tirto.id - Menjelang peringatan Hari Anti Hukuman Mati Sedunia yang jatuh pada 10 Oktober mendatang, LBH Masyarakat menggelar acara bertajuk "A Day For Forever". Acara ini dilangsungkan di Conclave, Jalan Wijaya, Jakarta Selatan, pada Sabtu (7/10/2017).
Hadir dalam acara “A Day For Forever” ini, pihak-pihak yang pernah berhubungan dengan terpidana mati seperti Yuni Asri dari Komnas Perempuan, Romo Carolus, rohaniwan yang kerap mendampingi terpidana mati dan keluarganya, serta Devy Christa, putri Merri Utami, terpidana mati kasus narkotika yang ditahan sejak 2001.
Dalam kesempatan tersebut, Devy menceritakan pengalamannya sebagai putri Merri yang telah melewati belasan tahun hidup tanpa kehadiran ibunya. Suasana emosional pun sempat terjadi ketika Devy mulai bercerita, disambung oleh testimoni Romo Carolus. Dari kacamata para pembicara, hukuman mati dikatakan tidak hanya merupakan pelanggaran hak hidup, tetapi juga membawa dampak bagi orang-orang terdekatnya.
"Siksaan bukan hanya dialami oleh terpidana mati, keluarga juga merasa tersiksa," demikian dinyatakan oleh Romo Carolus. Menunggu proses eksekusi, lanjutnya, bukan hanya mendatangkan efek psikologis hebat bagi terpidana mati, tetapi juga keluarga mereka yang dengan cemas berharap eksekusi tidak jadi dilakukan.
Dalam kasus-kasus terpidana mati buruh migran perempuan yang ditangani Komnas Perempuan, para terpidana merupakan tulang punggung keluarga. Vonis mati yang dijatuhkan kepada mereka bukan hanya akan menghilangkan nyawa satu orang, tetapi juga memperparah kondisi ekonomi keluarga yang ditinggalkan.
Yuni menambahkan, "Kita (Indonesia) ini jadi menerapkan double standard. Di satu sisi, ketika buruh migran terkena kasus dan dijatuhi hukuman mati di negara tempatnya bekerja, kita menentang habis-habisan. Sementara, di dalam negeri sendiri, hukuman mati masih diterapkan."
Inilah yang menurut Yuni mempersulit posisi tawar-menawar Indonesia dengan negara-negara tempat beberapa buruh migran divonis mati. Di samping itu, keterlambatan memberikan bantuan hukum kepada para buruh migran terpidana mati juga dipandangnya menjadi kendala lain dalam upaya menghindarkan eksekusi mati.
Ketiga pembicara berharap hukuman mati segera dihapuskan karena merugikan pihak-pihak lain di luar terpidana sendiri. "Stop hukuman mati, hapuskan hukuman mati dari Indonesia! Hukuman mati di Indonesia sudah nggak tepat, sudah kuno, dan nggak bisa diterapkan lagi di sini," tutup Yuni.
Acara A Day For Forever juga diisi dengan pemutaran film Curumim, dokumenter karya Marcos Prado tentang Marco Archer, terpidana mati asal Brasil yang dieksekusi di Indonesia pada Januari 2015. Selain itu, disajikan pula pertunjukan seni sebelum dan sesudah acara bincang-bincang, seperti stand up comedy, pembacaan puisi, serta penampilan musik.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Iswara N Raditya