyerah, selama masih ada kesempatan, maka lakukan!

Baca juga artikel terkait KANKER atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Eddward S Kennedy