tirto.id - Terapi cuci otak untuk pasien stroke yang dilakukan Kepala RSPAD Gatot Subroto, Terawan Agus Putrantomenuai kontroversi. Ringkasnya, ia bekerja dengan memasukkan heparin menggunakan kateter melalui pembuluh kaki, dikenal dengan metode Digital Subtraction Angiography (DSA). Terawan meyakini heparin dapat menghancurkan penyumbatan pembuluh darah. Benarkah demikian?
Pada prinsipnya, penyakit stroke disebabkan oleh hambatan aliran darah ke area otak. Kondisi itu membuat otak jadi kehilangan fungsi karena tak mendapat pasokan nutrisi dan oksigen. Dilihat dari jenis penghambatnya, stroke bisa dibedakan menjadi dua, yakni stroke hemoragik dan stroke iskemik.
Stroke hemoragik disebabkan oleh pembuluh darah yang bocor atau pecah di dalam atau di sekitar otak sehingga menghentikan suplai darah ke otak. Sementara stroke iskemik merupakan jenis stroke yang paling umum terjadi (90 persen) akibat penyempitan atau penyumbatan pembuluh darah oleh kolesterol (lemak).
Pada terapi cuci otak, stroke yang ditangani adalah jenis yang kedua. Terawan menggunakan heparin untuk menghancurkan kolesterol yang menyumbat pembuluh darah. Dilansir WebMD, heparin merupakan jenis obat yang digunakan untuk mencegah gumpalan darah atau biasa disebut sebagai pengencer darah.
Heparin membantu protein anti-pembekuan dalam tubuh bekerja lebih baik sehingga melancarkan aliran darah. Ia digolongkan sebagai obat antikoagulan (menghambat pembekuan darah), tapi tidak digunakan untuk menghancurkannya.
“Kerja heparin adalah mencegah terjadinya pembekuan darah,” tegas Dra. Aluwi Nirwana Sani, M.Pharm., Apt, Wakil Ketua Ikatan Apoteker Indonesia, Selasa (10/4/2018).
Heparin digunakan lazimnya sebagai salah satu terapi pada pasien trombosis, emboli paru, dan mencegah pembekuan darah pada saat transfusi, dialisis, dan bedah jantung. Manfaat obat ini, lanjut Aluwi, banyak dirasakan pada pasien dengan gangguan pada pembuluh darah arteri maupun vena. Pasien dengan kondisi tersebut memiliki risiko tinggi mengalami penyumbatan di pembuluh darahnya.
Heparin untuk Stroke
Heparin tersedia dalam dua bentuk sediaan: injeksi seperti yang digunakan oleh Terawan serta bentuk krim dan gel sebagai obat luar. Sediaan yang kedua termasuk golongan obat bebas terbatas dan dapat dibeli di apotek tanpa resep dokter.
Dalam dunia apoteker klinis, heparin tergolong sebagai salah satu dari sedikit obat yang memiliki indeks terapi sempit. Artinya, jarak dosis yang memberikan efek terapi dan efek samping sangat berdekatan. Kadar obat harus dicek secara berkala pada penggunaan pasien dengan gangguan ginjal, jantung, dan hati.
“Perubahan sedikit pada kondisi organ tersebut akan mengubah kinetika heparin yang bisa berakibat fatal bagi pasien,” kata Aluwi.
Golongan heparin sebagai obat keras membuatnya tak bisa digunakan secara sembrono. Obat ini memiliki berbagai efek samping, di antaranya pendarahan, nyeri, iritasi, perubahan warna kulit saat disuntik, gatal kaki atau warna kaki kebiruan, demam, menggigil, batuk, sulit bernapas, dan mendadak mati rasa. Penggunaan berlebih atau tak tepat malah membikin efek mudah memar, mimisan, darah di urine atau tinja, tinja hitam, atau perdarahan terus menerus.
Sementara itu, penggunaan heparin untuk menangani stroke masih diperdebatkan. Penyebabnya: prinsip pemberian antikoagulan pada pasien stroke lebih ditujukan sebagai upaya pencegahan daripada perbaikan proses iskemia di otak. Malah pada stroke iskemik non-kardioemboli, pemberian antikoagulan tidak dianjurkan karena berisiko perdarahan.
Antikoagulan diberikan hanya jika pasien mengalami hiperkoagulasi, keadaan saat terdapat kecenderungan terbentuknya gumpalan bekuan darah atau trombus di dalam pembuluh darah. Penelitian terapi antikoagulan heparin dini pada pasien yang diduga mengalami stroke iskemik kardioemboli tidak menunjukkan perbaikan. Sebaliknya, pemberian heparin dini pada fase akut justru meningkatkan risiko perdarahan intrakranial (di dalam rongga kepala) dan perdarahan sistemik.
“Penggunaan heparin untuk pasien stroke memang tidak didukung oleh guidelineAmerican Stroke Association (ASA) maupun tata laksana stroke hemoragik dan non-hemoragik,” tutup Aluwi.
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani