tirto.id - Puasa qadha merupakan kewajiban bagi setiap Muslim yang memiliki utang puasa Ramadhan karena uzur tertentu. Seperti sakit, bepergian, atau haid (bagi perempuan). Apakah boleh membatalkan puasa qadha jika ada alasan tertentu?
Dalam Islam, membatalkan puasa qadha memiliki konsekuensi yang berbeda dengan puasa sunnah. Membatalkan puasa qadha tanpa uzur tidak dianjurkan. Meskipun hal ini tidak dikenakan kafarat seperti membatalkan puasa Ramadhan dengan sengaja.
Namun, jika terpaksa membatalkan, maka puasa tersebut harus diganti di hari lain. Oleh karena itu, penting untuk mempertimbangkan dengan matang sebelum menjalankan puasa qadha agar dapat menyelesaikan dengan baik.
Tata Cara dan Niat Puasa Qadha
Puasa qadha dapat dilakukan kapan saja asal sebelum datang Ramadhan berikutnya. Namun, terdapat larangan untuk menjalankan alias hari-hari yang dilarang berpuasa.
Di antaranya seperti Hari Raya Idul Fitri, Idul Adha, Hari Tasyrik (11,12,13 bulan Dzulhijjah). Puasa qadha sebaiknya dilakukan segera. Tujuannya agar tidak menumpuk hingga mendekati bulan Ramadhan.
Sementara tata cara puasa qadha dilakukan sama seperti puasa Ramadhan. Berikut ini adalah rinciannya:
- Menetapkan niat sebelum fajar.
- Menahan diri dari makan, minum, dan segala hal yang membatalkan puasa sejak terbit fajar hingga terbenam matahari.
- Memperbanyak ibadah dan menjauhi hal yang dilarang, seperti berkata kasar atau bertengkar.
- Menyegerakan berbuka saat waktu magrib tiba.
- Dihitung dari puasa yang batal pada bulan Ramadhan sebelumnya.
Niat puasa qadha dilakukan sejak malam hari sebelum fajar. Membaca niat termasuk rangkaian yang dilakukan selama menjalankan puasa wajib.
Berikut lafal niat puasa qadha dalam bentuk bahasa Arab, latin, dan terjemahannya:
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ قَضَاءِ رَمَضَانَ لِلَّهِ تَعَالَى
“Nawaitu shauma ghodin ‘an qadha’i Ramadana lillahi ta’ala.”
Artinya: “Saya niat berpuasa esok hari untuk mengganti puasa Ramadan karena Allah Ta’ala.”
Ketika waktu berbuka tiba, orang yang menjalankan puasa juga dapat membaca doa buka puasa qadha. Lafaz doa puasa qadha saat berbuka yaitu sebagai berikut:
اَللّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّحِمِيْنَ
Allahuma laka shumtu wa bika amantu wa’ala rizqika afthartu. Birrahmatika yaa arhamar rahimin.
Artinya: “Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, dan kepadaMu aku beriman, dan dengan rezekiMu aku berbuka. Dengan rahmat-Mu Wahai Yang Maha Pengasih dan Penyayang”.
Hukum Membatalkan Puasa Qadha dalam Islam
Menjalankan puasa wajib merupakan perbuatan yang harus dilakukan. Contoh puasa wajib adalah puasa Ramadan, puasa karena nazar, mengganti puasa yang terlewat alias puasa qadha, hingga puasa sebagai bentuk penebusan (kaffarat).
Hal tersebut dilandaskan pada ayat al-Qur`an surat al-Baqarah ayat 185:
syahru ramadlânalladzî unzila fîhil-qur'ânu hudal lin-nâsi wa bayyinâtim minal-hudâ wal-furqân, fa man syahida mingkumusy-syahra falyashum-h, wa mang kâna marîdlan au ‘alâ safarin fa ‘iddatum min ayyâmin ukhar, yurîdullâhu bikumul-yusra wa lâ yurîdu bikumul-‘usra wa litukmilul-‘iddata wa litukabbirullâha ‘alâ mâ hadâkum wa la‘allakum tasykurûn
Artinya:"Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil). Oleh karena itu, siapa di antara kamu hadir (di tempat tinggalnya atau bukan musafir) pada bulan itu, berpuasalah. Siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya) sebanyak hari (yang ditinggalkannya) pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu agar kamu bersyukur,".Menghentikan puasa tanpa alasan yang sah memang tidak diperkenankan. Kecuali terjadi dalam situasi tertentu yang menghalangi seseorang untuk melanjutkan. Seperti kondisi kesehatan yang menurun, perjalanan jauh, dan pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan.
Sementara apabila seseorang berhubungan layaknya suami istri ketika menjalani ibadah puasa qadha, maka mereka tidak dikenakan hukum seperti orang yang berjimak di bulan Ramadhan. Hal ini dilandaskan pada hadis Aisyah RA:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلَّا فِي شَعْبَانَ، الشُّغْلُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Artinya: "Aku mempunyai hutang puasa Ramadhan, namun aku tidak dapat mengqadhanya kecuali pada bulan Sya’ban, karena kesibukanku melayani Rasulullah." (HR. Bukhari No. 1950 dan Muslim No. 1146)
Selain itu, pendapat Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu` Syarah al-Muhadzab, Jilid VII, juga berbunyi:
لَوْ جَامَعَ فِي صَوْمِ غَيْرِ رَمَضَانَ مِنْ قَضَاءِ أَوْ نَذْرٍ أَوْ غَيْرِهِمَا فَلَا كَفَّارَةَ
Artinya: "Jika seseorang berjima' (bersetubuh) di siang hari pada puasa yang bukan puasa Ramadhan, baik puasa sunnah, puasa nadzar, atau puasa lainnya, maka tidak ada kafarat (denda) yang harus ditanggungnya."
Hukum ini juga dikuatkan melalui pendapat Ibnu Rusyd yang mengatakan bahwa:
وَاتَّفَقَ الجُمْهُوْرُ عَلَى أَنَّهُ لَيْسَ فِي الفِطْرِ عَمْدًا فِي قَضَاءِ رَمَضَانَ كَفَّارَةٌ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ لَهُ حُرْمَةُ زَمَانِ الأَدَاءِ، أَعْنِي رَمَضَانَ
Artinya:"Para ulama sepakat bahwa tidak ada kafarat (denda) bagi orang yang sengaja berbuka puasa di siang hari bulan Ramadhan ketika ia sedang menjalani qadha puasa. Hal ini karena qadha puasa tidak memiliki kemuliaan waktu seperti puasa Ramadhan,".
Penulis: Satrio Dwi Haryono
Editor: Beni Jo & Fitra Firdaus