tirto.id - Hukum mendengarkan musik saat puasa Ramadan adalah mubah. Dengan kata lain, mendengarkan musik tidak membatalkan siam selama tak dibarengi dengan kemaksiatan. Bagaimana penjelasannya?
Umat Islam yang mukalaf tanpa uzur syar'i berkewajiban untuk menjalankan ibadah puasa pada siang hari bulan Ramadan, tepatnya sejak fajar shadiq terbit (waktu subuh) hingga matahari terbenam (waktu maghrib).
Saat menjalankan puasa, seorang muslim harus memperhatikan perkara yang membatalkan dan merusak ibadah tersebut.
Syaikh Muhammad Ibn Qasim al-Ghazy dalam kitab Fathul Qorib menuliskan delapan hal yang membatalkan puasa sebagai berikut:
- Masuknya sesuatu ke dalam tubuh dengan sengaja melalui lubang alami seperti mulut, hidung, telinga, qubul (tempat keluar urine), dan dubur (tempat keluar tinja)
- Pengobatan dengan memasukan benda ke qubul dan dubur
- Muntah dengan sengaja
- Melakukan hubungan seksual dengan lawan jenis secara sengaja (termasuk hubungan seksual sesama jenis)
- Keluarnya air mani (sperma) karena bersentuhan kulit
- Mengalami haid atau nifas
- Gila (junun)
- Menyatakan keinginan dan atau murtad.
"Ada lima perkara yang membatalkan pahala orang yang berpuasa, yaitu (1) berdusta; (2) berghibah; (3) mengadu domba; (4) bersumpah palsu; (5) memandang dengan syahwat." (HR. Dailami).
Bagaimana dengan mendengarkan musik saat puasa Ramadhan?
Hukum Mendengarkan Musik Saat Puasa Ramadhan
Mendengarkan musik tidak termasuk perkara yang membatalkan puasa, juga tidak merusak pahala puasa. Oleh sebab itu, hukum mendengarkan musik saat puasa Ramadan dikembalikan seperti hari-hari biasa.
Hukum mendengarkan musik apabila merujuk kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali dan kitab al-Fiqh ‘al-Madzâhib al-Arba‘ah karya Syekh ‘Abd al-Rahmân al-Jazîrî adalah mubah atau boleh.
Dikutip dari laman NU Online, Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin menanggapi dalil dan argumentasi ulama yang mengharamkan musik sebagai berikut:
“Ketahuilah, pendapat yang mengatakan, ‘Aktivitas mendengar [nyanyian, bunyi, atau musik] itu haram’ mesti dipahami (dari dasar argumen) bahwa Allah akan menyiksa seseorang atas aktivitas tersebut.’ Hukum seperti ini tidak bisa diketahui hanya berdasarkan aqli semata, tetapi harus berdasarkan naqli.
Jalan mengetahui hukum-hukum syara‘ [agama], terbatas pada nash dan qiyas terhadap nash. Yang saya maksud dengan ‘nash’ adalah apa yang dijelaskan oleh Rasulullah saw. melalui ucapan dan perbuatannya. Sementara yang saya maksud dengan ‘qiyas’ adalah pengertian secara analogis yang dipahami dari ucapan dan perbuatan Rasulullah itu sendiri.
Jika tidak ada satu pun nash dan argumentasi qiyas terhadap nash pada masalah mendengarkan nyanyian atau musik ini, maka batal pendapat yang mengharamkannya. Artinya, mendengarkan nyanyian atau musik itu tetap sebagai aktivitas yang tidak bernilai dosa, sama halnya dengan aktivitas mubah yang lain.
Sementara [pada amatan kami] tidak ada satupun nash dan argumentasi qiyas yang menunjukkan keharaman aktivitas ini. Hal ini tampak jelas pada tanggapan kami terhadap dalil-dalil yang dikemukakan oleh mereka yang cenderung mengharamkannya. Ketika tanggapan kami terhadap dalil mereka demikian lengkap, maka itu sudah memadai sebagai metode yang tuntas dalam menetapkan tujuan ini. Hanya saja, kami mulai membuka dan mengatakan bahwa nash dan argumentasi qiyas menunjukkan kemubahan aktivitas mendengarkan nyanyian atau musik.
Argumentasi qiyas menyatakan bahwa kata ‘bunyi’ itu mengandung sejumlah pengertian yang perlu dikaji baik secara terpisah maupun keseluruhan. Kata ini mengandung pengertian sebuah aktivitas mendengarkan suara yang indah, berirama, terpahami maknanya, dan menyentuh perasaan. Secara lebih umum ‘bunyi’ adalah suara yang indah. Bunyi yang indah ini terbagi atas yang berirama [terpola] dan yang tidak berirama. Bunyian yang berirama terbagi atas suara yang dipahami seperti syair-syair dan suara yang tidak terpahami seperti suara-suara tertentu. Sedangkan mendengarkan suara yang indah ditinjau dari keindahannya tidak lantas menjadi haram. Bahkan bunyi yang dihasilkan dari gerakan benda-benda mati dan suara hewan itu halal berdasarkan nash dan argumentasi qiyas.” (Lihat Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, Mesir, Musthafa Al-Babi Al-Halabi, tahun 1358 H/1939 H, Juz 2, Halaman 268).
Dari penjelasan potongan kitab Ihya Ulumuddin di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa Imam Al-Ghazali tidak menemukan satupun nash yang mengharamkan musik.
Keharaman mendengarkan musik dari para ulama yang menolak, didasarkan pada musik yang dibarengi kemaksiatan seperti mabuk, zina, judi, hingga melalaikan kewajiban. Oleh sebab itu, Imam Al-Ghazali melihat musik sebagai perkara yang diperbolehkan selagi tidak dibarengi kemaksiatan.
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Ahmad Yasin & Fitra Firdaus