tirto.id - Indonesia dinilai masih memandang remeh rekomendasi internasional untuk moratorium hukuman mati, yang diumumkan di rapat Universal Periodic Review (UPR) ketiga pada Mei kemarin. UPR merupakan mekanisme evaluasi HAM secara berkala oleh Dewan Keamanan PBB kepada seluruh negara anggota PBB.
Dalam UPR tersebut, Indonesia diminta untuk mempertimbangkan moratorium hukuman mati dengan landasan penghargaan terhadap hak asasi manusia, sesuai dengan Pasal 14 Undang-undang Internasional soal HAM.
Menurut mantan hakim konstitusi, Maruarar Siahaan, sejauh ini memang belum ada perhatian besar dari pemangku kebijakan soal moratorium hukuman mati. Padahal, dalam UPR itu, perwakilan Indonesia memutuskan untuk mendukung rekomendasi moratorium.
"Perjanjian internasional itu adalah komitmen kita sendiri untuk setia terhadap apa yang kita ucapkan, bahwa kita akan menerapkan itu (moratorium hukuman mati)," katanya, Minggu (8/10/2017) di Cikini, Jakarta.
Selain itu, Indonesia juga dituntut untuk melakukan ratifikasi terhadap protokol Opsional Kedua Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (OP2 ICCPR). Substansi dari protokol ini adalah pelarangan total terhadap eksekusi mati di bawah jurisdiksi negara Indonsia.
Terhadap rekomendasi ini, Indonesia hanya memutuskan untuk mencatatnya.
Alih-alih memoratorium hukuman mati, Indonesia justru berpotensi menambah jenis tindak pidana yang dapat diancam hukuman mati, antara lain 37 jenis pidana dalam rancangan KUHP, 2 jenis tindak pidana dari RUU Terorisme, dan 1 jenis tindak pidana dari RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, yang dianggap sebagai perkembangan dari Perppu Kebiri di tahun 2016.
Ditambah lagi, berdasar riset Indonesia Criminal Justice Reform (ICJR), tren tuntutan dan vonis hukuman mati tahun ini malah semakin bertambah. Pada Januari-Juni 2016, jumlah putusan pidana mati mencapai 17 dari 26 perkara. Sedangkan pada Juli 2016-September 2017, jumlah putusan pidana mati mencapai 33 dari 45 perkara.
Dari catatan Tirto per September 2016 kemarin, selama 19 bulan pemerintahan Jokowi, mantan gubernur DKI Jakarta itu sudah meneken hukuman mati terhadap 17 pelaku kejahatan, sedangkan selama 10 tahun pemerintah SBY, terpidana hukuman mati mencapai 21 jiwa.
Baca juga
- LBH Masyarakat Gelar Kampanye Anti Hukuman Mati
- Refleksi Tentang Hukuman Mati
- "Hukuman Mati Warisan Belanda"
Terpidana Mati Tak Diberi Kesempatan
Menurut peneliti ICJR, Erasmus Napitupulu, kebijakan hukuman mati di Indonesia cenderung tidak adil. Dalam kasus hukuman mati, terpidana seharusnya bisa mengajukan Peninjauan Kembali (PK) lebih dari dua kali. Hal ini diatur dalam putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013, yang menyebut bahwa PK dalam perkara pidana tidak dibatasi jumlah pengajuannya.
Namun Kemenkumham, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung malah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014 yang menyebut bahwa permohonan PK atas dasar ditemukannya bukti baru hanya bisa diajukan satu kali. PK yang lebih dari satu kali baru bisa diajukan apabila ada pertentangan putusan terkait hukuman mati terpidana.
"MK mengatakan PK bisa lebih dari satu kali, dan MA mengeluarkan aturan bahwa PK hanya bisa satu kali. Ini adalah bentuk pembangkangan terhadap konstitusi," kata Erasmus.
Adanya PK, ini dikatakan Erasmus, telah memakan korban jiwa, salah satunya terpidana mati Humprey Ejike Jefferson, warga negara Nigeria. Pada 29 Juli, Humprey beserta terpidana eksekusi mati lainnya menemui ajal setelah ditembak mati. Eksekusi ini terjadi hanya dua hari setelah berkas penolakan hukuman mati mereka tanda tangani.
Menurut Pasal 6 ayat (1) UU Nomor 2/PNPS/1965, seharusnya terpidana mati baru bisa dieksekusi setelah 72 jam berselang atau 3 hari setelah pemberitahuan hukuman mati. Namun, mereka bahkan tidak diberi pemberitahuan terlebih dahulu.
Lebih parahnya, berkas PK Humprey sendiri baru mendapatkan tambahan novum (bukti baru), yakni soal adanya dugaan penyiksaan terhadap Humprey oleh penyidik. Namun karena terbentur ketidakpastian hukum aturan MK dan SEMA, maka Humprey tetap dieksekusi. Belakangan ini diketahui juga bahwa putusan Ombudsman RI terhadap kasus Humprey menyatakan bahwa berkas Humprey untuk pelaksanaan hukuman mati ke MA ternyata tidak bisa dilanjutkan.
"Dia (Humprey) mengajukan PK ke-2 tapi ditolak oleh PN Jakarta pusat dengan adanya SEMA 7/2014. Jadi secara langsung SEMA telah menimbulkan korban," kata Erasmus.
Erasmus juga mengajukan keberatan atas SEMA 1 tahun 2012. SEMA yang mengharuskan terpidana mempunyai dukungan finansial untuk mengajukan PK dianggap konyol. Menurut Erasmus, apabila terpidana harus hadir di Pengadilan Negeri ataupun Pengadilan Militer tempat disidangkan, tetapi ia berada di rumah tahanan Nusakambangan, tentu prosesnya tidak bisa berjalan cepat. Belum lagi perlu biaya untuk pergi dari Nusakambangan ke PN yang dituju.
"Permintaan PK yang diajukan oleh kuasa hukum terpidana tanpa dihadiri oleh terpidana harus dinyatakan tidak dapat diterima dan berkas perkaranya tidak dilanjutkan ke Mahkamah Agung," demikian potongan putusan SEMA 1/2012 tersebut.
Menyambut hari anti hukuman mati sedunia yang jatuh pada tanggal 10 Oktober mendatang, Erasmus mewakili ICJR berharap pemerintah bisa lebih serius menanggapi permasalahan hukuman mati sekaligus mulai berbenah diri. Ia berharap presiden dapat segera melakukan evaluasi atas kinerja Jaksa Agung yang telah membiarkan maladministrasi eksekusi mati gelombang ke-3 (Humprey, Freddy Budiman, dkk).
"Pemerintah perlu segera melakukan evaluasi terhadap dua eksekusi sebelumnya untuk melihat adanya potensi pelanggaran lain," kata Erasmus.
Penulis: Rio Apinino
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti