tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi gagal menggeledah ruangan Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hasto Kristiyanto. Selain gagal menggeledah, KPK juga belum menemukan korelasi Hasto dengan tersangka lainnya.
Nama Hasto terseret dalam dugaan suap untuk pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR karena stafnya bernama Saeful Bahri ditangkap KPK. Selain Saeful ada juga pengacara bernama Donny Tri Istiqomah (Doni) yang kemungkinan berafiliasi dengan PDIP.
Dari akun media sosialnya, Doni memang pernah ikut beberapa kegiatan PDIP. Selain itu dia juga mengajukan gugatan uji materi pasal 54 peraturan KPU Nomor 3 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara Pemilu ke Mahkamah Agung berdasar permintaan dari pengurus PDIP.
Beleid yang digugat Doni menjadi penghalang Harun Masiku untuk menjadi anggota DPR menggantikan caleg PDIP dari Sumatra Selatan I, Nazarudin Kiemas, yang meninggal pada Maret 2019. Berdasar aturan KPU posisi Nazarudin diberikan kepada pemilik suara tertinggi setelahnya, yakni Riezky Aprilia.
PDIP tidak setuju. Dalam surat PAW yang ditandatangani Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Hasto, Harun lah yang harus menggantikan Nazarudin. Menurut Hasto, keputusan PAW adalah “kedaulatan partai politik.”
KPK menemukan Harun memberikan uang setidaknya Rp850 juta kepada Saeful dan Doni. Saeful juga memberikan uang setidaknya Rp600 juta kepada orang kepercayaan Wahyu Setiawan, komisioner KPU. Namun KPK belum mengungkap apakah ada peran orang lain di balik tindakan suap Harun, utamanya dari DPP PDIP. Apalagi keinginan Harun untuk masuk di DPR didukung partai.
KPK mengaku siap memanggil Hasto untuk dimintai keterangan. Bagaimanapun, Hasto adalah bos sang perantara suap.
"Mungkin tidak saja hanya kepada Hasto, tetapi mungkin kepada pihak-pihak terkait yang berhubungan dengan pengembangan perkara ini. Pasti juga ada panggilan," ujar Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar saat konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (9/1/2020).
Menangkap Elite Partai Penguasa
Menilik rekam jejaknya dalam 10 tahun terakhir, KPK seperti tidak takut kepada partai politik, bahkan terhadap partai politik penguasa. Banyak petinggi partai yang menjadi korban agresivitas KPK.
Pada 2013 Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq ditangkap KPK. Dua tahun berselang Ketua Umum PPP Suryadharma Ali ikut menyusul ke rumah tahanan. Pada 2017 Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto juga ditahan KPK. Menyusul tahun 2019 Ketua Umum PPP Romahurmuziy. Sekjen partai yang menjadi sasaran KPK adalah Idrus Marham dari Partai Golkar di tahun 2018.
Salah satu keberanian KPK yang patut diacungi jempol adalah penahanan Anas Urbaningrum pada 2013 dan Muhammad Nazaruddin pada 2011. Posisi Anas waktu itu adalah Ketua Umum Partai Demokrat dan Nazaruddin sebagai bendaharanya di saat Susilo Bambang Yudhoyono menjabat presiden. Polanya hampir sama seperti PDIP saat ini: kader partai menjadi presiden, pengurus partai terancam pidana oleh KPK.
Hanya saja baik Nazaruddin dan Anas saat itu sedang punya hubungan tidak baik dengan SBY. Peneliti LIPI Sjamsuddin Haris dalam tulisannya di Seputar Indonesia (15/6/2012) bertajuk "Perseteruan SBY dan Anas" mencatat konflik SBY dan Anas berakar di tahun 2010 ketika Anas terpilih sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Dalam kongres Partai Demokrat, SBY sebenarnya lebih menjagokan Andi Mallarangeng ketimbang Anas. Sedangkan Nazaruddin adalah kawan dekat Anas.
Menurut Sjamsuddin Haris, dalam sebuah pertemuan di Cikeas pada 12 Juni 2012, kesabaran SBY terhadap Anas diduga sudah habis. Banyaknya pemberitaan terkait dugaan korupsi Anas menyebabkan elektabilitas partai merosot. SBY memang tidak pernah lugas menyatakan keinginannya mendepak Anas, tapi dia mengadakan pertemuan dengan pimpinan DPD tanpa kehadiran ketua umum partai.
Ismantoro Dwi Yuwono dalam Bocor-bocor Duit Negara: Fakta-fakta Menggemaskan Kasus Korupsi Petinggi Negara (2015) menganggap pidato SBY yang meminta KPK segera menuntaskan kasus korupsi Hambalang adalah tanda-tanda keinginannya untuk menggulingkan Anas. Setelah pidato itu, Syarif Hasan dan Jero Wacik yang merupakan petinggi partai menyarankan Anas mengundurkan diri.
“Ketika melalui jalur politik SBY sulit untuk mendepak Anas, maka jalur KPK-lah yang dimanfaatkan SBY,” catat Ismantoro.
Runtuhnya posisi Anas memang tak lepas dari sengketa kepemimpinan Demokrat. Dalam makalah berjudul "Politik, Patronase, dan Pengadaan: Studi Kasus Korupsi Proyek Wisma Atlet" yang dimuat di jurnal Integritas (Desember 2018), Johanes Danang Widoyoko mencatat Anas mendapat uang dari kader Demokrat lainnya, yakni Nazaruddin. Uang itu digunakan untuk membiayai “upaya Anas Urbaningrum dalam pemilihan ketua partai.”
Sedangkan Anas menduga survei yang mendiskreditkan elektabilitas Demokrat kala dia menjadi tersangka KPK sudah direncanakan oleh pihak-pihak tertentu. Anas tak menyebutkan siapa orangnya, tapi mereka bermaksud mengganti tampuk kepemimpinan Demokrat.
"Saya tahu survei itu pesanan karena sudah dipresentasikan dahulu di Cikeas, di hadapan orang-orang tertentu. Survei itu kemudian diekspos saat Presiden berkunjung keluar negeri, kemudian presiden memberi statemen dari luar negeri, seakan mendesak KPK untuk menentukan sikap terhadap saya," ujar Anas seperti dikutip Kontan (4/12/2013).
Jika Anas berseberangan dengan SBY delapan tahun lalu, hari ini Hasto justru dekat dengan Megawati.
Megawati memercayai Hasto menjadi sekjen dua kali berturut-turut. Dalam sejarah, baru kali ini jabatan Sekjen PDIP diemban orang yang sama berturut-turut. Hasto, seperti dilaporkan Suara, sampai menolak tawaran menteri karena ditunjuk menjadi sekjen oleh Megawati.
"Katanya sekjen hanya bisa sekali. Lihat dulu dong di Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga. Emangnya begitu bunyinya? Nggak. Ada juga yang bilang harusnya begini. Saya kan nampung saja, orang boleh mengusulkan. Jadi Sekretaris Jenderal Hasto Kristiyanto," ujar Megawati kala mengumumkan nama Hasto, seperti dikutip Detik.
Politikus PDIP, Tjahjo Kumolo, pernah menyatakan beberapa kriteria tak tertulis untuk menjadi sekjen partai. Selain memenangkan pemilu, sekjen harus sangat dikenal oleh Megawati dan punya visi-misi yang sama dengan putri Soekarno itu. Dengan kata lain, seorang sekjen harus bisa menjadi "tangan kanan" sang ketua umum.
"Ibu Megawati adalah senior partai, pendiri, dan penggerak partai. Karena itu calon sekjen harus bisa bekerja sama dengan Ibu ketua umum. Ini setidaknya persyaratan yang tidak tertulis dari calon sekjen PDIP ke depan," kata Tjahjo pada 2015, seperti dilaporkan Berita Satu.
Sampai sekarang KPK belum pernah menangkap petinggi partai penguasa selain Anas dan Nazaruddin yang berseteru dengan SBY. Jika KPK bisa menangkap Hasto, tentunya ini akan menambah catatan sejarah yang baik bagi lembaga antirasuah tersebut.
Risiko Cicak vs Buaya Jilid IV?
Dari sejarah kegagalan KPK, salah satu yang masih teringat adalah kasus Budi Gunawan. Bersama dengan Mabes Polri, PDIP ikut menyerang kredibilitas KPK agar tidak menggagalkan pencalonan BG sebagai Kapolri pada 2015.
Sebelum menjadi Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN), BG adalah ajudan Megawati. Setelah BG ditetapkan menjadi tersangka kasus korupsi oleh KPK pada Januari 2015, Mabes Polri mengajukan gugatan praperadilan ke PN Jakarta Selatan.
Selain itu pengacara BG, Eggi Sudjana, juga mendatangi Kejaksaan Agung. Dia menuding KPK telah menyalahi prosedur karena hanya ada empat tanda tangan pimpinan KPK dalam surat penetapan tersangka BG. Tim hukum BG juga melakukan aduan ke Bareskrim Polri.
PDIP akhirnya terjun dalam perseteruan itu. Kader PDIP Sugianto Sabran melaporkan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto dengan tudingan kesaksian palsu sengketa Pilkada Kotawaringin, Kalimantan Tengah tahun 2010. Dengan pasukan bersenjata, Bareskrim Polri menggiring BW ke kantor polisi, masih pada bulan yang sama.
BG juga hadir dalam pelbagai acara PDIP, mulai dari hari ulang tahun, hingga kongres PDIP di Bali tahun 2019. Kedekatan BG dan Megawati memang tidak setengah-setengah dan sudah terjalin sejak lama. BG adalah ajudan Megawati kala putri Bung Karno itu jadi presiden. BG bahkan pernah tertangkap kamera mencium tangan Megawati. Rachmawati Soekarnoputri, saudari kandung Megawati, menyebut kedekatan keduanya memang seperti di luar nalar.
“BG ditengarai kaya mendadak sejak menjadi ajudan Mega bertepatan kasus Mega korupsi skandal BLBI pemberian surat keterangan lunas bagi obligor hitam koruptor pengemplang pajak Rp 700 triliun pada era Megawati. Jadi tolak BG karena akan merusak martabat Polri Bhayangkara negara,” tutur Rachmawati seperti dikutip Pojok Satu.
Editor: Ivan Aulia Ahsan