tirto.id - Surat keputusan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran IDI tentang rekomendasi pemecatan dr. Terawan Agus Putranto mendapat respons dari publik dan mantan pasiennya. Di Twitter, muncul tagar #SaveDokterTerawan, yang turut diramaikan oleh sejumlah politikus.
Aburizal Bakrie, politikus Golkar, mengunggah testimoninya dan mengaku sebagai salah satu pasien dokter Terawan yang sudah merasakan khasiat "brainwash".
“Ramai diberitakan kabar kepala RSPAD Mayjen TNI dr Terawan Agus Putranto diberhentikan oleh IDI dengan alasan etik. Metode “cuci otak”nya dipermasalahkan, padahal dengan itu dia telah menolong baik mencegah maupun mengobati puluhan ribu orang penderita stroke,” tulis Bakrie pada 3 April lalu. (Esok harinya, Bakrie mengunggah alasannya lebih lengkap di blog dia, "Membela Dokter Terawan".)
Presiden Indonesia ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono, juga ikut berkomentar. Ia membuat video berdurasi 8:34 menit menanggapi surat keputusan dari Majelis Etik Ikatan Dokter Indonesia. Sebagai dokter kepresidenan, Yudhoyono tentu termasuk yang pernah berobat pada Terawan.
“Kalau MKEK mempersoalkan dokter Terawan karena teknologi yang dikenal dengan DSA (Digital Subtraction Angiography) tidak termasuk atau belum masuk mainstreamtreatment yang dikenal di dunia kedokteran, menurut saya tidak langsung lantas itu dianggap melanggar etik kalau itu yang di persoalkan, kecuali ada yang lain,” katanya.
Tak hanya dua politikus kawakan, Prabowo Subianto, Dahlan Iskan, hingga para politisi di DPR ramai-ramai buka suara soal dokter Terawan. Sebagian besar memberikan testimoni.
Prabowo, misalnya, mengatakan bisa tahan pidato 3 jam karena dokter Terawan. Dahlan Iskan bahkan pernah membuat tulisan khusus pengalamannya diobati dengan brainwash. Politikus PDI Perjuangan Dewi Aryani juga memberikan dukungan kepada Terawan dan menyesalkan kabar pemecatan itu.
Para politikus dari Komisi I DPR, yang tak ada sangkut pautnya mengurusi bidang kesehatan, bahkan melawat secara khusus ke RSPAD Gatot Soebroto, tempat Terawan bertugas sebagai kepala rumah sakit tersebut. Para politikus itu memberikan dukungan moral.
Ketua Komisi I, Abdul Kharis Almasyhari dari PKS, mengatakan kedatangan mereka ke RSPAD pada 5 April pekan lalu lantaran RSPAD adalah "mitra" Komisi I.
“Mereka dibiayai menggunakan APBN. Terus kalau kepala rumah sakitnya dijatuhi sanksi seperti ini, tentu kami harus memberikan dukungan moral pada kepala rumah sakitnya,” kata Kharis.
Dukungan dan komentar dari para mantan pasien dan pendukung dokter Terawan tentu tidak salah. Tetapi, komentar mereka justru menunjukkan ketidakpahaman atas masalah yang sedang terjadi. Mereka berkomentar tentang pengobatan 'brainwash' yang dilakukan Terawan, tetapi sebenarnya bukan itu yang dipermasalahkan oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran IDI. Merujuk pada putusan Majelis, masalah Terawan adalah masalah etik.
Membedakan Etik dan Disiplin
Ketua Konsil Kedokteran Indonesia, Prof. Dr. dr. Bambang Supriyatno, Sp.A(K), menjelaskan ada tiga hal dalam dunia kedokteran, yang harus dipatuhi oleh seorang dokter: etika, disiplin, dan hukum.
“Jika seorang dokter melakukan pelanggaran etika, maka IDI melalui MKEK yang berwenang. Kalau pelanggaran disiplin, menjadi kewenangan KKI untuk memberikan pembinaan. Kalau soal hukum, tentu saja ke polisi. Dalam kasus dokter T ini, masalahnya etik,” kata Bambang kepada Tirto, 5 April pekan lalu.
Bambang mengatakan pelanggaran etik mengenai perilaku seorang dokter. Sedangkan pelanggaran disiplin lebih dikenal masyarakat dengan sebutan malapraktik. Pelanggaran disiplin terkait keilmuan kedokteran.
Dalam kasus dokter Terawan, dua hal soal etik dan disiplin harus dipilah, menurut Bambang. Metode brainwash adalah soal disiplin keilmuan, sementara cara promosi yang dilakukan Terawan adalah masalah etika.
Namun, para pendukung dokter Terawan mencampuradukkan dua hal ini sehingga menimbulkan polemik. Padahal Majelis hanya memutuskan persoalan etik, yakni cara Terawan mempromosikan brainwash. Sedangkan untuk metode keilmuan brainwash tak dipersoalkan oleh Majelis sebab menjadi wewenang Konsil Kedokteran Indonesia.
“Untuk pelanggaran disiplin, syaratnya harus ada aduan. Dalam kasus dokter Terawan, bisa jadi ada pelanggaran disiplin, kalau memang ada, MKEK bisa lapor ke kami,” ujar Bambang.
Untuk menentukan apakah metode brainwash dokter Terawan melanggar disiplin atau tidak, menurut Bambang, membutuhkan proses cukup panjang. Metode ini harus diuji secara ilmiah dan melalui prosedur pengujian pada binatang sebelum diterapkan pada manusia. Kolegium dokter radiologi, yang sesuai bidang keilmuan dokter Terawan, akan menentukan apakah terapi brainwash bisa dipraktikkan atau tidak. Proses inilah yang selama ini belum dilakukan oleh dokter Terawan.
Potensi ada Intervensi Politik ke IDI
Munculnya dukung-dukungan dari para politikus dan tokoh-tokoh berpengaruh rentan membuat IDI, sebagai organisasi profesi yang independen, dalam sorotan intervensi.
Kepala Staf Angkatan Darat Mulyono menegaskan posisi TNI AD dalam kasus dokter Terawan. Ia mengatakan membela Terawan karena menganggapnya benar. “Bela saja sepanjang bagus,” katanya.
Ia juga menyinggung selama ini IDI tidak pernah berkomunikasi dengan TNI AD. "Wong IDI enggak pernah komunikasi ke saya. Dia main tembak-tembak sendiri. Memangnya siapa?" katanya, lagi.
Pernyataan Mulyono bukan pada tempatnya. Sebab, tak ada hubungan secara profesi mengenai perkara etika antara Terawan sebagai dokter dan IDI dengan TNI AD. Menjadi hak IDI untuk memberikan sanksi pada anggotanya sesuai aturan organisasi.
Intervensi ini terlihat pula ketika DPR meributkan keputusan IDI. Selain Komisi I, Komisi IX DPR—yang menangani kesehatan—juga berencana memanggil anggota Majelis Kehormatan Etik Kedokteran, RSPAD Gatot Soebroto, dokter Terawan, dan Konsil Kedokteran Indonesia.
Dede Yusuf, Ketua Komisi IX, mengatakan pemanggilan ini untuk mencari penjelasan perihal pemecatan Dokter Terawan. "Etika ini [parlemen] tidak mengerti. Buat rakyat, yang penting memberi manfaat atau tidak, sembuh atau tidak. Kalau ini masalah malapraktik, ya [ranah] hukum. Kalau etik, yang paham dokter sendiri," ujar Dede.
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam