tirto.id - Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) mengatakan, sebaiknya masyarakat yang ingin membantu membuat baju hazmat untuk tenaga medis dalam penanganan COVID-19 medis, harus sesuai dengan standar, Selasa (14/4/2020).
Hal tersebut dikarenakan hazmat yang tidak sesuai dengan standar medis berpotensi bisa ditembus oleh virus Corona.
"Sebenarnya bahannya itu harus memenuhi standar supaya tidak bisa ditembus oleh virus," Ketua Umum PB IDI dr Daeng M Faqih di Jakarta, melansir laman Antara News.
Badan kesehatan dunia atau WHO bersama Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI telah menetapkan standar bahan baju hazmat yaitu dari polietilena bukan dari spons dan sebagainya.
Secara umum PB IDI memahami niat dan tujuan baik masyarakat yang memberikan bantuan Alat Pelindung Diri (APD) berupa baju hazmat. Namun disarankan agar bisa sesuai standar sehingga dapat berguna saat menangani pasien COVID-19.
"Karena apabila tidak memenuhi standar mungkin di rumah sakit justru tidak banyak dipakai," kata Daeng.
Ia mengkhawatirkan bantuan dari masyarakat tadi menjadi sia-sia karena tidak bisa dipakai oleh para tenaga medis. Jika baju hazmat itu tetap digunakan maka dikhawatirkan malah membahayakan keselamatan sebab tidak sesuai standar WHO dan Kemenkes.
Sementara itu, salah seorang perajin atau pembuat baju hazmat di Kelurahan Manggarai, Kecamatan Tebet Jakarta Selatan Rahmansyah mengatakan dirinya mendapat pesanan sebanyak 5.000 baju hazmat dari salah seorang teman sejak dua minggu lalu.
"Dulu biasanya saya buat tas untuk kamera, namun karena tergugah melawan Corona maka saya turut membantu teman yang meminta dibuatkan APD," kata dia.
Menurutnya, 5.000 APD tersebut akan didistribusikan ke sejumlah rumah sakit. Sejauh ini, baju hazmat pesanan itu telah selesai dalam 10 hari pengerjaan, dengan perkirakan satu baju menghabiskan waktu sekitar 25 menit.
Menurutnya, secara umum, baju hazmat yang dibuat tersebut berbahan dasar spunbond sebagaimana direkomendasikan oleh salah satu rumah sakit di Solo beberapa waktu lalu.
Dalam proses pengerjaan, 5.000 APD dikerjakan oleh sekitar 20 pekerja di tiga tempat berbeda dengan menerapkan jarak fisik satu meter antara satu dengan lainnya. Terkait harga, ia pun hanya mengambil ongkos kerja saja yakni Rp30.000 hingga Rp40.000 per baju.
Penulis: Nur Hidayah Perwitasari
Editor: Agung DH