Menuju konten utama

Hukum Hubungan Badan pada Bulan Puasa Ramadhan: Boleh atau Tidak?

Hukum berhubungan badan pada bulan Ramadan: boleh pada malam hari, haram dan mesti membayar kafarat pada siang hari.

Hukum Hubungan Badan pada Bulan Puasa Ramadhan: Boleh atau Tidak?
Shower. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Bagi suami istri, hubungan badan sepanjang bulan Ramadan memiliki ketentuan tersendiri. Pada malam hari, hubungan badan ini dapat bernilai sedekah seperti hari-hari lain. Akan tetapi pada siang hari ketika tiba waktu untuk berpuasa sejak subuh hingga magrib, hubungan badan dipandang sebagai dosa besar.

Definisi puasa secara istilah adalah menahan diri dari hal-hal yang membatalkan sejak terbit fajar hingga terbenam matahari berdasarkan niat. Menahan diri yang dimaksud adalah, menekan syahwat, termasuk berhubungan badan.

Oleh karenanya, jika suami istr berhubungan badan pada waktu puasa, keduanya tidak hanya wajib menggantinya di luar bulan Ramadan, tetapi juga harus membayar kafarat (denda yang wajib dibayar).

Ketentuan mengenai kafarat yang harus ditunaikan tergambar dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa ada seorang laki-laki datang kepada Nabi Muhammad, lantas berkata, “Celakalah aku! Aku mencampuri istriku (siang hari) di bulan Ramadan.

Nabi bersabda, “Merdekakanlah seorang hamba sahaya perempuan.” Dijawab oleh laki-laki itu, “Aku tidak mampu.”

Beliau kembali bersabda, “Berpuasalah selama dua bulan berturut-turut.” Dijawab lagi oleh laki-laki itu, “Aku tak mampu.”

Beliau kembali bersabda, “Berikanlah makanan kepada enam puluh orang miskin,” (H.R. Albukhari).

Berdasarkan sabda nabi Muhammad Saw di atas, kafarat yang harus dibayarkan meliputi tiga hal. Pertama, memerdekakan seorang budak atau hamba sahaya.

Kedua, jika tidak mampu, maka harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut.

Ketiga, kalau masih tidak mampu, ia harus memberi makan 60 orang fakir miskin. Setiap orang berupa satu mud makanan pokok atau sekitar 0,6 kg beras.

Hubungan Badan pada Malam Hari Bulan Puasa

Jika hubungan badan pada siang hari dipandang sebagai dosa besar, hubungan suami istri pada malam hari dibolehkan berdasarkan firman Allah dalam surah al-Baqarah:187, “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu. Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu.

"Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.”

Sebagaimana lazimnya, kewajiban seorang muslim yang berhadas besar selepas berhubungan badan adalah menyucikan diri dengan mandi janabah. Lalu, bagaimana jika sampai waktu azan subuh belum sempat mandi junub, apakah puasanya sah atau tidak?

Mandi junub hukumnya wajib dilakukan oleh suami-istri setelah berhubungan badan. Namun, ketika air terlalu dingin atau karena sebab lain, suami-istri dapat menunda mandi junub sampai waktu fajar.

Dua ahli fikih dari Madzhab Maliki, Syekh Hasan Sulaiman An-Nuri dan Syekh Alawi Abbas Al-Maliki dalam kitab Ibanatul Ahkam (1996: jilid 2, hlm. 313) menyatakan, kendati dibolehkan menunda janabah, lebih utama untuk menyegerakan mandi wajib sebelum terbit fajar atau sebelum subuh.

Baca juga artikel terkait RAMADAN 2020 atau tulisan lainnya dari Abdul Hadi

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Abdul Hadi
Penulis: Abdul Hadi
Editor: Fitra Firdaus