Menuju konten utama

Bisakah Testimoni Pasien Selamatkan Dokter Terawan dari Pemecatan?

Metode pengobatan yang telah teruji secara ilmiah tidak serta merta menghilangkan kontroversi.

Bisakah Testimoni Pasien Selamatkan Dokter Terawan dari Pemecatan?
Mayjen dr. Terawan Agus Putranto. FOTO/Facebook/@Berita Dokter

tirto.id - Keputusan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) agar Mayjen CKM dr. Terawan Agus Putranto Sp.Rad (K) diberhentikan sebagai anggota IDI bikin banyak pesohor republik ini bersuara. Mereka yang notabene pernah menjadi pasien Terawan menyuarakan pembelaan atas metode pengobatan Terawan yag dipersoalkan IDI.

Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto, misalnya, mengaku sudah tiga kali berobat kepada Terawan. Prabowo bahkan mengaku ingin kembali berobat dengan Terawan. “Saya berharap IDI akan meninjau kembalilah baik-baik. Saya sendiri contohnya, sudah tiga kali, ingin keempat kali lagi [berobat ke dokter Terawan],” kata Prabowo di Senayan, Jakarta seperti diberitakan Antara, Kamis (5/4).

Terawan, kata Prabowo, berjasa mengobati sakit vertigo yang dialaminya. Berkat Terawanlah Prabowo mengaku bisa berlama-lama pidato. “Saya dulu vertigo, habis itu periksa ke beliau dan beliau sarankan bersihkan. Alhamdulillah saya bisa tiga jam pidato. Kalau dikasih kopi bisa lima jam pidatonya,” kelakar Prabowo.

Prabowo bukan satu-satunya orang yang merasakan faedah metode pengobatan Terawan. Ada nama mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, mantan Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie, hingga mantan Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas). Melalui akun Twitter, ketiganya kompak mencuitkan pembelaan dan testimoni manfaat berobat kepada dokter Terawan.

Namun, bisakah testimoni-testimoni itu digunakan Terawan untuk menyelamatkan diri dari pemecatan?

Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Negeri Malang Profesor dr. Mohammad Juffrie mengatakan testimoni pasien yang mengaku sembuh dengan metode pengobatan Terawan sulit dijadikan dalil pembelaan. Hal ini karena menurutnya yang dipermasahkan MKEK IDI terhadap Terawan adalah masalah ilmiah. "MKEK melihat dari segi ilmiah apakah suatu pengobatan sesuai dengan bukti ilmiah atau evidence based medicine," katanya kepada Tirto, Jumat (7/4).

Dokter di Rumah Sakit JIH Jogjakarta ini mengatakan MKEK IDI tidak akan menganggap suatu metode pengobatan melanggar kode etik apabila memiliki bukti ilmiah yang ditulis dalam dalam jurnal ilmiah yang valid atau dipertahankan dalam sidang ilmiah resmi.

Meski begitu, Juffrie juga menyayangkan keputusan MKEK IDI yang menurutnya terlalu cepat menjatuhkan sanki kepada Terawan. Mestinya, kata Juffrie, MKEK IDI memberikan kesempatan kepada Terawan menjelaskan landasan ilmiah metode pengobatannya. "Sayangnya MKEK menjatuhkan sangsi terlalu cepat sebelum mendengarkan bukti ilmiah yang mestinya diajukan di jurnal ilmiah yang terakreditasi atau terindex baik atau disidang ilmiah yang diadakan oleh ahli-ahli yang berkompeten di bidangnya," kata Juffrie

Guru Besar Fakultas Kesehatan Universitas Gadjah Mada Soenarto Sastrowijoto mengatakan testimoni pasien bisa saja menjadi dalil pembelaan diri dari putusan MKEK IDI. “Kalau jumlah (testimoni) banyak, saya kira bisa juga,” kata Soenarto.

Soenarto mengatakan testimoni pasien yang puas itu bisa saja menunjukkan metode pengobatan Terawan memang dibutuhkan masyarakat. Namun, testimoni itu tidak serta merta bisa digunakan untuk melegitimasi metode pengobatan Terawan telah memenuhi standar medis.

Menurut Soenarto, suatu metode pengobatan bisa dianggap memenuhi standar medis apabila telah diuji secara ilmiah. “Syaratnya perlu ada bukti ilmiah lewat penelitian. Dia dalam paper-nya [yang] saya baru baca [mengatakan] masih perlu penelitian lanjutan,” katanya.

Meski begitu, Soenarto mengatakan metode penelitian yang telah diuji secara ilmiah juga tidak serta merta menegasikan lahirnya kontroversi. Sebab, menurutnya, dalam dunia medis akan ada saja pihak yang merasakan dan tidak merasakan manfaat suatu metode pengobatan. “Kontroversi setiap hari mesti ada, toh? Tapi apakah akan ramai terus?” katanya.

Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek belum mau berkomentar soal pelanggaran etik atas metode pengobatan Terawan sebagaimana diputuskan MKEK. “Saya belum bisa menjawab karena kami belum terima laporannya,” kata Nila saat ditemui usai mengikuti rapat kabinet di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (6/4).

Meski begitu, Nila agaknya ingin agar polemik segera diselesaikan oleh Terawan dan IDI. “Kami mengharapkan terjadi penyelesaian antara IDI sebagai organisasi profesi di sini dengan anggotanya,” ujarnya.

Pemerintah belum akan mengintervensi persoalan antara Terawan dan IDI. “Nanti kami lihat, nanti kami carikan solusinya, kalau sudah ada solusinya, ya biarkan,” ujar Nila.

Ketua Umum Pengurus Besar IDI, Prof. dr. Ilham Oetama Marsis, SpOG, mengatakan Terawan berhak mendapatkan pembelaan dari Biro Hukum, Pembinaan dan Pembelaan anggota PB IDI.

“Pemberian sanksi etik adalah ranah dari MKEK. Tapi, sesuai dengan ketentuan organisasi (AD/ART PB IDI), dr. Terawan memiliki hak untuk mendapat pembelaan,” kata Prof. Marsis.

Dia mengatakan dalam waktu dekat akan ada forum khusus yang disediakan untuk Terawan membela diri dari sanksi yang dijatuhkan oleh MKEK IDI. Namun, Marsis tidak bisa menyebutkan kapan forum pembelaan tersebut dilaksanakan. "Hal ini sudah dijadwalkan dalam waktu dekat, waktu tidak bisa diinfokan karena bersifat internal," kata dia.

Anggota Komisi IX DPR RI Dewi Aryani meminta Ikatan Dokter Indonesia untuk mengklarifikasi kasus dokter Terawan, penemu modifikasi Digital Substraction Angiogram (DSA) atau pengobatan cuci otak.

"Semua rumah sakit punya tim etik dan hukum. Maka, pihak tim RSPAD juga harusnya nanti ikut dipanggil. Seharusnya mereka melindungi pegawai-pegawai di rumah sakit tersebut," kata Dewi.

Dewi yang pernah menjalani terapi DSA dr. Terawan pada 2017 menyarankan agar Komisi IX (Bidang Kesehatan dan Ketenagakerjaan) DPR RI segera memanggil IDI dan dr. Terawan untuk memberikan klarifikasi publik agar tidak menimbulkan keresahan masyarakat.

Ia mempertanyakan alasan pemecatan Terawan. Karena itu, Komisi IX perlu memanggil IDI supaya publik mengetahui fungsi tim etik hukum itu berjalan atau tidak.

Dewi juga heran mengapa praktik DSA baru dipermasalahkan padahal praktik cuci otak sudah berjalan sekian tahun dan sudah mengobati ribuan orang.

"Kalaupun ada pelanggaran seharusnya sejak awal sudah disetop. Di rumah sakit ada tim etik, ada para dokter senior yang paham tentang etik kedokteran dan 'clinical pathway'. Pegangan mereka itu. Sampai ada di brosur, bahkan dipromosikan," katanya.

Jika pelanggarannya hanya administrasi, menurut Dewi, mestinya ada solusi, bukan pemecatan. Kalau dinilai berat, IDI dan dokter Terawan harus menjelaskan kepada publik supaya tidak makin meresahkan dan jadi polemik berkepanjangan.

"Pemecatan juga ada kriterianya. Maka, harus dijelaskan pelanggaran beratnya apa saja dan kenapa setelah bertahun-tahun praktiknya berjalan?" ujar Dewi.

Ketua Komisi IX DPR RI Dede Yusuf akan memanggil IDI, Majelis Kehormatan Etik Kedokteran IDI, untuk menyelesaikan persoalan pro dan kontra kebijakan organisasi tersebut yang memecat keanggotaan dr. Terawan dari IDI.

“Komisi IX DPR akan memanggil pihak terkait seperti IDI, MKEK, Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat, dokter Terawan, dan Konsil Kedokteran Indonesia untuk mendudukkan masalah ini pada Senin pekan depan," kata Yusuf.

Dia mengatakan Komisi IX DPR tidak bisa mengintervensi terhadap apa yang terjadi pada internal IDI. Tapi, ketika sebuah kebijakannya menjadi "polemik berkepanjangan," pemerintah harus mendudukkan masalah itu dengan baik dan benar.

Menurut dia, dari perspektif masyarakat, mereka tidak mengerti persoalan etika yang diungkapkan pihak IDI agar tidak sampai muncul pikiran negatif di publik. “Jangan sampai di publik ada semacam pemikiran negatif, jangan-jangan ribuan orang yang diselamatkan ini salah semua. Kita ingin pemerintah memberikan jawaban Senin pekan depan,” ujarnya.

Dia menilai metode pengobatan yang digunakan dokter selama puluhan tahun mestinya diberi payung hukum agar tidak kemudian disalahkan secara etik. Ia mengatakan metode yang digunakan dokter Terawan bermanfaat untuk rakyat, terjangkau, tidak memberatkan, dan belum ada korban yang ditimbulkan penggunaan metode tersebut.

"Payung hukumnya tidak perlu UU, kami serahkan kepada pemerintah. Idealnya Peraturan Menteri Kesehatan, namun untuk mengeluarkan peraturan tersebut harus bertanya kepada Konsil Kedokteran Indonesia," katanya.

Menurut dia, pihak IDI harus menjelaskan terkait kebijakan organisasi tersebut karena selama ini sudah banyak orang yang terselamatkan dengan metode yang digunakan dokter Terawan. Dede Yusuf mengatakan harus dicari titik tengah dari persoalan tersebut sehingga Komisi IX DPR akan memediasinya karena persoalan ini baru pertama terjadi.

MKEK IDI memberikan sanksi kepada Mayjen TNI dr. Terawan Agus Putranto berupa pemecatan selama 12 bulan dari keanggotaan IDI sejak 26 Februari 2108 hingga 25 Februari 2019. Kebijakan ini diambil karena dr. Terawan melakukan sejumlah pelanggaran etik lewat metode penyembuhan Digital Substraction Angiography (DSA).

Ketua MKEK IDI Dr. dr. Prijo Sidipratomo Sp.Rad (K) menandatangani surat pemberian sanksi kepada dr. Terawan dengan dugaan berlebihan mengiklankan diri terkait terapi cuci otak melalui metode DSA untuk pasien stroke. Alasan lain pemberian sanksi yang tertera dalam surat itu adalah janji-janji tentang kesembuhan lewat metode cuci otak, padahal MKEK menilai terapi tersebut belum terbukti secara ilmiah.

Infografik Current issue ikatan dokter indonesia

=======

Revisi:

Redaksi merevisi naskah ini pada Sabtu (7/4) dengan menambahkan pernyataan dari Mohammad Juffrie selaku narasumber.

Baca juga artikel terkait DOKTER TERAWAN DIPECAT atau tulisan lainnya dari Muhammad Akbar Wijaya

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Muhammad Akbar Wijaya
Penulis: Muhammad Akbar Wijaya
Editor: Muhammad Akbar Wijaya