Menuju konten utama

IDI: UU Kesehatan Disahkan Tanpa Partisipasi Publik Bermakna

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tidak mendapat penjelasan mengapa aspirasinya tidak diakomodasi dalam Omnibus Law Undang-Undang Kesehatan.

IDI: UU Kesehatan Disahkan Tanpa Partisipasi Publik Bermakna
Massa aksi damai tolak pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan melakukan unjuk rasa di depan Kantor Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, Senin (8/5/2023). (Tirto.id/M Fajar Nur)

tirto.id - Wakil Ketua Umum II Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Mahesa Paranadipa Maikel menyatakan pengesahan Omnibus Law Undang-Undang (UU) Kesehatan tidak menerapkan prinsip partisipasi publik bermakna.

Mahesa mengakui IDI memang diundang beberapa kali dalam kegiatan rapat dengar pendapat RUU Kesehatan. Akan tetapi, tidak ada penjelasan hingga saat ini mengapa aspirasi mereka ditolak dalam UU Kesehatan.

“Saat Beleg pernah diundang 2 kali, public hearing di Kemenkes 1 kali, saat (rapat) Panja 1 kali. Kami hanya diminta memberi pandangan, tapi tidak ada penjelasan lebih lanjut terkait tidl diakomodirnya usulan-usulan tersebut,” ujar Mahesa saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (14/7/2023).

Mahesa menyesalkan sikap tersebut yang dinilai tidak sesuai dengan prinsip partisipasi publik bermakna.

Mahesa mengatakan menurut Undang-undang Nomor 13 tahun 2022, partisipasi bermakna itu memiliki tiga hak. Pertama hak untuk didengar, hak untuk dipertimbangkan, serta hak mendapat penjelasan.

“Saat public hearing hanya hak didengar. Tidak ada penjelasan kenapa usulan IDI dan organisasi profesi lain tidak diakomodir,” jelas Mahesa.

Disahkannya UU Kesehatan, kata Mahesa, membuat posisi IDI dan organisasi profesi lain yang diakui Undang-Undang sebelumnya menjadi tidak menentu.

“Posisi IDI dan PDGI seblm UU ini disahkan merupakan organisasi profesi yang diakui oleh UU. Di UU Kesehatan (saat ini) ini dihilangkan. Tidak ada penjelasan sama sekali,” protes Mahesa.

IDI dan organisasi profesi lain berencana akan melayangkan judicial review atau uji materi terhadap UU Kesehatan melalui Mahkamah Konstitusi (MK).

“Salah satu pertimbangan MK adalah bukti tidak ada perlibatan bermakna dari pihak-pihak terkait. Ini jadi dasar awal untuk judicial review. Sambil menunggu file UU yg resmi, akan dilihat pasal-pasal yang melanggar atau berpotensi melanggar konstitusi,” kata Mahesa.

Dalam keterangan terpisah, Menteri Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD mempersilahkan pihak-pihak yang tidak menerima UU Kesehatanmenempuh jalur uji materi di Mahkamah Konstitusi.

”Karena ini sudah selesai, sudah berlaku. Tapi, ada yang merasa masih sangat penting untuk diubah, itu masih ada Mahkamah Konstitusi, silakan nanti masuk ke situ, dijelaskan alasannya,” kata Mahfud di Makassar pada Kamis (13/7/2023), dikutip dari Antara.

Mahfud menyatakan tiap pengesahan undang-undang pasti akan ada pihak yang tidak setuju. Namun setelah UU tersebut disahkan DPR, masyarakat yang keberatan bisa menempuh jalur hukum dalam menyampaikan keberatan.

“Bukan hanya Undang-Undang Kesehatan, undang-undang apapun kalau dibahas pasti ada setuju ada yang tidak. Sesudah disahkan pasti begitu,” sambung Mahfud.

Baca juga artikel terkait OMNIBUS LAW UU KESEHATAN atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Gilang Ramadhan