Menuju konten utama

Hukum Puasa Bagi Ibu Menyusui, Tata Cara Qadha, & Jumlah Fidyah

Bagaimana hukum puasa bagi ibu menyusui, tata cara membayar qadha atau melakukan puasa ganti untuk ibu menyusui, dan besaran jumlah fidyah yang dibayarkan.

Hukum Puasa Bagi Ibu Menyusui, Tata Cara Qadha, & Jumlah Fidyah
Sejumlah orang tua mengikuti Kelas Laktasi dan pentingnya Air Susu Ibu (ASI) di Melinda Hospital, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (10/3). Menurut Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO, Indonesia masih termasuk salah satu negara yang pencapaian dan pemenuhan pemberian ASI Ekslusif masih tergolong rendah dengan angka capaian sebesar 54 persen dari target 80 persen. ANTARA FOTO/Novrian Arbi/pras/18

tirto.id - Bagaimana hukum puasa bagi ibu menyusui dalam Islam? Terdapat 3 kategori ibu menyusui yang berhak mendapatkan keringanan untuk tidak menjalankan puasa pada bulan Ramadhan.

Ibu menyusui yang khawatir akan keselamatan dirinya sendiri dan ibu menyusui yang khawatir akan dirinya beserta sang bayi, diberi hak menebus utang puasa dengan puasa ganti (qadha). Sementara itu, ibu menyusui yang khawatir akan keselamatan bayi dalam kandungannya saja, diperintahkan untuk mengqadha puasa dan membayar fidyah.

Puasa Ramadhan termasuk rukun Islam yang harus dilaksanakan oleh umat Islam yang telah mukallaf atau sudah dikenai hukum agama. Adapun beberapa kriteria orang yang telah mukallaf seperti sudah balig, berakal sehat, mukim (tidak bepergian), dan mampu menjalankan puasa.

Allah berfirman dalam Surah al-Baqarah:183, "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."

Dalam beberapa keadaan, seorang muslim bisa saja menjadi tidak mukallaf dan diperbolehkan untuk tidak menjalankan puasa pada saat Ramadhan. Islam memudahkan hal ini, karena apabila orang tersebut memaksakan untuk berpuasa justru ditakutkan dapat membahayakan dirinya.

Syekh Nawawi Al Bantani dalam kitab Kasyifatu Saja fi Syarhi Safinatun Najah menjelaskan enam golongan yang diperbolehkan untuk membatalkan puasa meliputi musafir, orang sakit, orang jompo, wanita hamil, orang yang tercekik haus, dan ibu menyusui.

Khusus ibu menyusui, golongan ini membutuhkan asupan yang banyak dan berkualitas untuk dirinya dan bayinya, sehingga ditakutkan menjadi sebab kepayahan jika menjalankan puasa.

Namun, terdapat kriteria atau ketentuan yang dapat dijalankan untuk melihat kepantasan seorang ibu menyusui tidak menunaikan puasa. Pasalnya, banyak terdapat ibu menyusui yang masih mampu melaksanakan puasa.

Dilansir dari lamanNU Online, untuk mengetahui apakah puasa perempuan yang sedang menyusui itu membahayakan atau tidak, dapat diketahui berdasarkan kebiasaan sebelum-sebelumnya, keterangan medis, atau dugaan yang kuat. Hal ini dijelaskan oleh As-Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh as-Sunnah (2001:373) sebagai berikut:

“Untuk mengetahui apakah puasa tersebut bisa membahayakan (bagi dirinya beserta anaknya, dirinya saja, atau anaknya saja) bisa melalui kebiasaan sebelum-sebelumnya, keterangan dokter yang terpercaya, atau dengan dugaan yang kuat.”

Hukum Puasa Ganti untuk Ibu Menyusui

Ibu menyusui yang berhak tidak melakukan puasa wajib pada saat Ramadhan, dibagi ke dalam tiga kelompok. Pertama, ibu menyusui yang khawatir dengan kesehatannya sendiri ketika berpuasa. Kedua, ibu menyusui yang khawatir dengan kesehatan bayinya jika berpuasa. Terakhir, ibu menyusui yang khawatir kepada kesehatan dirinya dan bayinya ketika berpuasa.

Ibu menyusui yang khawatir dengan kesehatannya sendiri saat berpuasa, cukup mengqadha atau mengganti puasa Ramadhan sejumlah hari yang ditinggalkan. Hal yang sama berlaku untuk ibu menyusui yang khawatir akan kesehatan dirinya dan bayinya sekaligus.

Sementara itu, ibu menyusui yang masuk ke dalam golongan kedua, yaitu ibu menyusui yang khawatir akan kesehatan bayinya semata, maka baginya harus mengqadha puasa dan membayar fidyah sesuai hari yang ditinggalkan.

Perihal qadha puasa beserta penyebab dan alasanya juga dijelaskan oleh Abdurrahman al-Juzairi dalam kitab al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah sebagai berikut:

“Mazhab syafii berpendapat, bahwa perempuan hamil dan menyusui ketika dengan puasa khawatir akan adanya bahaya yang tidak diragukan lagi, baik bahaya itu membahayakan dirinnya beserta anaknya, dirinya saja, atau anaknya saja. Maka dalam ketiga kondisi ini mereka wajib meninggalkan puasa dan wajib mengqadhanya. Namun dalam kondisi ketiga yaitu ketika puasa itu dikhawatirkan membahayakan anaknya saja maka mereka juga diwajibkan membayar fidyah”.

Besaran Fidyah dan Cara Mengqadha Puasa

Semua golongan ibu menyusui yang tidak berpuasa wajib pada bulan Ramadhan, dapat melakukan qadha puasa pada hari-hari yang diperbolehkan untuk berpuasa.

Jumlah qadha puasa sang ibu menyusui mesti disesuaikan dengan bilangan hari yang telah ditinggalkan. Waktu qadha puasa wajib yang paling tepat adalah sesegera mungkin setelah bulan suci tersebut dan sebelum Ramadan tahun berikutnya tiba.

Hal itu diartikan bahwa puasa qadha dapat ditunaikan di berbagai hari, kecuali waktu yang diharamkan untuk berpuasa, yakni Hari Raya Idulfitri, Iduladha, dan hari-hari tasyrik (11-13 Zulhijjah).

Imam Nawawi dalam Al-Majmu' Syarah Al Muhadzdzab (1996) menjelaskan bolehnya mengqadha puasa sepanjang tahun kecuali Ramadhan berikutnya dan hari-hari tasyriq, dan tidak makruh sepanjang tahun tersebut baik pada bulan Zulhijah maupun bulan yang lainnya.

Kemudian, untuk ibu menyusui yang masuk ke dalam golongan kedua (meninggalkan puasa karena bayinya), di samping melakukan qadha puasa ia juga harus membayar fidyah. Fidyah yang dibayarkan sebanyak 1 mud dan dijalankan setiap hari sejumlah puasa yang ditinggalkan.

Fidyah ini diberikan kepada orang miskin atau faqir. Fidyah itu biasanya berupa makanan pokok, khusus orang Indonesia dapat menggunakan beras. Satu mud itu setara dengan 675 gram atau 6,7 ons.

Sementara itu, Muhammadiyah berpandangan tidak adanya golongan-golongan ibu menyusui. Ibu menyusui yang meninggalkan puasa cukup menggantinya dengan fidyah sesuai hari yang ditinggalkan.

Dilansir dari lamanTarjih, dalam Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah, disebutkan bahwa wanita menyusui yang tidak bisa berpuasa secara penuh di bulan Ramadhan, dapat menggantinya dengan membayar fidyah sejumlah hari ia tidak berpuasa, yakni memberi makan seorang miskin setiap harinya.

Jumlah fidyah yang harus dibayarkan tetap sama, yaitu sejumlah satu mud. Adapun dalil yang berperan sebagai dasar dalam hal ini adalah hadis riwayat Abu Dawud sebagai berikut:

“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ia berkata: Ditetapkan bagi wanita yang mengandung dan menyusui berbuka (tidak berpuasa) dan sebagai gantinya memberi makan kepada orang miskin setiap harinya.” (HR. Abu Dawud).

Sebagai catatan, jika membayar fidyah tersebut dianggap memberatkan, sedangkan ibu menyusui tersebut kurang mampu, maka ia dapat mengganti puasa dengan berpuasa pada hari lain di luar Ramadhan sejumlah hari puasa yang ditinggalkan.

Niat Fidyah untuk Ibu Menyusui

Niat yang dapat dibaca oleh ibu menyusui ketika akan melakukan fidyah untuk mengganti puasa yang pernah ditinggalkannya sebagai berikut:

نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ هَذِهِ الْفِدْيَةَ عَنْ إِفْطَارِ صَوْمِ رَمَضَانَ لِلْخَوْفِ عَلَى وَلَدِيْ فَرْضًا لِلهِ تَعَالَى

Arab Latin:

Nawaitu an ukhrija hadzihil fidyata an ifthari shaumi ramadhana lilkhaufi ala waladii fadrhan lillahi ta'ala

Artinya:

“Aku niat mengeluarkan fidyah ini dari tanggungan berbuka puasa Ramadan karena khawatir keselamatan anakku, fardu karena Allah Swt.”

Baca juga artikel terkait RAMADHAN 2022 atau tulisan lainnya dari Syamsul Dwi Maarif

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Syamsul Dwi Maarif
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Fitra Firdaus