Menuju konten utama

Hidup Warga Tamansari Tergusur; Pemkot Bandung Bantah Ada Kekerasan

Warga Tamansari akan mengajukan banding putusan PTUN Bandung atas ruang hidup mereka yang digusur Pemkot Bandung.

Hidup Warga Tamansari Tergusur; Pemkot Bandung Bantah Ada Kekerasan
Sejumlah warga melihat alat berat membongkar sebuah bangunan rumah warga di Tamansari, Kota Bandung, Kamis (12/12/2019). (ANTARA/Bagus Ahmad Rizaldi).

tirto.id - “Aku mau pulang ke rumah dulu,” ujar Tata, bukan nama sebenarnya.

Gadis usia 5 tahun ini lantas diam dan bengong sejenak, “Eh iya, aku enggak punya rumah..."

Tata termasuk satu dari sekitar 10 balita dan 6 anak-anak yang terdampak penggusuran di RW 11 Tamansari, Bandung, pada 12 Desember 2019. Selain itu, ada 3 remaja, 45 orang dewasa, yang terdaftar dalam 38 keluarga.

Kini sebagian korban tergusur tinggal di Masjid Al-Islam, tidur bersama di lantai dua beralaskan karpet hijau.

Ada perubahan tingkah laku pada anak-anak selepas penggusuran. Ada yang mudah menangis, ada yang suka melempar-lempar barang, ada yang melamun dan enggan bersekolah.

Penggusuran itu tak cuma berdampak pada anak-anak.

Eva, 49 tahun, tinggal di rumah peninggalan kakeknya, yang kemudian direnovasi oleh orangtua Eva. Di rumah itu Eva memiliki konveksi kecil dengan lima penjahit.

Kini, "perekonomian mati, mana masih ada cicilan motor," ujar Eva. "Aku mau ngapain lagi, enggak ada tempat, dong."

Eva tak sempat mengemasi barang-barang di lantai dua, “Lemari yang di lantai atas, ada monitor harddisk, hancur."

Hingga Jumat pekan lalu, warga tergusur masih sesekali mendatangi puing-puing bekas rumah mereka. Beberapa mainan anak hancur hingga kartu keluarga memudar karena basah.

Ibu-ibu, ujar Eva, berusaha mengenyam semangat anak-anaknya, membantu anak-anak mereka menghilangkan trauma akibat melihat peristiwa kekerasan saat proses penggusuran.

Eva berkata penggusuran paksa oleh Pemkot Bandung tak membuatnya patah semangat. Ia justru semakin sadar untuk merebut hak atas ruang hidup.

“Tadinya saat saya dalam posisi nyaman, ada kerjaan, kebutuhan tercukupi, tiba-tiba kok kayak gini,” kata Eva.

Eva berkata semula ia tidak memahami masalah hak dan hukum. Namun, ia belajar "masalah hukum, prosedur yang ideal, dan sebagainya. Sejak saat itu, saya terus belajar dan membentengi diri dengan ilmu,” lanjutnya.

Eva dan warga Tamansari tak berjuang sendiri.

Terbentuk solidaritas sejak rencana penggusuran Tamansari bergulir pada 2017. Mayoritas yang terlibat adalah mahasiswa. Solidaritas ini menghidupkan Tamansari sebagai ruang publik bersama warga.

"Di sana, seringkali diadakan acara-acara diskusi, musik. Tamansari jadi ruang publik alternatif di Bandung,” ujar Ahmad, mahasiswa dari kampus di Jawa Barat yang terlibat dalam solidaritas kepada Tirto.

Saat penggusuran, solidaritas ini merapat melalui pemanggilan yang dilakukan melalui media sosial.

Dan, setidaknya, ada 27 akademisi dan praktisi penggiat kampung kota menyampaikan penolakan terhadap penggusuran paksa di Tamansari, seperti Direktur RUJAK Center for Urban Studies Elisa Sutanudjaja, ahli tata kota Frans Ari Prasetyo, dan peneliti Institute for Ecosoc Rights Sri Palupi.

Ada Kekerasan tapi Dibantah Pemkot Bandung

Pendekatan kekerasan dalam proses penggusuran beredar di media sosial, salah satunya melalui akun Instagram @tamansarimelawan. Terlihat ada pemukulan hingga penembakan gas air mata yang dilakukan oleh aparat keamanan Indonesia, baik dari Polri maupun TNI serta Satpol PP Kota Bandung.

Dalam salah satu video terlihat seorang anggota TNI menarik seorang warga ke arah kerumunan polisi, kemudian para polisi itu mengeroyok warga. Ada juga beberapa video yang memperlihatkan para polisi memukuli warga di halaman Balubur Town Square (Baltos) yang dekat dengan kawasan penggusuran.

Rifki Zulfikar, pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung yang mendampingi warga Tamansari, mengatakan “polisi menangkap secara acak puluhan orang yang terlihat membantu warga.”

Direktur LBH Bandung Willy Hanafi berkata mungkin tak masalah bagi pihak keamanan untuk mengamankan orang, "tapi masalahnya saat penggusuran mereka menggunakan pendekatan kekerasan."

Penggusuran ini bermula dari rencana Pemkot Bandung saat dipimpin Wali Kota Ridwan Kamil, kini menjabat gubernur Jawa Barat, merencanakan membangun rumah deret di kawasan padat Tamansari pada 2017. Ada sebagian warga direlokasi ke Rusunawa Rancacili, tetapi sebagian lain memilih bertahan dan menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung.

Pemkot Bandung mengklaim sebagai pemilik lahan RW 11 Tamansari berdasarkan dua hal: surat jual-beli tanah pada 1930 serta surat keterangan aset daerah.

Namun, menurut Rifki Zulfikar, kuasa hukum warga Tamansari dari LBH Bandung, sepatutnya kepemilikan tanah diakui berdasarkan sertifikat dari Badan Pertanahan Nasional.

“Jadi, status lahannya sampai sekarang masih tanah negara, status quo,” ujarnya.

“Diperkuat ada aturan Menteri Dalam Negeri 19/2016 tentang aset daerah. Kedudukan aset daerah urutannya harusnya disertifikatkan dulu, baru jadi aset daerah. Sedangkan Pemkot Bandung kebalik: sertifikat belum ada, tapi sudah masuk aset daerah."

Rifki mempertanyakan alasan penggusuran oleh Pemkot Bandung di mana izin lingkungan Pemkot Bandung masih berpekara di pengadilan. Warga menuntut landasan terbit izin lingkungan itu lewat PTUN.

Pada Kamis pekan lalu, 19 Desember, PTUN baru memutuskan gugatan warga ditolak. Meski begitu, warga akan mengambil jalan untuk banding atas keputusan PTUN tersebut.