tirto.id - Pemberhentian Terawan Agus Putranto dari keanggotaan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) beberapa waktu lalu mengingatkan kita pada karier Gunawan Simon. Dialah sang dokter “serba bisa” yang juga dicabut izin praktiknya lantaran meracik obat-obatan sendiri tanpa membuka bukti empirisnya ke publik.
“Perlakuan itu sangat tidak manusiawi,” kata Gunawan Simon ada akhir Desember 1987 sebagaimana diwartakan majalahTempo. Kala itu, dia baru saja mencabut gugatannya kepada IDI Bandung, Depkes Jawa Barat, dan Kota Madya Bandung di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas kasus pencabutan izin praktik dirinya.
Simon merupakan dokter umum lulusan Universitas Padjajaran (Unpad). Namanya pernah mencuat macam Terawan karena promosi mantan Wapres Adam Malik yang saat itu menderita kanker stadium akhir. Meski akhirnya Adam Malik meninggal saat menjalani pengobatan, nama Simon kadung tenar.
Dengan obat racikan yang dia sebut “pengobatan bermetode superkonvensional” dan “penemuan baru di bidang medis”, Simon mampu menyembuhkan kanker dan penyakit katastropik lain. Benang merahnya serupa, ketika dimintaipembuktian ilmiah—bahkan dengan iming-iming promosi doktor oleh Unpad, Simon menolak.
Kasus Gunawan Simon itu mirip drama Terawan-IDI yang bergulir sejak 2015. Perseteruan panjang ini bermula dari praktik Intra Arterial Heparin Flushing (IAHF) alias “cuci otak” yang dilakukan dokter spesialis radiologi itu di RSPAD Gatot Soebroto. Terawan mengklaim terapi cuci otaknya mampu menyembuhkan stroke dan sudah berhasil pada lebih dari 40 ribu pasien.
Akibat publikasi dan promosi masif dengan klaim kesembuhan, pada 2015, Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI memanggil Terawan untuk dimintai keterangan. Kala itu, MKEK IDI tengah dipimpin oleh Prijo Sidipratomo—dokter ahli radiologi yang dikemudian hari balik dipecat oleh Terawan ketika menjabat Menteri Kesehatan.
Terawan beberapa kali mendapat undangan untuk mengklarifikasi pengobatan cuci otak miliknya, namun sebanyak itu juga dia mangkir. Akhirnya pada Februari 2018, MKEK IDI menjatuhkan sanksi pencabutan keanggotaan IDI selama 12 bulan dan mencabut rekomendasi izin praktik Terawan.
Ketua IDI saat itu Ilham Oetama Marsis sempat menjadi “penengah” konflik dan membuat forum klarifikasi khusus untuk Terawan. Dalam forum tersebut, kata Marsis, Terawan tidak membantah bahwa IAHF belum teruji klinis. Marsis kemudian meminta pelaksanaan putusan sanksi ditunda hingga Muktamar IDI selanjutnya yang bakal digelar pada September 2018.
Perseteruan ini tak kunjung usai sampai Terawan diangkat menjadi Menteri Kesehatan pada Oktober 2019. IDI tak tinggal diam dan menyurati Presiden Jokowi terkait pelanggaran kode etik yang dilakukan Terawan. Tapi, surat itu tak digubris. Sebelumnya, Terawan memang mendapat kepercayaan untuk merawat ibu dari Presiden Joko Widodo, Sudjiatmi Notomihardjo.
Seminggu pascapengangkatan Terawan menjadi Menkes, Jokowi memberhentikan Marsis dari keanggotaan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) karena alasan rangkap jabatan. Dua hari setelah kejadian tersebut, tepatnya pada 30 Oktober 2019, Terawan yang sudah menjabat Menkes berkunjung ke Pengurus Besar IDI yang saat itu diketuai Daeng M. Faqih.
Kedua kubu sempat terkesan “berbaikan” sampai aksi saling pecat kembali bergulir. Kini, giliran Prijo Sidipratomo—saat itu tengah menjabat sebagai Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta.Pada Maret 2020, Terawan memutasi Prijo ke Unit Pelaksana Teknis Kemenkes. Padahal, masa jabatan Prijo kala itu masih tersisa 2 tahun.
Singkat cerita, semasa menjadi menkes, Terawan seringkali mengeluarkan kebijakan yang tidak tepat dalam menanggulangi pagebluk COVID-19. Dia bahkan terkesan menghindar dari sorotan publik. Pada akhir 2020, dia pun kena perombakan kabinet dan digantikan oleh Budi Gunadi yang sama sekali tak memiliki latar belakang ilmu kesehatan.
Lepas dari jabatan politis itu, Terawan tak henti membuat kontroversi. Dia menginisiasi vaksin Nusantara dengan embel-embel “buatan anak negeri”. Padahal, komponennya Amerika punya. Dari perseteruan panjang antara Terawan dan IDI itu, Muktamar XXXI PB IDI di Aceh kemarin akhirnya memvonis pemberhentian Terawan dari keanggotaan IDI dengan merujuk pada surat tim khusus MKEK Nomor 0312/PP/MKEK/03/2022.
Izin Praktik adalah Kewenangan Pemerintah
Pada Februari 1985 alias dua tahun sebelum Simon mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, IDI Bandung memanggil dan menyidang Simon. Dia divonis bersalah. Menteri Kesehatan saat itu Suwardjono Surjaningratkemudian mencabut izin praktik Gunawan Simon atas saran IDI.
Layaknya kasus Simon, pencabutan surat izin praktik (SIP) Terawan sejatinya adalah kewenangan mutlak pemerintah. Pascapemberitaan “pemecatan” Terawan dalam Muktamar XXXI PB IDI di Aceh, beberapa pihak—termasuk DPR, MPR, bahkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly—meminta kewenangan penerbitan SIP dialihkan ke pemerintah.
Mereka beralasan supaya IDI tidak bertindak arogan dan punya kekuatan super. Alih-alih memberi solusi, kritik mereka ternyata salah alamat. Pasalnya, penerbitan SIP dokter sedari dulu memang merupakan kewenangan pemerintah, bukan IDI.
“Sifatnya bukan kewenangan IDI, tapi wujud kerja sama dengan Dinas Kesehatan (dinkes) karena dalam regulasi dan pelaksanaan, dinkes berkoordinasi dengan organisasi profesi terkait dan IDI untuk menjaga mutu dan ketersediaan pelayanan kesehatan,” jelas dokter spesialis Patologi Klinik Universitas Sebelas Maret (UNS) Tonang Dwi Ariyanto menanggapi mispersepsi ini.
Tonang kemudian meringkas urutan tata cara memperoleh SIP dokter. Dimulai dari syarat pendidikan berupa ijazah pendidikan yang sesuai. Kemudian adanya sertifikat kompetensi yang diterbitkan organisasi profesi terkait. Organisasi profesi ini berhimpun di bawah IDI.
“Sertifikat kompetensi diterbitkan berkala, setiap 5 tahun ada proses penilaian ulang untuk menguji kompetensi,” lanjutnya.
Syarat selanjutnya berupa Surat Tanda Registrasi (STR) yang diterbitkan oleh KKI berbasis sertifikat kompetensi. STR inilah yang menjadi bekal pengajuan penerbitan SIP, selain rekomendasi organisasi profesi terkait. Rekomendasi ini lalu diteruskan ke IDI setempat untuk menjaga mutu dan pemerataan pelayanan kesehatan.
Dalam proses ini, kata Tonang, organisasi akan melihat rekam jejak dan catatan-catatan terhadap pemohon. Setelah semua rekomendasi rampung, giliran Dinas Kesehatan setempat melakukan pertimbangan guna menjaga standar pelayanan minimal daerah sesuai regulasi pemerintah daerah.
“Sebelum otonomi daerah, dinkes menerbitkan SIP atas nama bupati atau wali kota. Tapi setelah otonomi, dinkes memberi rekomendasi ke bupati atau walikota melalui dinas yang mengurus perijinan dan merekalah yang menerbitkan SIP,” papar Tonang.
Proses pengurusan ini dilakukan berulang setidaknya setiap 5 tahun sekali. Bisa lebih cepat bila misalnya ada penambahan kompetensi, pindah tempat praktek, atau ada masalah lain yang mengharuskan penilaian ulang kompetensi atau terkait masalah pelaksanaan praktiknya.
Tapi layaknya kasus Gunawan Simon, aksi penarikan izin praktik kedua dokter kontroversial ini tak lantas membuat mereka jera dan tutup terapi. Buktinya masih banyak orang-orang yang menaruh harapan pada klaim pseudosains mereka hingga sekarang.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi