tirto.id - Pagi 8 Januari 2019, saya menelepon Panti Soemarsono, menyampaikan rasa duka cita yang dalam ketika mendengar Soemarsono Wafat. Panti, anak dari Soemarsono, menceritakan kronologis wafatnya Soemarsono setelah dirawat dirumah sakit. “Bapak sudah pergi dengan tenang dik Wilson, dia pergi dikelilingi keluarga yang mencintainya.”
Perkenalan langsung saya dengan Soemarsono terjadi pada 2008. Sekitar Agustus 2008 saya mendapat telpon dari Joesoef Isak, pengelola penerbit Hasta Mitra agar mampir segera ke rumahnya di Kalibata. Setiba di rumahnya, tanpa basa-basi Joesoef Isak menyodorkan sebuah naskah fotokopian yang cukup tebal. “Ini naskah tentang Soemarsono, tokoh Peristiwa Madiun 1948 dan 10 november di Surabaya. Coba, Bung tengok dan baca, lalu beri kata pengantar.”
Beberapa hari kemudian saya bertemu dengan Soemarsono bersama Mbak Panti disebuah restoran. Di depan saya duduklah seorang kakek berumur 87 tahun bernama Soemarsono. Inilah pertama kali saya bertemu langsung dengan tokoh yang sering saya baca di berbagai literatur tentang Peristiwa Madiun 1948.
Ketika berkenalan, saya sangat risih karena dia memanggil saya—yang sebetulnya lebih pantas jadi cucunya—dengan sebutan “Bung Wilson.” Sebelum berpisah, Soemarsono memegang tangan saya dengan erat sambil berkata “Saya senang berkenalan dengan anak muda seperti Bung. Bung bebas menulis juga mengkritik buku saya dalam pengantar.”
Pada November 2008, penerbit Hasta Mitra menerbitkan karya Soemarsono berjudul Revolusi Agustus; Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah yang saya kata pengantari. Pada 19 Desember, di tepat di hari eksekusi Amir Sjarifuddin, Revolusi Agustus diluncurkan di Gedung Juang 45. Di Surabaya, buku ini ditolak dan dibakar oleh kelompok yang menamakan dirinya Front Anti Komunis.
Soemarsono sendiri menetap di Australia bersama salah seorang anaknya. Bila sedang ke Jakarta dan menginap di rumah Mbak Panti, saya pasti menyambanginya. Saya bahkan membuat dokumentasi video kesaksian Soemarsono dalam Peristiwa Madiun 1948 dan 10 November 1945 di Surabaya. Puluhan jam video itu dirangkum oleh Jaringan Video Independen (Javin) menjadi film dokumenter 45 menit berjudul Biar Bersaudara Kembali.
Pengalaman Paling berkesan dengan beliau adalah mendampingi Soemarsono napak tilas ke Surabaya ke berbagai lokasi terjadinya peristiwa 10 November 1945 di Surabaya, lalu dilanjutkan dengan napak tilas ke berbagai lokasi bersejarah menyangkut Peristiwa Madiun 1948.
Soemarsono lahir pada 26 Oktober 1921 di Kutoarjo, Jawa Tengah. Perjalanan politiknya semasa remaja diawali dengan keterlibatan di organisasi Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia) yang dipimpin Amir Sjarifuddin, orang yang ia dianggapnya sebagai guru dan inspirator politiknya.
Soemarsono bertemu Amir Sjarifuddin dalam rapat-rapat Gerindo di Gang Kenari, Salemba, dekat Universitas Indonesia, dan di gereja di daerah Kwitang. Ketika Amir menjadi Menteri Pertahanan ditahun 1946 Soemarsono dipercaya menjadi sebagai staf pengajar Pendidikan Politik Tentara (Pepolit). Ketika Amir Sjarifuddin meringkuk di dalam penjara fasis Jepang, Soemarsono terlibat dalam gerakan PKI Ilegal dibawah pimpinan Widarta.
Kesaksian Soemarsono disekitar peristiwa proklamasi juga memberikan fakta sejarah yang baru dan belum pernah didengar sebelumnya. Menurut Soemarsono, Amir Sjarifuddin seharusnya menjadi proklamator kemerdekaan dan presiden pertama Republik Indonesia.
Dalam Revolusi Agustus, Soemarsono menuturkan pertemuan para pemuda revolusioner pada 14 Agustus 1945 di Jakarta. Dalam pertemuan tersebut, para tokoh pemuda perwakilan berbagai faksi sayap kiri yang kelak menjadi Murba, PSI, dan PKI itu mendiskusikan siapa yang akan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Nama yang pertama diusulkan adalah Amir Sjarifuddin, yang secara bulat diterima semua peserta.
Namun, tiba-tiba Sukarni mengingatkan bahwa Amir sedang ditahan di penjara Lowokwaru Malang dan nyawanya terancam dibunuh Jepang jika mereka tahu sang tawanan akan memproklamasikan kemerdekaan. Soebadio pun mengusulkan Sutan Sjahrir, yang juga anti-fasis Jepang. Namun Sjahrir menolak dan mengusulkan nama Sukarno-Hatta sebagai proklamator.
Peran Soeharto dalam Peristiwa Madiun 1948
Salah satu hal yang menarik dari buku Revolusi Agustus adalah pembahasan tentang peran Soeharto dalam Peristiwa Madiun. Peran Soeharto ini penting untuk didiskusikan karena dialah yang menyebabkan Peristiwa Madiun menjadi peristiwa yang berdarah-darah, alih-alih konflik yang bisa diselesaikan secara damai.
Menurut pengakuan Soemarsono, Jenderal Sudirman mengutus Soeharto ke Madiun untuk mengklarifikasi dan investigasi berita-berita di surat kabar Yogyakarta bahwa telah terjadi pertempuran yang memakan korban sesama anak bangsa. Selama di Madiun, Soeharto ditemani Soemarsono—yang saat itu menjabat gubernur militer Kerasidenan Madiun—meninjau seisi kota, termasuk penjara. Kepada “Dik Harto”, Soemarsono mengatakan “di sini tidak ada pemberontakan apa-apa”.
Di akhir kunjungan, Soemarsono meminta Soeharto membuat pernyataan tentang temuan-temuannya di Madiun untuk disampaikan kepada Jenderal Sudirman dan Sukarno. Soeharto lalu meminta Soemarsono yang membuatkan pernyataan: “[Dan] saya yang teken, saya tanggung jawab.” Pernyatan ini dimuat dalam surat kabar Suara Rakyat Madiun dan radio Gelora Pemuda. Amir Sjarifuddin juga menitipkan surat kepada Soeharto untuk disampaikan ke Sukarno yang isinya meminta Sukarno untuk turun tangan mendamaikan situasi.
Masalahnya, surat pernyataan Soeharto dan surat titipan Amir tak pernah sampai di tangan Sukarno dan Sudirman. Sementara Soeharto mengaku dicegat pasukan Siliwangi di Sragen, dua surat itu tak pernah jelas rimbanya. Seandainya sampai ke tangan Sukarno dan Sudirman, jalannya peristiwa Madiun mungkin akan berbeda.
Berdamai dengan Masa Lalu
Peristiwa penting di penghujung hidupnya dalam sejarah sosok Soemarsono adalah menziarahi Madiun, kota yang tak pernah dikunjunginya lagi sejak 1948.
Sejak dibebaskan dari penjara Orde Baru pada 1978, Soemarsono ikut anaknya menetap di Australia dan tidak pernah mengunjungi Madiun. Sekitar Agustus 2009, Soemarsono ditemani bos Jawa Pos Dahlan Iskan melakukan perjalanan menuju Madiun. Secara khusus, Dahlan mengajak Soemarsono menuju Pesantren Sabilil Muttaqin di Takeran, Magetan, yang berbatasan dengan Madiun.
Pimpinan pesantren Sabilil Muttaqin ini bernama Imam Mursid Muttaqien “diculik” dan menghilang sampai sekarang. Menurut laporan Jawa Pos, pesantren ini adalah salah salah satu lokasi peristiwa 1948. Soemarsono bertemu dengan saksi sejarah dan keluarga korban di Kecamatan Takeran, antara lain Rosyid dan Sutikno (warga Desa Kiringan), serta Jamingan (warga Desa Takeran).
Kedatangan Soemarsono mengagetkan sejumlah orang pesantren. Setelah para saksi cerita tentang peristiwa 1948, barulah Dahlan memperkenalkan sosok Soemarsono. "Pak Soemarsono ini adalah orang ketiga setelah Amir Sjarifudin dan Musso. Dia saat itu menjabat gubernur militer Madiun," ujar Dahlan. Salah seorang saksi dari pihak pesantren yang sudah sepuh tampak terkejut dan bergumam “Masih Hidup!”.
Setelah hampir dua jam menceritakan kisah pengalaman masing-masing disekitar peritiwa Madiun 1948 tanpa menghakimi satu sama lain, pihak keluarga korban dan Soemarsono sepakat untuk “berdamai tanpa melupakan”. Setelah itu Soemarsono menziarahi makam para pimpinan pesantren. Keluarga pimpinan pesantren mengundang makan siang dan acara “berdamai tanpa melupakan” itu akhirnya ditutup di meja makan.
Beberapa hari kemudian Dahlan Iskan dan Jawa Pos di Demo oleh FPI karena dianggap hendak “memutihkan” tokoh komunis peristiwa Madiun.
Soemarsono adalah sosok yang dibuang dari sejarah Pertempuran 10 November 1945. Namanya tak muncul dalam diorama di monumen 10 November di Surabaya. Soemarsono hilang tak berbekas. “Peran saya dihilangkan karena saya komunis,” ujar Soemarsono suatu ketika. Namun dengan enteng Soemarsono menolak perannya ditonjolkan. Sebab, menurutnya pahlawan 10 November itu adalah rakyat Surabaya.
Tak banyak orang tahu bahwa Hari Pahlawan 10 November adalah usulan Soemarsono. Dalam rapat Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia (BPKRI) 4 Oktober 1946, usulan Soemarsono agar 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan diterima dengan bulat. Usulan tersebut lalu diusulkan kepada Presiden Sukarno dan diterima. Hari Pahlawan, yang pertama diperingati 10 November 1946 di Yogyakarta, masih diperingati sampai sekarang.
Tepat sudah judul buku Harsutejo: Soemarsono, Pemimpin Perlawanan Rakyat Surabaya 1945 yang dilupakan.
Kritik terhadap Partai
Setelah Peritiwa madiun 1948, partai menginstruksikan Soemarsono untuk mengasingkan diri ke Pematansiantar dan tidak boleh mengaku sebagai anggota PKI selama 14 tahun. Namun jarak tak membuatnya terasing dari urusan-urusan partai. Soemarsono adalah satu dari segelintir orang yang berani melontarkan kritik kepada partai dan ketua partai saat itu, D.N. Aidit.
Salah satu kritik utamanya adalah adalah personifikasi partai dengan D.N. Aidit. Personifikasi ini mengaburkan tindakan Aidit sebagai individu yang menjabat sebagai ketua partai dengan keputusan partai yang harus diambil dengan prinsip sentralisme demokrasi dan kolektivisme.
Harus diakui bahwa integrasi Aidit dengan PKI telah memberi pengaruh besar dalam pertumbuhan PKI menjadi partai komunis ketiga terbesar di dunia. Namun, di luar keberhasilannya yang menakjubkan, Aidit pun bisa membuat kekeliruan. Dalam bukunya, Komunisme Ala Aidit (2015), Peter Edman membuktikan bahwa integrasi Aidit dan partai telah mewarnai partai secara signifikan dan menciptakan apa yang ia sebut sebagai “PKI ala Aidit”.
Dengan kemampuannya sebagai organisator ulung, Aidit mampu menggalang PKI menjadi kekuatan politik signifikan dan disegani pada awal 1960-an. Menjadi pertanyaan mengapa ia mempertaruhkan nasib seluruh gerakan dalam satu “operasi penculikan semalam” di tengah pesatnya perkembangan partai. Seperti dikatakan Peter Edman, Aidit “juga bertanggung jawab dalam berbagai tindakan yang ditempuh oleh partai”.
Soemarsono menolak anggapan PKI bertanggung jawab sebagai organisasi dalam peristiwa Gestok 1965. Apa yang dilakukan Biro Chusus (BC) dan Aidit tidak berdasarkan keputusan organisasi dan tidak dibicarakan dalam mekanisme resmi partai. Tindakan Aidit dan BC bukan tindakan partai. Soemarsono mengatakan, “ Aidit tidak bisa disamakan dengan PKI, karena Aidit itu orang dan PKI itu organisasi”.
Mempersonifikasikan pemimpin dengan partai, menurut Soemarsono, justru menunjukkan kelemahan partai dalam bidang ideologi dan masih berkembangnya sisa feodalisme, langgam politik borjuasi, dan kultus individu. Setelah jadi pemimpin partai, demikian Soemarsono, Aidit “senang kultus dan dikultuskan orang”. Akibat pengkultusan tersebut langgam demokrasi di partai tidak berkembang dan kritik otokritik untuk mencegah partai dari kekeliruan dan kesalahan pun mandeg.
Kader segan atau bahkan takut menyampaikan kritik atau berbeda pendapat. Perbedaan pendapat dalam partai berpotensi dicap sebagai tindakan membangun faksionalisme. Aidit, sebagaimana yang dilihat Soemarsono, juga mulai menganggap kritik sebagai sebagai tindakan ‘melawan’. Soemarsono pun pernah dimarahi Aidit karena kritiknya. “Kalau kau mau melawan saya, baca dulu buku saya, pelajari dulu, sekolah dulu. Nanti kalau sudah kuasai itu, lawan aku,” ucap Aidit kepadanya.
Soemarsono juga mempertegas fakta bahwa poin-poin kritik atas PKI dalam bidang organisasi politik dan ideologi seperti yang tertera dalam Oto Kritik Polit Biro CC PKI (OKPB) dibuat oleh Sudisman pasca Gestok 1965 di Indonesia, bukan dibuat di luar negeri seperti isu yang sempat berkembang. Beberapa gagasan dalam dokumen otokritik diakui Soemarsono adalah kritik yang pernah disampaikan kepada Aidit tiga bulan sebelum terjadi Gestok, namun Sudisman menyimpulkannya sendiri setelah Gestok terjadi.
Harapan Soemarsono
Wafatnya Soemarsono dalam usia yang sangat tua telah memberikan waktu dan kesempatan kepada sejarah untuk menuliskan beragam kebenaran dari sebuah peristiwa.
Dari sosok Soemarsono yang luar biasa adalah harapan dan optimismenya bahwa kekuatan rakyat akan menemukan jalan dan alatnya untuk pembebasan.
Dalam buku Revolusi Agustus dia menyampaikan tawaran strategi untuk membangun kembali kekuatan rakyat. Soemarsono menganjurkan untuk membangun sebuah pondasi politik baru yang lebih mengutamakan ikatan ideologis ketimbang ikatan organisatoris dengan metode “Dari Titik Menjadi Bidang”.
Dengan metode ini, ia ingin menunjukkan bahwa perkembangan kualitatif dan kuantitatif sebuah gerakan harus dibangun dari individu-individu yang sadar ideologi. Individu-individu ini lalu ditempa melalui keterlibatan langsung dalam perjuangan kongkret rakyat di sektor buruh, tani, kaum miskin, pemuda, mahasiswa, dan sektor tertindas lainnya.
Pengaruh dan kepemimpinan ideologis kaum progresif dan pengalaman perlawanan bersama sektor-sektor rakyat tertindas ini nantinya akan menuju pada peningkatan kualitas alat perjuangan dalam upaya pembentukan sebuah partai untuk memimpin perjuangan massa merebut kedaulatan rakyat.
Entah kapan harapan itu bisa diwujudkan. Hanya Tuhan yang tahu.
Selamat jalan komandante Soemarsono, selamat istirahat panjang dalam damai.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.