Menuju konten utama

ICW: Ada Potensi Pengurangan Ancaman Pidana untuk Koruptor di KUHP

Tama menyatakan, pengurangan pidana untuk koruptor itu tercermin dari perbandingan tiga pasal di RKUHP dengan UU Tipikor.

ICW: Ada Potensi Pengurangan Ancaman Pidana untuk Koruptor di KUHP
(Ilustrasi) sejumlah aktivis antikorupsi yang tergabung dalam "Paguyuban Koruptor Indonesia" melakukan aksi di gedung KPK, Jakarta, Minggu (9/7). ANTARA FOTO/M Agung Rajasa.

tirto.id - Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkap adanya pengurangan ancaman pidana penjara dan denda bagi koruptor dalam draf revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) versi 2 Februari 2018.

Pengurangan pidana itu diketahui setelah draf revisi KUHP dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Peneliti ICW Tama S Langkun berkata, pengurangan pidana itu tercermin dari perbandingan tiga pasal di RKUHP dengan UU Tipikor.

"Padahal kita lihat sendiri rata-rata orang di Indonesia terlibat kasus korupsi kena pidana 26 bulan per 2016 lalu. Sekarang dibikin lebih ringan (ancamannya) pasti akan lebih turun lagi. Ini kita semakin resah, serius enggak sih komitmennya untuk terpidana korupsi," kata Tama di kantornya, Kamis (8/3/2018).

ICW membandingkan ancaman pidana dan denda di Pasal 2 UU Tipikor dengan Pasal 687 pada RKUHP. Kedua beleid itu hampir serupa.

Pada Pasal 2 UU Tipikor, ancaman penjara untuk orang yang korupsi minimal 4 tahun. Denda untuk koruptor juga diatur minimal Rp200 juta. Ancaman pidana di Pasal 687 RKUHP hanya 2 tahun, dan denda yang diatur minimal Rp50 juta.

Sementara pada Pasal 3 UU Tipikor, ancaman denda maksimal untuk koruptor mencapai Rp1 miliar. Jumlah itu berkurang hingga Rp500 juta pada Pasal 688 RKUHP.

"Mau berapa banyak orang yang ditangkap karena korupsi, kalau sanksinya tak menjerakan dia akan melakukan lagi. Sekarang kan korupsi untungnya besar, negara hilang banyak, risikonya kecil," katanya.

ICW berharap DPR mau mengeluarkan aturan delik korupsi dari RKUHP. Jika keberadaan beleid tetap dipertahankan, maka pelemahan dalam upaya memberantas korupsi dicurigai akan terjadi.

Tama berkata, keberadaan aturan soal delik korupsi di RKUHP juga berpotensi menimbulkan dualisme hukum dalam penindakan kasus korupsi. Pasalnya, saat ini penindakan korupsi hanya berdasarkan pada UU Tipikor.

"Makanya ada dualisme. Ada prinsip yang berkata, aturan general akan dikesampingkan dengan yang lebih khusus. Tapi ada lagi misalnya yang menganggap aturan baru mengesampingkan yang lebih lama. Yang mana yang dipakai akan menimbulkan perdebatan ke depan, akan semakin rancu," kata Tama.

Baca juga artikel terkait KORUPSI atau tulisan lainnya dari Lalu Rahadian

tirto.id - Hukum
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Alexander Haryanto