tirto.id - Davina Rankin tidak pernah menyangka, aksinya di Married at First Sight Australia bisa berujung mengerikan. Dilansir ABC, dalam reality show yang memasuki musim kelima tersebut, Davina yang telah berpasangan dengan Ryan diam-diam menjalin hubungan dengan peserta lain yang juga sudah menikah, Dean. Davina menjelma menjadi sosok antagonis dalam tayangan tersebut, tapi kekesalan sebagian penonton tak sebatas di layar kaca saja. Ada yang menuangkan emosinya lewat cercaan di media sosial, bahkan sampai mengirimkan ancaman kekerasan kepada Davina.
“Aku pernah mendengar orang-orang berkata akan memukulku bila mereka melihatku di jalan, ancaman pembunuhan,” kata Davina.
Perundungan (bully) memang bukan hal langka ditemukan di dunia digital, baik kepada yang dikenal maupun seperti yang dialami Davina: sama-sama tak kenal. Di Indonesia, penyanyi Denada pernah mendapat perundungan yang melebihi batas.
Pada 11 Februari 2018 di Instagram, putri Emilia Contessa ini mengunggah tangkapan layar komentar seorang hater yang berisi kata-kata kasar kepadanya dan doa agar anak Denada diperkosa ramai-ramai. Komentar ini dikirimkan tidak lama setelah Denada mempublikasikan foto-foto dirinya dalam video klip “Mutha Futha”.
Mendapat cibiran dari haters bukan hal baru bagi Denada, dan lazimnya ia tak begitu ambil pusing untuk serangan-serangan itu. Namun, kali ini berbeda. Selain membeberkan kata-kata si hater, Denada juga menulis di kolom caption-nya, “…komen kamu itu PENTING SEKALI. Saya kayak lagi berhadapan sama orang bersenjata tajam yang akan berbuat jahat terhadap saya dan anak saya. Pilihan saya cuma 1: SAYA LAWAN. Saya akan jaga anak saya, walaupun nyawa taruhannya buat saya.”
Ucapan Denada bukan cuma gertak sambal. Perempuan yang mengawali kariernya sebagai penyanyi rap tersebut benar-benar melaporkan si hater ke polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Bila Denada mengambil jalur hukum untuk menyikapi perundungan online yang diterimanya, lain kisah dengan Candrika Soewarno. Sejak 2016, ibu satu anak ini kerap mengunggah ilustrasi erotis di Instagramnya. Di kacamatanya, ilustrasi-ilustrasi erotis tersebut adalah wujud ekspresi seni, bukan pemicu berahi semata, tetapi pesan ini tak dapat diterima oleh sebagian warganet.
Ada yang menudingnya hanya mengejar popularitas dengan mengunggah ilustrasi erotis, ada yang mengkhawatirkan gambar Candrika—yang dianggap tidak lebih dari pornografi—dikonsumsi pengguna Instagram anak-anak, serta ada yang membawa narasi agama untuk menghakiminya di media sosial.
“Pada awalnya saya cukup berapi-api menghadapi mereka yang mengecam atau melaporkan karya saya sehingga hilang tiba-tiba. Tetapi lama kelamaan, saya terbiasa,” ujar Candrika yang memiliki 37 ribu pengikut di Instagram ini. Pilihan mengabaikan para haters atau memblok akun adalah strategi yang dipilihnya kemudian. Namun, itu saja tak cukup menyetop usaha seorang hater yang bahkan membuat akun baru hanya untuk kembali mencaci Candrika.
“Gara-gara comment dikit di-block sama Mbak ini, sadar Mbak lagi puasa… Jadi orang gak usah pendendam gitu deh Mbak, dosa banget jadi orang!! Awalnya suka sama karya Mbak, jadi gak sudi liat karyanya Mbak! Percuma udah jadi ibu, tapi kelakuan kayak anak-anak… Enggak tau malu!” demikian semprotan si hater kepada Candrika.
Haters versus Fans Garis Keras
Di dunia online, perundungan yang dilancarkan haters tidak hanya disikapi oleh target cercaan, tetapi juga oleh teman dan fans garis keras si target. Baik dalam kasus Denada maupun Candrika, sejumlah warganet yang sama sekali tidak mereka kenal tanpa diminta melancarkan serangan balik kepada haters.
“….Komennya psycho, super super jahat and mengerikan… Manusia-manusia model begini yang menurut saya cuma bisanya merugikan dan tidak berguna.”
“Kok mulutnya kayak ga sekolah ya… emosi gue baca sumpahnya. Naudzubilah ngedoain orang yag bener-bener buruk…Kalau mau nyumpahin orang mikir dulu…”
“@denadaindonesia… Terusin fight-nya buat perempuan yang mulutnya mesti dijahit… Insyaallah bakalan dibalas yang lebih buruk tuh orang yang udah zolim ke Kakak sama anak Kakak…”
Demikian petikan-petikan pendapat sejumlah warganet dalam postingan yang diunggah Denada. Sebagian dari mereka pun berusaha menelusuri akun si hater, tetapi hasilnya nihil. Karena akunnya tak bisa ditemukan, pendukung Denada kian menjadi-jadi mengatai si hater.
Dalam wawancara dengan Tirto pada Maret tahun lalu, Damar Juniarto, pegiat Forum Demokrasi Digital mengatakan bahwa perundungan online tumbuh subur salah satunya karena adanya anonimitas yang dimungkinkan di dunia media sosial. Ibarat lempar batu sembunyi tangan, siapa saja bisa mencerca target semaunya, lantas lesap ditelan bumi.
Jika ditilik, kata-kata sebagian pendukung Denada pun tak kalah kasarnya dengan si hater. Pola perundungan berulang, tetapi dengan sasaran berbeda. Opini-opini mengecam hater Denada seolah dinormalisasi. Tidak ada yang melaporkan sebegitu banyaknya pendukung yang melancarkan ujaran kebencian kepada hater Denada.
Upaya menyikapi haters pernah ditunjukkan pula oleh fans garis keras Selena Gomez dan Miley Cyrus. Dalam Celebrity and the Media (2013), Sean Redmond mencatat, mereka mengunggah video-video di Youtube untuk membela idolanya. Video yang diunggah TheOfficialEmma misalnya, bertajuk “Stop hate Selena Gomez! She has feelings too!”. Di dalamnya terdapat cuplikan komentar pedas dan ancaman pembunuhan kepada Selena yang diekori, lengkap dengan cuplikan sang bintang sedang menangis. TheOfficialEmma juga menyertakan tulisan, “She [Selena] says, It hurts, it really does. I don’t feel like I’m doing anything wrong.”
Satu Pemikiran, Satu Kebencian
Warganet yang tak saling kenal bisa berkumpul jadi satu kawanan saat ada berita tentang perilaku yang tak bisa diterima. Dengan cepat, mereka bisa menjelma jadi pembenci seseorang yang sebenarnya juga tak mereka kenal secara langsung. Hal ini dikarenakan perilaku konformis, sehingga apapun hal baik yang dilakukan korban ujaran kebencian tak akan dipedulikan.
Dalam artikel “The Psychology of Haters” di Huffingtonpost, Gregory S. Parks menyatakan bahwa para haters mudah terkena bias konfirmasi: kecenderungan untuk mencari, menafsirkan, berfokus, dan mengingat informasi yang membenarkan pandangan mereka. Dengan anggapan seperti itu, para perundung akan terus menganggap korban sebagai antagonis, sosok jahat yang patut dibenci.
Ujaran kebencian ini juga tidak mengenal kasta pendidikan atau sosial. Mereka terus mengimani bahwa subyek ujaran kebencian ini adalah sosok antagonis yang perlu dicaci hingga tulang sumsum. Sehingga apapun fakta yang berlawanan dengan kepercayaan itu, hanya akan dianggap angin lalu. Karenanya, pilihan sebagian selebriti untuk mengabaikan komentar-komentar menyakitkan dari haters adalah tindakan masuk akal. Sebagian yang lain, berupaya melawan dengan caranya sendiri.
Taylor Swift melantunkan “Shake It Off” untuk mengekspresikan reaksinya terhadap para haters. Dalam wawancara dengan Good Morning America, ia menyatakan, “Pesan dalam lagu itu ["Shake it Off]" adalah problem yang saya pikir kita semua mengalaminya sehari-hari. Kita tidak hanya hidup dalam budaya menjatuhkan selebriti, kita hidup dalam budaya menjatuhkan. Orang-orang akan menemukan kisah apapun tentang kamu dan memelintirnya menjadi informasi aneh atau salah atau mengganggu atau buruk. Kamu harus tetap menjalani hidup meskipun ada orang-orang yang tidak memahamimu, kamu harus bersenang-senang lebih banyak dari mereka.”
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Nuran Wibisono