tirto.id - Indonesia Corruption Watch (ICW) kecewa dengan putusan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta yang menolak penggabungan gugatan ganti rugi dalam perkara korupsi bantuan sosial (bansos) COVID-19 yang menjerat eks Menteri Sosial Juliari Batubara.
Gugatan ganti rugi itu diajukan 18 warga Jabodetabek terhadap Juliari. Mereka diadvokasi oleh tim dari ICW, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Kontras, dan Visi Integritas Law Office.
"Keputusan Majelis Hakim menolak gugatan ganti rugi sangat mengecewakan bagi tim advokasi dan korban dan menjadi gambaran betapa hukum belum berpihak pada korban perkara suap bantuan sosial covid-19," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana lewat keterangan tertulis yang dikutip pada Rabu (14/7/2021).
Dalam kasus ini, Juliari didakwa menerima suap sebesar Rp32,4 miliar dari sejumlah perusahaan penyedia paket sembako untuk bansos COVID-19 di wilayah Jabodetabek.
Dalam perkembangannya, sejumlah warga merasa dirugikan dengan korupsi itu mengajukan gugatan ganti rugi terhadap Juliari. Mereka mengajukan gugatan itu digabungkan dengan persidangan perkara terdakwa Juliari yang saat ini tengah berjalan di Pengadilan Tipikor.
Dalam sidang pada Selasa (13/7/2021), majelis hakim perkara suap Juliari yang dipimpin oleh Muhammad Damis menolak permohonan penggabungan perkara tersebut. Hakim beralasan gugatan ganti rugi itu semestinya diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, sesuai dengan alamat tempat tinggal Juliari di Kebayoran Baru.
"Maka menurut ketentuan hukum acara perdata in caso Pasal 118 Ayat 1 yang berwenang secara relatif mengadili perkara perdata yang dimohonkan oleh para pemohon untuk digabungkan dengan perkara pidana dalam hal ini perkara Tipikor 29 Pidsus atas nama Juliari Peter Batubara adalah PN tempat tinggal terdakwa atau tergugat in caso PN Jakarta Selatan," kata Hakim Ketua Muhammad Damis, Senin (12/7/2021) di pengadilan Tipikor Jakarta.
Menanggapi keputusan itu, Kurnia mengatakan "Penting untuk diketahui sebelumnya, konsep penggabungan perkara gugata ganti kerugian ini menyatu dengan perkara yang sedang berjalan. Jadi, pertanyaan sederhananya: bagaimana mungkin menggabungkan perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sedangkan tergugat sedang disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta?".
Kurnia pun mengutip pasal 98 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan pasal 35 Konvensi PBB tentang Anti Korupsi yang menyatakan dalam perbuatan pidana yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua dapat menggabungkan perkara ganti rugi dengan perkara pidana orang tersebut. Karenanya, menurut Kurnia, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat adalah yang paling tepat menangani perkara ganti rugi tersebut.
Kurnia mengatakan akan membawa masalah ini ke Komisi Yudisial karena menganggap ada pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim di balik putusan tersebut. Bahkan menurutnya bukan tidak mungkin ada intervensi pihak luar terhadap majelis hakim.
"Demi menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku Hakim, Komisi Yudisial harus memeriksa Majelis Hakim tersebut terkait dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, pelanggaran hukum acara, baik yang dilakukan dengan sengaja maupun karena ketidakpahaman di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta," kata Kurnia.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Gilang Ramadhan