tirto.id - Selasa pagi, 26 Maret 1991, sekolah dan sebagian besar perkantoran di wilayah Daegu, Korea Selatan, tampak sepi. Para pekerja, guru, dan pelajar diliburkan, karena bertepatan dengan pelaksanaan pemilihan kepala daerah.
Bagi anak-anak yang belum memenuhi syarat untuk menggunakan hak pilih, hari itu dimanfaatkan untuk bermain. Itu pula yang dilakukan U Cheol-won, Jo Ho-yeon, Kim Yeong-gyu, Park Chan-in, Kim Jong-sik, dan Tae-Ryong kim--murid Sekolah Dasar Seongseo.
Berbekal tongkat kayu dan kaleng, mereka melakukan perjalanan ke Gunung Waryong untuk mencari telur katak salamander. Di tengah perjalanan yang belum jauh, Tae-Ryong Kim terpaksa meninggalkan teman-temannya karena ibunya mengejar dan memanggilnya agar ia tetap tinggal di rumah.
Hingga petang, kelima temannya yang kelak disebut sebagai The Frog Boys, tak kunjung kembali. Kepanikan seketika menyelimuti perasaan para orang tuanya dan segera menghubungi polisi setempat untuk melakukan pencarian.
Mengutip laman Criminally Intrigued, setelah pencarian pertama, polisi menduga kelima anak itu tersesat. Namun penduduk setempat yang turut mencari segera membantahnya.
Menurut mereka, lampu-lampu di sekitar Gunung Waryong cukup untuk menerangi perjalanan kelima anak hingga mestinya dapat kembali ke rumah. Bahkan, jika seorang wisatawan luar daerah tersesat akan mudah untuk menemukan jalan pulang.
Awalnya, berita kehilangan anak-anak ini kurang mendapat perhatian. Masyarakat disibukkan dengan hasil akhir dari pemilihan kepala daerah. Baru tujuh hari kemudian, kabar ini menjadi perbincangan hangat di seluruh kota dan berkembang menjadi pemberitaan nasional.
Minggu berlalu, bulan berganti, pencarian terus dilakukan. Pada 4 Mei 1991, sebuah program berita bernama The Square Of Public Opinions tayang. Program ini menjembatani antara masyarakat yang menemukan dan mengetahui keberadaan The Frog Boys dengan para orang tuanya.
Namun, titik terang tak kunjung muncul. Bahkan dalam program acara tersebut terdapat sebuah lelucon dalam bentuk panggilan suara sandiwara dari orang yang mengaku sebagai salah satu anak yang hilang.
Hal ini kian menambah kecewa para orang tua. Sebelumnya, mereka juga dibuat kesal oleh sebuah "pamflet polisi yang menyebut anak-anak tersebut [hanya] kabur," tulis Derrick A Paulo dalam Channel News Asia.
Pencarian terus diupayakan. Presiden Korea Selatan saat itu, Roh Tae-woo, secara resmi memerintahkan pencarian dan penyelidikan lebih lanjut. Sejak saat itu, kasus ini mulai dikenal dengan nama The Frog Boys.
Sebelas tahun kemudian, tepatnya 26 September 2002, tulang belulang anak-anak hilang ini ditemukan terkubur di Gunung Waryong oleh seorang pendaki yang sedang mencari biji oak.
Setelah melaporkan temuannya kepada pihak berwenang, penyelidikan segera dilakukan. Hasilnya, seorang profesor ahli forensik dari Universitas Kyungbook, Chae Jong-min, dan tim Korea Alpine Federation menduga The Frog Boys tewas tertembak peluru. Hal ini tampak dari dua lubang di salah satu tengkorak.
Dugaan semakin kuat karena lokasi ditemukannya korban, pada 1991 terdapat sebuah lapangan tembak militer. Namun, hingga kini orang yang melakukan penembakan belum diketahui secara pasti.
Pihak militer, khususnya Divisi Infanteri ke-50 Korea Selatan, yang kerap melakukan latihan menembak di Gunung Waryong, menyangkal dugaan itu. Alasannya, pada hari kejadian latihan sedang diliburkan. Sementara pihak kepolisian menyatakan kelima anak tersebut tewas akibat hipotermia.
Sontak, pernyataan kepolisian mendapat penentangan dari para ahli forensik. Sebab, jika dugaan polisi benar, dapat dipastikan tubuh The Frog Boys akan membusuk dan tidak akan tertimbun di bawah tanah.
Selain itu, pernyataan pihak militer juga kemungkinan tidak jujur. Salah seorang penduduk yang merupakan teman salah satu korban, mendengar suara tembakan dan jeritan pada hari ketika kelima anak itu mencari telur katak salamander di Gunung Waryong.
Na Ju-bong Mendesak Pemerintah
Meski bukan orang pertama yang secara langsung menemukan jasad The Frog Boys, seorang lelaki bernama Na Ju-bong, memiliki andil besar dalam proses pencarian.
Ia pertama kali melibatkan diri pada Juli 1991, saat para orang tua korban melintasi wilayah Wolmido, Incheon, dengan menaiki sebuah truk sewaan yang dihiasi foto-foto anaknya dan spanduk bertuliskan "Tolong bantu temukan anak kami yang hilang".
Hari-hari berikutnya, dalam upaya pencarian lebih lanjut, Na Ju-bong mendirikan sebuah organisasi pencarian orang hilang bernama National Organization of Finding Missing Children and Family.
Seturut Kim Seung-hye dalam Korea JoongAng Daily, organisasi ini berafiliasi dengan Badan Kepolisian Nasional Korea Selatan dan menerima dana 3 juta won ($2.700) setiap tahunnya.
Karena dana itu tidak cukup untuk menutupi biaya pencarian, maka kekurangannya ia tambal dengan merogoh uang pribadi dan mendapat bantuan dari istrinya yang sehari-hari berjualan pakaian.
Seiring waktu, organisasi yang ia bentuk turut melakukan pencarian terhadap kasus orang hilang lainnya.
Pada Pemilu Korea Selatan 2002, Na Ju-bong meminta para calon presiden untuk menyertakan foto dan cerita anak hilang dalam setiap brosur kampanyenya.
Hasilnya, hingga Desember 2002, ponselnya dibanjiri 40.000 panggilan telepon yang memberi informasi tentang keberadaan anak-anak hilang yang tersematkan dalam brosur kampanye.
"Sekitar 200 anak hilang telah berhasil kembali ke keluarganya," tulis Jo Yoo-hyeon dalam News Naver.
Selanjutnya, ia menuntut izin layanan detektif swasta dalam pencarian orang hilang dan menyerukan pemerintah untuk menghapuskan undang-undang pembatasan pembunuhan terhadap anak-anak, perempuan, dan orang cacat.
Pada 2005, usahanya berbuah hasil. Pemerintah Korea Selatan akhirnya merevisi undang-undang tentang anak hilang, dengan menetapkan bahwa seorang anak masuk kategori hilang jika usianya masih di bawah 18 tahun. Selain itu, ditetapkan perpanjangan batas waktu penyelidikan dan pencarian anak hilang dari 15 tahun menjadi 25 tahun.
Setelah itu, ia menuntut pemerintah untuk segera membuat sebuah undang-undang yang mengatur kasus penghilangan orang dewasa. Baginya hal ini penting. Sebab meski dilaporkan hilang, orang dewasa biasanya hanya diklasifikasikan sebagai pelarian.
Kampanye Pita Harapan
Upaya yang dilakukan Na Ju-bong berdampak pada pendirian sejumlah organisasi serupa. Salah satunya The Finding a Missing Child Association of Korea yang didirikan oleh Seo Gi-won setelah putrinya Hee-young hilang pada 1994.
Ada juga National Missing Family Association oleh Choi Yong-jin yang juga kehilangan putrinya bernama Jun-won pada 4 April 2000. Keduanya turut terlibat dalam seruan Na Ju-bong untuk menuntut perubahan tentang pembatasan waktu penyelidikan terhadap kasus anak hilang.
Pada 2019, dirilis sebuah film dokumenter berjudul Evaporated yang ditayangkan di bioskop-bioskop lokal, sebagai upaya mengajak masyarakat Korea Selatan menemukan Ju-won.
Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan menggelontorkan dana sebesar 950 juta won, yang didistribusikan oleh National Center for the Right of the Child (NCRC) kepada keluarga yang kehilangan anak-anaknya untuk dipergunakan sebagai biaya pencarian dan mencetak selebaran informasi.
"[Juga penerbitan] buku untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang anak hilang," tulis Yoon So-yon dalam Korea JoongAng Daily.
Pada 25 Mei 2020, bertepatan dengan peringatan Hari Anak Hilang Internasional, sebuah perusahaan pemasaran milik Samsung, Cheil Worldwide, melakukan kerja sama dengan Badan Kepolisian Nasional Korea, jasa penyedia kurir Korea Post, dan Hanjin Transportation dengan meluncurkan Hope Tape Campaign (Kampanye Pita Harapan) untuk menemukan anak-anak Korea Selatan yang hilang.
Dalam praktiknya, setiap parsel dikemas menggunakan pita perekat yang memuat foto dan informasi tentang anak-anak yang hilang. Terdapat pula sebuah QR code untuk memudahkan masyarakat melakukan pelaporan dan "mendaftarkan sidik jari anak-anak mereka yang nantinya dapat digunakan jika terjadi kasus kehilangan," tulis Bobby McGill dalam Branding In Asia.
Penulis: Andika Yudhistira Pratama
Editor: Irfan Teguh Pribadi