tirto.id - Idulfitri menjadi salah satu momentum silaturahmi keluarga besar sehingga memungkinkan pertemuan antar-saudara. Termasuk di antaranya pertemuan antar-saudara sepupu.
Dalam suatu pertemuan, yang biasanya hanya terjadi setahun atau beberapa tahun sekali, pangling antarsaudara sangat mungkin terjadi. Saudara jauh yang dahulunya masih seumuran SMP, misalnya, lantaran jarang bertemu, seolah tiba-tiba sudah dewasa saat bertemu kembali.
Untuk urusan ketertarikan juga demikian. Terkadang, dari pangling itu tadi timbul rasa kagum atau suka. Lantas, bagaimana hukum menikah dengan sepupu dari pihak ayah dalam Islam? Bagaimana hukum menikahi sepupu dari ibu?
Hukum menikahi sepupu dari ayah dan ibu harus dipahami dengan baik karena ini persoalan krusial yang tidak boleh disikapi menurut keinginan sendiri. Berikut penjelasan lengkapnya.
Hukum Menikah dengan Sepupu dari Pihak Ayah dalam Islam
Sebelum beranjak ke pembahasan hukum menikahi sepupu dari pihak ayah dalam Islam, kita perlu memahami definisi kata sepupu lebih dulu.
Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia, terdapat tiga definisi terkait kata sepupu. Pertama, sepupu merupakan saudara senenek. Kedua, sepupu adalah anak dari dua bersaudara, misalnya anak dari paman atau bibi atau tante. Ketiga, sepupu didefinisikan sebagai saudara misan.
Hukum menikahi sepupu dari pihak ayah dalam Islam diperbolehkan. Hal ini dikarenakan sepupu tidak termasuk sebagai golongan yang diharamkan dinikahi. Namun, perlu dipastikan bahwa sepupu tersebut bukanlah saudara sepersusuan.
Rujukan dalilnya adalah firman Allah Swt. dalam surah An-Nisaa ayat 23. Ayat tersebut menegaskan golongan yang haram dinikahi atau disebut dengan istilah mahram.
“Diharamkan atas kamu [mengawini] ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu istrimu [mertua], anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu [dan sudah kamu ceraikan], maka tidak berdosa kamu mengawininya, [diharamkan bagimu] istri-istri anak kandungmu [menantu], dan menghimpunkan [dalam perkawinan] dua perempuan bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa: 23)
Hukum Menikahi Sepupu dari Ibu
Menikah dengan sepupu dari ibu diperbolehkan. Hukum menikah dengan sepupu dari pihak ibu dalam Islam sama dengan menikahi sepupu dari pihak ayah.
Berdasarkan pandangan ulama fikih klasik, sepupu, baik dari ibu maupun ayah, tidak termasuk mahram. Islam menghalalkan umat Islam untuk menikahi sepupu, baik sepupu dekat maupun sepupu jauh. Hal itu sesuai dengan penjelasan surah Al-Ahzab ayat 50.
“Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu yang telah kamu berikan maskawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan [demikian pula] anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu.” (QS. Al-Ahzab: 50)
Ayat tersebut secara tegas menetapkan bahwa menikah dengan sepupu dari ibu maupun ayah diperbolehkan. Namun, perlu dipastikan bahwa sepupu yang hendak dinikahi tersebut bukanlah saudara sepersusuan.
Hukum menikahi sepupu yang dinilai boleh tersebut juga merujuk pada kisah pada zaman Nabi saw. Dalam sejarah Islam ada contoh dari para sahabat yang menikahi sepupunya sendiri, yakni Ali bin Abi Thalib yang menikahi Fatimah binti Muhammad, putri Rasulullah saw. yang juga sepupunya.
Siapa Saja yang Termasuk Mahram dalam Hukum Pernikahan
Menikah dengan lawan jenis yang bukan mahram merupakan salah satu rukun nikah dalam Islam. Pernikahan dengan perempuan mahram tidaklah sah karena bertentangan dengan syariat agama. Dijelaskan dalam surah An-Nisa ayat 23, seorang laki-laki haram menikahi wanita yang termasuk mahramnya.
Lantas, apa yang dimaksud bukan mahram? Siapa saja yang termasuk bukan mahram?
Mahram adalah lawan jenis yang haram dinikahi karena beberapa sebab. Terdapat dua jenis mahram, yakni hurmah mu’abbadah (haram selamanya) dan hurmah mu’aqqatah (haram dalam waktu tertentu).
Hurmah mu’abbadah terjadi karena beberapa sebab, yakni hubungan permantuan (mushaharah) dan persusuan.
A. Mahram karena kekerabatan
Perempuan yang haram dinikahi karena hubungan kekerabatan ada tujuh, meliputi:- Ibu
- Anak perempuan
- Saudara perempuan
- Anak perempuannya saudara laki-laki (keponakan)
- Anak perempuannya saudara perempuan (keponakan)
- Bibi dari ayah
- Bibi dari ibu
B. Mahram karena permantuan
Perempuan yang haram dinikahi karena hubungan permantuan ada empat, meliputi:- Istri ayah
- Istri dari anak laki-laki (menantu)
- Ibunya istri (mertua)
- Anak perempuannya istri (anak tiri)
C. Mahram karena persusuanKelompok perempuan yang haram dinikahi karena persusuan ada tujuh, meliputi:
- Ibu yang menyusui
- Saudara perempuan susuan
- Anak perempuan saudara laki-laki susuan
- Anak perempuan saudara perempuan susuan
- Bibi susuan (saudara susuan ayah)
- Saudara susuan ibu
- Anak perempuan susuan (yang menyusu pada istri).
Penulis: Nurul Azizah
Editor: Fadli Nasrudin
Penyelaras: Fadli Nasrudin