Menuju konten utama
Omnibus Law UU Kesehatan

Penghapusan Anggaran Wajib Kesehatan Tak Sesuai Rekomendasi WHO

Penghapusan alokasi belanja wajib di bidang kesehatan atau mandatory spending dalam Undang-Undang (UU) Kesehatan dinilai sebagai kemunduran.

Penghapusan Anggaran Wajib Kesehatan Tak Sesuai Rekomendasi WHO
Pengunjuk rasa mengangkat poster penolakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Kesehatan saat aksi di kawasan Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Jakarta, Senin (8/5/2023). ANTARA FOTO/Reno Esnir/rwa.

tirto.id - Epidemiolog sekaligus peneliti Global Health Security Policy dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman menyatakan penghapusan alokasi belanja wajib di bidang kesehatan atau mandatory spending dalam Undang-Undang (UU) Kesehatan merupakan suatu kemunduran.

Dicky menilai peniadaan mandatory spending bertentangan dengan rekomendasi Badan Kesehatan Dunia (WHO) agar menganggarkan 5 sampai 10 persen belanja negara untuk kesehatan.

“WHO itu mengingatkan sejak 1980 sudah menyarankan alokasi wajib bidang kesehatan. Jadi kalau Indonesia nggak ada, komitmen global itu kita nggak ikut,” kata Dicky dalam keterangannya kepada reporter Tirto, Kamis (13/7/2023).

Dicky berpendapat alokasi anggaran merupakan sesuatu yang vital dan krusial dalam bidang kesehatan. Alokasi belanja wajib di bidang kesehatan memiliki peranan penting untuk memberikan layanan esensial dan merespons masalah kesehatan publik,

“Memastikan anggaran kesehatan yang kuat memadai itu akan menjamin level minimum anggaran kesehatan cukup di tengah anggaran yang saling berkompetisi,” ujar Dicky.

Beragam riset, kata Dicky, juga menyatakan pentingnya mandatory spending bidang kesehatan.

“Tanpa ada mandatory spending, anggaran kesehatan akan menjadi subjek untuk dipotong atau realokasi. Karena ini membuat sektor layanan terganggu,” sambung Dicky.

Alokasi belanja wajib di bidang kesehatan juga membuat komitmen Indonesia semakin kuat dalam mendukung Universal Health Coverage.

“Dan ini bertentangan dengan konsensus global. Kemudian juga otomatis upaya penguatan sistem kesehatan hanya retorika belaka. Tanpa adanya mandatory spending mustahil bisa mensupport penguatan kesehatan. Dan itu ada risetnya,” jelas Dicky.

Penghapusan mandatory spending juga membuat komitmen dalam antisipasi darurat kesehatan publik seperti pandemi jadi menurun. Sementara negara maju menetapkan mandatory spending untuk mengantisipasi hal tersebut.

Dicky mencontohkan Australia yang mengalokasikan 16,8 persen dari total pengeluaran negara untuk sektor kesehatan pada 2023. Sementara di ASEAN, Thailand disebut yang paling konsisten dalam pembangunan kesehatan.

“Komitmen global itu (mandatory spending) kita jadi nggak ikut. Dan Indonesia jadi tidak menjadi rujukan,” ungkap Dicky.

Baca juga artikel terkait OMNIBUS LAW UU KESEHATAN atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Gilang Ramadhan