tirto.id - Pemerintah Indonesia mengajak sejumlah negara yang turut terdampak atas implementasi Undang-Undang anti deforestasi European Union Deforestation-Free Regulations (EUDR) untuk melawan kebijakan tersebut. Salah satunya Malaysia.
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menilai, kebijakan ini diskriminatif karena menyasar produk yang diekspor dari Indonesia harus terjamin bebas dari deforestasi, terutama pada komoditas perkebunan.
"Itu sangat diskriminatif. Oleh karena itu, kita akan melakukan perlawanan, nanti berunding, perlawanan, tentu mengajak negara-negara yang mempunyai kesamaan, seperti Malaysia," katanya dikutip Antara, Jakarta, Kamis (13/7/2023).
Zulkifli menyebut kebijakan itu menghambat eksportasi produk Indonesia karena sejumlah komoditas perkebunan, seperti kopi, lada, cokelat, kelapa sawit, karet hingga cengkeh dimana harus lolos verifikasi yang menjamin produk tersebut tidak berasal dari kawasan hasil penggundulan hutan atau deforestasi.
Dengan begitu, para eksportir harus meningkatkan tata kelola industri perkebunan Indonesia. Apabila ditemukan adanya pelanggaran, eksportir dapat dikenai denda hingga 4 persen dari pendapatan yang diperoleh Uni Eropa.
Senada dengan itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menilai dengan aturan semacam itu, Indonesia menjadi salah satu pihak yang dirugikan. Bahkan, kebijakan EUDR itu cenderung mengarah ke diskriminasi ekologis.
Tak sampai di situ, EUDR juga menerapkan skema benchmarking yang mengklasifikasikan negara menjadi tiga tipe negara berisiko rendah, standar, serta tinggi dalam melakukan deforestasi.
Kerangka kebijakan EUDR sebenarnya telah lama dirundingkan di parlemen Eropa, namun baru diundangkan pada April 2023.
EUDR baru resmi berlaku pada 16 Mei 2023, namun Uni Eropa memberikan masa transisi bagi perusahaan besar untuk mengimplementasikan aturan baru itu dalam waktu 18 bulan, sementara perusahaan kecil mendapatkan fase transisi 24 bulan.
Editor: Anggun P Situmorang