tirto.id - Di dalam apartemen pada sebuah kota kecil di luar Kota Princeton, New Jersey, Amerika Serikat, berlangsung sebuah pertemuan. Apartemen itu sempit karena berisi tumpukan ribuan buku, mulai dari klasik hingga modern. Dalam pertemuan itu, muncul ragam bisikan, argumen, hingga perdebatan. Mereka menamai pertemuan itu “Musyawarah Buku”.
“Kapan musyawarah itu pertama kali diadakan?” seseorang bertanya.
“Pada awalnya, [saat] Tuhan menciptakan akal,” jawab Nabi Muhammad SAW. Kata Nabi, dengan adanya penciptaan akal, maka lahirlah perpustakaan. “Satu jam bertafakur lebih baik daripada setahun beribadah.”
“Bahkan lebih baik daripada membaca Al-Qur’an?” tanya yang lain sembari kebingungan.
“Bisakah Al-Qur’an bermanfaat tanpa ilmu?” tanya Nabi.
Tiba-tiba, Ali bin Abi Thalib—sepupu sekaligus sahabat dekat Nabi—menjawab dengan tegas: “Tuhan tidak memberikan sesuatu yang lebih berharga kepada hamba-hamba-Nya ketimbang inteligensi.”
Percakapan imajiner itu muncul dalam salah satu bab Musyawarah Buku: Menyusuri Keindahan Islam dari Kitab ke Kitab (2001) karya Khaled Abou El Fadl, profesor hukum Islam terkemuka di AS. Lewat buku itu, ia ingin menceritakan bagaimana pada mulanya peradaban Islam dibangun oleh buku dan kitab, argumen dan debat, kritik dan sanggahan. Singkatnya: intelektualisme.
Kendati imajiner, sebenarnya kita bisa menemukan banyak jejak historis bagaimana Ali bin Abi Thalib juga memiliki sisi intelektual. Selama ini, dalam diskursus sejarah Islam klasik, Ali hanya diketahui sebagai khulafaur rasyidin yang terakhir, penglima perang, hingga tokoh sentral perpecahan Suni dan Syiah bermula.
Pintar Sejak Kecil
Ali lahir dengan nama Haydar bin Abu Thalib, di daerah Hijaz, jazirah Arab. Ayahnya, Abu Thalib, menitipkan Ali kepada Nabi sejak kecil. Abu Thalib memiliki banyak anak sehingga dengan menitipkannya ia berharap bisa memperingan kesulitan ekonomi keluarga. Panggilan “Ali” adalah pemberian Nabi.
Karen Armstrong dalam Muhammad Sang Nabi: Sebuah Biografi Kritis (2011) menulis bahwa Ali mulai hidup bersama Nabi saat umur lima tahun. “Ali menjadi pemimpin hebat di komunitas Muslim pertama, dan Ali tampak memiliki kekuatan untuk menumbuhkan pengabdian di kalangan kawan-kawannya,” tulis Karen (hlm. 95).
Karena sedari kecil menjadi anak asuh, Ali mendapat keistimewaan sebab bisa mempelajari aspek-aspek penting dalam agama Islam langsung dari Nabi, setiap hari, dari jarak yang amat dekat—hal-hal yang tidak didapat oleh sahabat Nabi lain. Syekh Waliullah Dehwali, ulama Suni dan filsuf Islam India abad ke-18, dalam kitab berjudul Izalat Al-Khifa’, menilai bahwa intelektualitas Ali tinggi karena dididik dan digembleng oleh Nabi. Ali tumbuh menjadi pemuda yang cerdas, berani, dan bijak.
Karena hidup bersama Nabi sejak kecil, Ali juga menjadi salah seorang yang pertama melihat Nabi menerima wahyu dan akhirnya memeluk Islam. Ia masuk Islam pada usia antara 8 sampai 16 tahun.
“Dia digambarkan sebagai pintu menuju kota ilmu oleh Nabi, sebagai orang yang paling paham persoalan-persoalan hukum oleh Umar, dan orang yang paling banyak tahu tentang Sunnah oleh Aisyah. Dalam penguasaan ilmu agama, Ali benar-benar menonjol,” tulis Fu’ad Jabali, dosen UIN Jakarta, dalam Sahabat Nabi: Siapa, ke Mana, dan Bagaimana? (2004: 163).
Dalam buku yang sama, Karen menulis bahwa Nabi kerap disebut “Nabi Ummi” atau nabi yang buta huruf. Ini bisa dikaitkan mengingat ibunya, Siti Aminah, meninggal saat Nabi berumur enam tahun dan tak ada yang mengajarinya membaca dan menulis. Karen juga mengatakan bahwa tak ada sumber-sumber awal tentang Muhammad yang menyatakan bahwa dirinya bisa membaca dan menulis.
Di situlah posisi kunci Ali bin Abi Thalib. “Bila ia (Nabi) perlu mengirim surat, dia akan mendiktekannya kepada orang lain seperti Ali, yang pandai membaca,” tulis Karen (hlm. 105).
Bahkan, setelah Nabi wafat dan kepemimpinan Islam dilanjutkan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq, orang yang mengatur bab-bab di dalam Al-Qur’an agar tersusun sesuai urutan turunnya wahyu adalah Ali. Ia melakukan itu pada enam bulan pertama kekhalifahan Abu Bakar.
Ali juga belajar ilmu kepemimpinan dari Nabi. Maka tak heran Ali menjadi satu dari empat sahabat Nabi yang melanjutkan estafet kepemimpinan Islam setelah Nabi wafat—empat orang yang dikenal dengan khulafaur rasyidin. Salah satu ilmu yang diterapkan Ali: seorang pemimpin muslim tidak boleh menjadi tiran.
Karen menceritakan bahwa suatu waktu Ali pernah memberikan nasihat kepada Malik al-Asytar. Saat itu Malik ditunjuk sebagai Gubernur Mesir.
“Pemimpin, di bawah Tuhan, adalah sejajar dengan subjek yang lain [rakyat] dan harus berusaha memberi penerangan dan keringanan beban pada mereka yang miskin dan papa” (hlm. 380).
Warisan Intelektual
Ali rutin menulis khotbah, petuah, esai, hingga karya sastra. Pada abad ke-10, seorang ulama di bidang sastra dan fikih, Sayid Syarif Radhi, memutuskan untuk membukukan tulisan-tulisan Ali yang kemudian diberi Nahjul Balaghah (Puncak Kefasihan).
Buku itu berisi tulisan-tulisan Ali lintas disiplin: sifat-sifat Tuhan, fikih, tafsir, hadis, kepemimpinan, etika, filsafat, sosial, sejarah, politik, administrasi, hak dan kewajiban warga, sains, retorika, puisi, hingga sastra. Nahjul Balaghah dituturkan dengan bahasa yang mudah dimengerti dan indah—itulah mengapa disebut “puncak kefasihan”.
Jalaluddin Rakhmat, pemikir Islam sekaligus Ketua Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (IJABI), organisasi Syiah di Indonesia, menilai bahwa buku itu menjadi “puncak kefasihan sastra Arab” karena hampir seluruh sastrawan Arab, termasuk sastrawan non-muslim dari Lebanon dan Yordania, merujuk dan mengagumi karya Ali itu.
“Dia menjadi semacam ukuran tingginya kelas sastra di Arab. Di Lebanon dan Yordania, lahir ahli-ahli sastra Arab non-muslim, tapi mereka sangat mengagumi Imam Ali, lewat buku itu,” kata Jalal kepada Tirto, Kamis (29/1/2021).
Salah satu sastrawan asal Lebanon yang dimaksud Jalal adalah George Jordac, yang pernah menulis buku mengenai Ali berjudul The Voice of Human Justice (1956). Di dalam buku itu, Ali tak hanya dianggap sebagai “suara keadilan umat Islam”, tapi juga “suara keadilan manusia”. Bahkan, kata Jalal, sejarawan Islam Inggris Martial Staub pernah berkata: “Kalau aku tidak menemukan Ali bin Abu Thalib, tidak ada yang menarik dari sejarah Islam.”
“Orang Indonesia yang tidak memahami bahasa Arab akan sulit memahami keindahan buku Ali bin Abu Thalib,” tambah Jalal.
Dalam buku itu, Ali juga banyak menulis kejadian penting yang terjadi selama dirinya hidup di zaman itu. Artinya, Ali bertindak sebagai tokoh sejarah sekaligus pencatat sejarah.
Sementara itu, bagi kalangan Suni, Ali bin Abu Thalib juga menjadi sosok yang sangat dihormati. Orang-orang Suni lazim memanggilnya 'Sayidina Ali' (Tuanku Ali) dengan gelar penuh pujian yaitu karamallahu wajhah (semoga Allah memuliakannya). Gelar ini dinisbatkan kepada Ali karena sepanjang hidupnya ia tidak pernah menjadi penyembah berhala dan tak pernah melihat auratnya sendiri atau aurat orang lain. "Ia [Ali] begitu menjaga pandangannya sehingga terbebas dari melihat aurat seseorang," catat laman NU Online.
Ulil Abshar Abdalla, intelektual Nahdlatul Ulama, merasakan bahwa Nahjul Balaghah dan kumpulan doa-doa Ali bertajuk Al-Shahifah al-Sajjadiyyahmemberi kesan tersendiri baginya. Membaca buku-buku tersebut, bagi Ulil, membawanya menuju pengalaman spiritual dan intelektual sekaligus.
"Teks kuno yang bertahan berabad-abad seperti Nahjul Balaghah dan al-Shahifah al-Sajjadiyyah itu lahir dari 'the self’s wholeness'. Seluruh hidup pengarang dipertaruhkan padanya," catat Ulil dalam sebuah esai di laman Qureta.
Ulil, seorang yang dibesarkan dan dididik dalam tradisi pesantren NU yang Suni, juga mengakui betapa besar kandungan ilmu dalam narasi-narasi Ali bin Abu Thalib. Teks macam itu tidak dilahirkan dari seseorang yang biasa saja.
"Membaca teks dari Imam Ali Zainal Abidin ini, kita seperti berhadapan dengan sesuatu yang karismatis. Karisma itu bisa kita rasakan dari setiap kalimat yang ada di dalamnya. Salah satu bagian yang paling menggetarkan saya dalam meditasi dan doa Imam Ali Zainal Abidin ini ialah meditasi ke-47 yang disebut dengan Doa Arafah. Saya ingin menyebut doa ini sebagai salah satu doa dan meditasi terindah dalam sejarah kerohanian Islam," lanjutnya.
Belajar dari Ali
Ahmet T. Kuru, sejarawan dan ilmuwan politik Islam dari University of Wahington, mengatakan bahwa selama tiga puluh tahun terakhir kekerasan berlangsung cukup tinggi di berbagai sudut di dunia. Ia menilai bahwa masyarakat Muslim turut serta berpartisipasi dalam kekerasan-kekerasan itu.
Walau dirinya membenarkan bahwa fenomena kekerasan tersebut sangat kompleks dan tidak terbatas lewat gagasan keagamaan maupun sekuler, baginya masyarakat muslim sebagian besar kurang berhasil melawan propaganda kaum jihadis yang pro terhadap kekerasan.
“Ketidakmampuan itu berkaitan dengan ambisi ulama untuk memonopoli tafsir Islam dan kemandekan intelektual yang dihasilkan di kalangan Muslim. Ulama sendiri tidak dapat menghasilkan argumen tandingan yang efektif, karena mereka adalah melindungi tradisi, bukan menghasilkan gagasan baru,” tulis Ahmet dalam Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan (2021: 53-54).
Pada kondisi macam itulah Ali bin Abu Thalib menemukan relevansinya di masa kini. Darinya, umat Islam bisa belajar mengenai pentingnya menjadi muslim yang mengedepankan rasionalitas, gagasan, dan intelektualisme, ketimbang mengandalkan bedil, pedang, dan bom.
Pada 29 Januari 661, tepat hari ini 1.360 tahun lalu, Ali bin Abu Thalib meninggal. Lebih dari satu milenium sudah terlewati, namun gagasan dan pemikiran sahabat terdekat Nabi itu akan terus abadi dan menerangi jalan peradaban Islam.
“Tidur dapat meruntuhkan ketetap-hati yang teramat penting,” kata Ali, dalam salah satu bab buku Khaled Abou El Fadl. Karena kalimat Ali itu, Khaled menjadi pribadi yang tak pernah tidur. Ia selalu melewatikan malam-malamnya untuk bergulat dan berargumen dengan buku-buku yang ada di apartemennya—salah satunya buku karya Ali.
“Al-Qur’an hanyalah sebuah kitab yang bersampul—manusialah yang membaca, memahami, dan menerapkannya,” kata Ali.
Editor: Irfan Teguh & Ivan Aulia Ahsan