Menuju konten utama
World Bank:

Indonesia Perlu Kebijakan Tepat untuk Kelas Bawah dan Menengah

Menurut Caroline, meningkatkan kelas bawah dan kelas menengah dalam waktu yang bersamaan bukan sesuatu yang mustahil.

Indonesia Perlu Kebijakan Tepat untuk Kelas Bawah dan Menengah
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro (kanan) menjadi pembicara dalam lokakarya di Jakarta, Senin (22/5). ANTARA FOTO/Galih Pradipta

tirto.id - Peneliti World Bank Caroline Sanchez mengatakan tugas pemerintah Indonesia saat ini tidak hanya berfokus pada salah satu pilihan antara mengentaskan kemiskinan atau meningkatkan kelas menengah, melainkan keduanya. Menurutnya, bukan hal mustahil untuk mencapai keduanya bersamaan, jika adanya kebijakan yang tepat.

“Ini bukan suatu pilihan apakah fokus ke kelas menengah atau mengurangi kemiskinan karena jika ada kebijakan yang tepat, bisa menuntaskan persoalan di keduanya,” ujar Caroline di Jakarta pada Senin (4/12/2017).

Kelas menengah ini sangat penting dikarenakan dapat menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi yang inklusif, yaitu mengurangi kemiskinan dan juga menyediakan ruang untuk mobilitas sosial masyarakat naik, alhasil menciptakan kemapanan ekonomi. Caroline menyatakan hal tersebut sebab kelas menengah memiliki daya konsumsi, membayar pajak, dan mampu menciptakan lapangan pekerjaan.

Langkah yang perlu diambil oleh pemerintah Indonesia untuk mencapai taraf tersebut adalah memberikan perhatian optimal terhadap investasi di bidang pendidikan dan infrastruktur publik, seperti sanitasi. “Ada kesenjangan, sanitasi tidak hanya masalah untuk kelas miskin, tapi juga kelas menengah, baik yang hampir kelas menengah atau kelas menengah yang kuat. Kedua kelas menengah itu untuk mendorong masyarakat lainnya,” ungkapnya.

Menanggapi hal itu, Menteri PPN/Bappenas Bambang Brodjonegoro lantas mengatakan mulai saat ini pemerintah perlu memberikan perhatian intensif untuk alokasi 20 persen dari Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) untuk pendidikan setiap daerah di Indonesia. Dalam hal ini, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang harus mengecek norma pengalokasian dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang harus mengecek program-programnya.

Lalu, ia menyebutkan juga bahwa perlu adanya keterlibatan Pemerintah Daerah (Pemda) untuk persoalan fasilitas umum sekolah yang tidak layak. “Harus ada semacam shock therapy. Kalau ada gedung sekolah rusak di-blow up, tapi diarahkan ke Pemerintah Pusat, enggak ke Pemda. Anggaran pendidikan habis malah di gaji. Harus ada public opinion untuk daerah hati-hati mengeluarkan dana pendidikan,” ungkap Bambang.

Jumlah Kelas Menengah Tentukan Besaran Investasi

Menurut Bambang, jika jumlah kelas menengah semakin banyak, maka investasi akan terkumpul lebih besar. Uang simpanan dari kelebihan pendapatan kelas menengah yang tidak dikonsumsi bisa masuk ke investasi yang produktif, seperti investasi pendidikan atau berwirausaha. “Kalau middle class makin banyak investasi lebih besar untuk percepatan pertumbuhan. Bisa jadi tulang punggung Indonesia ke depan,” katanya.

Sementara itu, Deputi IV Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Pungky Sumadi menambahkan bahwa sebetulnya untuk membangun kelas menengah Indonesia, paling tidak ada lima hal. Pertama, fasilitas kerja baik di sektor pemerintahan maupun swasta harus terpenuhi, agar mendukung kinerja yang optimal. Kedua, adanya program pemagangan (vokasi) yang berkerjasama dengan institusi pendidikan dan perusahaan.

Ketiga, mengadakan jaminan sosial baik bagi pekerja formal ataupun informal, seperti supir ojek daring. Namun, implementasinya tak jarang selalu diinterpretasikan hanya menambah beban pendapatan bagi pekerja informal. “Keempat, akses finansial khususnya untuk start-up. Industri sudah bergeser ke service, tapi kita masih banyak PR di sektor industri. Tiga tahun terakhir anggaran untuk infrastruktur itu tiga kali dinaikkan,” sebutnya.

Sementara World Bank melaporkan bahwa ada tiga pilar pendukung agenda kebijakan pertumbuhan inklusif. Pertama, mendorong mobilitas ekonomi dengan menyediakan perbaikan kesenjangan dalam akses terhadap pekerjaan dan layanan umum, meningkatkan kualitas pekerjaan, dan mempromosikan sistem dan pelayanan keuangan yang lebih inklusif.

Kedua, memberikan kemapanan ekonomi lebih besar. Hal ini termasuk memperkuat sistem bantuan sosial, memperluas asuransi sosial, dan meningkatkan ketahanan terhadap guncangan ekonomi.

Ketiga adalah penguatan institusi. Hal ini termasuk kebijakan perpajakan yang progresif untuk meningkatkan sumber daya dan perbaikan efektifitas program pengeluaran inklusif. Manajemen yang baik akan membantu terkait pertambahan penduduk yang semakin bertambah umur, urbanisasi, peningkatan persaingan usaha.

Bambang yang sempat menjabat sebagai Menteri Keuangan menyebutkan pajak yang diberikan kelas menengah saat ini masih relatif kecil. Untuk itu, kelas menengah harus didorong untuk memenuhi kewajiban perpajakan. “Sebenarnya mereka sudah mulai berpartisipasi. Masalah itu masih bisa diharapkan di kelas menengah,” ucap Bambang.

Baca juga artikel terkait KELAS MENENGAH atau tulisan lainnya dari Shintaloka Pradita Sicca

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Alexander Haryanto