Menuju konten utama

Iluni FHUI soal RUU TPKS: Penindakan Harus Berkaitan dengan UU Lain

Penindakan kasus kekerasan seksual yang termuat dalam RUU TPKS dapat terlaksana juga pada kasus kekerasan seksual yang termuat dalam UU lainnya.

Iluni FHUI soal RUU TPKS: Penindakan Harus Berkaitan dengan UU Lain
Sejumlah aktivis organisasi perempuan membawa spanduk pada Kampanye Anti Kekerasan terhadap Perempuan di Palu, Sulawesi Tengah, Jumat (10/12/2021). ANTARA FOTO/Basri Marzuki/rwa.

tirto.id - Ikatan Alumni Fakultas Hukum Unnivesitas Indonesia (Iluni FH UI) meminta upaya penindakan kasus kekerasan seksual yang termuat dalam RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), dapat terlaksana juga pada kasus kekerasan seksual yang termuat dalam KUHP, UU Perlindungan Anak, UU Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), UU KDRT, dan pengaturan UU lain yang mengatur pemidanaan kekerasan seksuaal.

Hal itu disampaikan Iluni FHU UI dalam sejumlah catatan terhadap perkembangan draf RUU TPKS.

"Demi menjamin hak korban yang komprehensif. Sekalipun penanganan kasusnya menggunakan UU lain," ujar Ketua Umum Iluni FHUI, Rapin Mudiardjo dalam keterangan tertulis, Jumat (4/2/2022).

Salah satunya terkait jaminan pembayaran ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku atau pihak ketiga kepada korban kekerasan seksual. Selama ini korban kekerasan seksual tidak pernah mendapatkan restitusi.

Meski Pasal 5 RUU TPKS sudah mengatur kekerasan berbasis gender online (KBGO). Namun korban kekerasan seksual masih berpotensi menjadi korban dari Pasal 27 ayat (1) UU ITE. Iluni FHUI meminta agar pasal dalam UU ITE tersebut dihapuskan.

"Untuk menjamin perlindungan korban yang mengalami KBGO, perlu diatur ketentuan yang dapat menjawab kebutuhan akan adanya tindakan-tindakan yang terjadi di dalam ruang cyber terkait dengan sextortion, grooming, dan metode lainnya yang terus berkembang," ujarnya.

Selain itu, RUU TPKS perlu menjamin bahwa pelaksanaan hukum acara memiliki perspektif korban dan berkelindan dengan penanganan aparat penegak hukum yang sensitif terhadap kebutuhan korban. Demi mencegah reviktimisasi kepada korban kekerasan seksual.

Sehingga diperlukan penguatan perlindungan sementara bagi korban dan juga saksi, penggunaan bukti forensik, asesmen psikologis dan akomodasi yang layak bagi saksi dan/atau korban disabilitas, mekanisme perekaman elektronik bagi korban dewasa, serta pertemuan pendahuluan oleh penuntut umum yang tidak hanya dibatasi pada tahap penyidikan, namun juga dalam setiap tahapan proses peradilan.

"Perlu juga diatur pemulihan dan layanan perlindungan korban yang lebih komprehensif dengan memperkuat peran negara di dalamnya, dan memastikan kesiapan dan kemampuan sumber daya Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA)," ujarnya.

Baca juga artikel terkait RUU TPKS atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Hukum
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Bayu Septianto