Menuju konten utama

Orde Baru Sudah Tamat, tapi Ketum-Ketum Parpol Kian Otoriter

Gaya kepemimpinan otoriter ala Orde Baru menjangkiti banyak partai di Indonesia. Melanggengkan dinasti politik dan kekuasaan mutlak para ketua umum.

Orde Baru Sudah Tamat, tapi Ketum-Ketum Parpol Kian Otoriter
Ilustrasi Megawati Soekarnoputri. tirto.id/Lugas

tirto.id - Muhaimin Iskandar adalah natural born politician. Karier politiknya bermula sejak mahasiswa ketika ia menjadi aktivis, dan kemudian ketua umum, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Yogyakarta. Ia lalu merangkak naik sebagai Ketua Umum Pengurus Besar PMII, menjadi politikus PKB, dan sisanya adalah sejarah.

Lelaki yang sekarang lebih suka dipanggil Gus Ami ini sudah memimpin PKB selama 14 tahun. Tangan dinginnya berhasil membawa partai berlogo bola bumi itu tetap bertahan di 5 besar saban pemilu. Gus Ami lalu seperti tak terbendung di partainya. Pada 2018 ia mengganti Sekretaris Jenderal PKB Abdul Kadir Karding dengan Hanif Dhakiri yang dianggap lebih loyal. Menurut pengakuan Lukman Edy kepada Tempo, Karding diganti karena menggagalkan Gus Ami mendirikan poros ketiga dalam pilpres 2019.

Dalam penentuan calon wakil presiden untuk Pilpres 2019, Gus Ami bahkan mengancam bahwa NU akan “tidur” bila Jokowi tidak memilih kader NU sebagai pendampingnya. Hasil "ancaman" tersebut memang bisa diperdebatkan. Tapi nyatanya Jokowi kemudian memilih Ma'ruf Amin, Rais 'Aam PBNU, sebagai cawapres.

Dalam Muktamar ke-6 PKB pada 20-21 Agustus 2019, Gus Ami kembali menang secara aklamasi. Kemenangan ini adalah yang ketiga kalinya sejak 2009. Dan dalam Muktamar itu pula Gus Ami kembali bermanuver untuk melanggengkan cengkeramannya di PKB.

Manuver pertama adalah wacana penghapusan posisi sekretaris jenderal. Adanya jabatan sekjen di bawah ketua umum memang membatasi pergerakan pucuk pimpinan tertinggi partai.

Dalam pencapresan, misalnya, ketua umum dan sekjen harus membubuhkan tanda tangan secara bersama-sama agar seseorang bisa dianggap didukung oleh partai yang bersangkutan. Dengan peniadaan jabatan sekjen, maka ketua umum bisa berkuasa penuh atas keputusan-keputusan partai.

Manuver berikutnya, Gus Ami tidak mengundang pihak-pihak yang dianggap bisa menghalau kemenangannya secara aklamasi. Sebagai contoh, Ketua DPP PKB 2014-2019 Lukman Edy dan Abdul Kadir Karding tidak diundang ke Muktamar di Bali. Muktamar hanya menyisakan massa pro-Gus Ami.

Gus Ami boleh saja mengelak bahwa kedua orang itu hanya mencari sensasi. Namun trah Gus Dur, seperti Yenny Wahid, juga tidak diundang. Yenny memang tidak akrab dengan Gus Ami semenjak ayahnya terlempar dari PKB akibat konflik dengan Gus Ami.

Gus Ami lantas melantik orang-orang yang cenderung aman dan tak punya masalah dengannya. Dia mengganti posisi Lukman Edy dan Abdul Karding. Dia bahkan membuat keputusan yang berani, yakni menunjuk kader muda berumur 44, Hasanuddin Wahid, sebagai sekretaris jenderal.

Puncak dari segala manuver Gus Ami adalah keluarnya surat yang harus ditandatangani kader PKB untuk menjadi pengurus DPP periode 2019-2024. Dalam surat yang beredar, kader harus mau dan bersedia tunduk pada mandataris tunggal Ketua Umum PKB. Mereka juga harus bersedia diganti apabila dianggap tak layak menjalankan tugas.

Meski akhirnya Gus Ami tetap mengizinkan adanya posisi sekjen, kemungkinan besar jabatan itu hanya raja tanpa pedang. PKB telah memutus secara bulat: Gus Ami memegang mandataris tunggal.

Pemimpin Partai Tak Rela Bersaing

Gaya kepemimpinan yang menitikberatkan pada satu figur belaka memang membuka peluang partai menjadi otoriter. Pola macam ini menjangkiti banyak partai di Indonesia.

Dalam praktiknya, salah satu partai yang sentralistis dan cenderung otoriter adalah PDI-P di bawah kepemimpinan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri.

Kekuasaan Megawati di partai banteng itu mutlak dan tidak bisa diganggu gugat. Berbeda dengan PKB, tidak ada kader PDI-P yang benar-benar menunjukkan perlawanan atau bermanuver tanpa seizin partai. Beberapa kali, dalam hal apapun, para kader sama-sama menegaskan: “Semua tergantung Bu Mega.”

Megawati juga tak segan mengeluarkan ancaman pemecatan bagi mereka yang ia anggap tak bisa memenuhi amanat partai. Misalnya saja saat Pilkada Jateng 2018 ketika Megawati menitahkan Ganjar Pranowo dan Taj Yasin harus menang. Seperti dilaporkan Media Indonesia, ia mengultimatum akan memecat pengurus PDI-P di 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah..

Di sisi lain, tindakan otoriter atau penguasaan penuh oleh Megawati adalah bukti tak adanya pilihan lain. Analisis yang ditulis Marcus Mietzner berjudul "Indonesia’s 2009 Elections: Populism, Dynasties and the Consolidation of The Party System" (PDF) menyebut PDI-P “bertahan karena Megawati”.

Mietzner mengatakan PDI-P sebenarnya menghadapi masalah karena anggapan tak ada yang bisa meneruskan partai selain trah Sukarno. Megawati, masih kata Mietzner, juga berpandangan demikian. Dia sempat mendapuk suaminya, Taufiq Kiemas, untuk menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Pusat dan putrinya, Puan Maharani, sebagai Ketua DPP.

Namun PDI-P, sejak Mietzner menulis penelitannya hingga sekarang, masih saja tak berusaha mencari solusinya. Dalam kongres PDI-P tahun ini, Megawati juga tak membahas masalah regenerasi.

Dalam komposisi susunan Dewan Pengurus Pusat PDI-P sekarang, Megawati mengganti sejumlah orang. Beberapa yang diganti adalah Hendrawan Supratikno, Bambang Dwi Hartono, dan Andreas Pareira.

Turunnya Bambang bisa dimaklumi karena Megawati bermaksud mempromosikan Tri Rismaharini, Wali Kota Surabaya yang belakangan berselisih dengan Bambang. Sedangkan Andreas, yang memiliki pengaruh tinggi di NTT, mungkin akan mendapat jabatan lain.

Namun soal Hendrawan dan Andreas, Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin memandang bisa jadi Megawati memang tak senang dengan kader yang mencari panggung politik.

Dua nama itu sering muncul dalam pemberitaan. Ujang memperkirakan Megawati khawatir akan ada kader kuat yang muncul dari luar trah Sukarno. Sedangkan dua anaknya, Prananda Prabowo dan Puan Maharani, tidak terlalu terekspos. Puan malah sering menerima kritikan.

“Dia tetap ingin trah Soekarno yang menjadi penerus,” kata Ujang kepada tirto, Rabu (28/8/2019).

Meski ada beberapa nama yang dianggap bisa menggantikan Megawati, yakni keponakannya, Puti Guntur, dia tidak bertalian darah langsung dengannya. Ini juga yang menutup sementara pintu bagi Puti.

Dengan kondisi macam itu, tidak ada protes kuat dari Puti atau kader lainnya. Salah satu sebabnya, tindakan Megawati ini mendapat legitimasi dalam anggaran dasar/anggaran rumah tangga partai. Pada Piagam Perjuangan PDI-P (PDF) tertulis bahwa “Ketua Umum memiliki hak prerogatif untuk menentukan demokrasi di dalam partai, yang membatasi dirinya sendiri berupa kepentingan rakyat.”

Selain Megawati, tokoh yang mendominasi partai adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Menurut mantan Ketua Dewan Pimpinan Cabang Partai Demokrat Cilacap, Tridianto, SBY memang ingin membentuk dinasti politik di partai.

“Demokrat sebetulnya dirancang menjadi partai modern. Tapi dijadikan partai keluarga oleh SBY,” ucap Tridianto seperti dikutip Viva.

Sejak tergabung dalam kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno di Pilpres 2019, SBY malah jarang muncul ke publik. Secara kebetulan, istrinya juga jatuh sakit sehingga fokus presiden ke-6 Republik Indonesia itu berpindah ke sana.

Namun sampai pilpres 2019 berakhir, SBY tak banyak bicara dengan alasan “masa berkabung”. Sejauh ini calon kuat yang terus dipublikasikan untuk menggantikan SBY adalah putranya sendiri, Agus Harimurti Yudhoyono.

Memang sempat ada tuntutan pergantian Ketua Umum dari pendiri Partai Demokrat macam Max Sopacua. Tapi itu justru meneguhkan Demokrat sebagai partai keluarga yang tetap tersentralisasi pada satu tokoh. Calon yang diusung Max adalah AHY.

Infografik Otoriter Partai Politik

Infografik Otoriter Partai Politik. tirto.id/Quita

Golkar dan PKS Ikut Tutup Pintu

Dari perspektif realpolitik, cara-cara yang dilakukan Gus Ami, Megawati, hingga SBY untuk menguasai partai sebenarnya wajar. Sebagai partai-partai yang mengandalkan ketokohan, perintah tokoh sentral ibarat sabda.

Namun di tahun-tahun belakangan, partai yang tidak mempunyai ketokohan kuat juga mulai menunjukkan keinginan untuk mengusung tokoh sentral.

PKS, misalnya, saat perhelatan Pileg 2019 mengeluarkan aturan yang memicu kegegeran di internal partai. Presiden PKS Sohibul Iman mensyaratkan kader harus mau diganti apabila diperintahkan partai. Ada satu formulir lagi atas nama partai yang bertuliskan tanggal kosong dan harus ditandatangani kader.

Isinya tentang kesediaan pengunduran diri. Efeknya, kader bisa diberhentikan kapan saja jika partai menghendaki. Hal ini yang kemudian tak diterima sebagian orang, terutama loyalis dari pesaing Sohibul, Anis Matta.

“Pak Sohibul ini ngerusak, saya bui saja,” kata mantan politikus PKS Fahri Hamzah pada Maret 2018, seperti dikutip CNN.

Status Fahri juga kini belum jelas karena masih bersengketa di pengadilan. Namun, secara resmi PKS telah memecatnya.

Selain PKS, Partai Golkar juga mulai menampakkan kecenderungan serupa. Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto melakukan beberapa manuver untuk mengamankan posisinya sebagai ketum pada Munas Desember 2019 mendatang.

Selain menolak aspirasi percepatan Munas, Airlangga juga mencopot 10 Ketua DPD Partai Golkar yang mendukung pesaingnya, Bambang Soesatyo. Airlangga, menurut pengakuan kader Golkar Lawrence Siburian sebagaimana diberitakan Tempo, juga mengajukan perubahan struktur kepengurusan partai sebelum ada rapat pleno.

Banyaknya manuver nyeleneh dari Airlangga kemudian membuat Bamsoet angkat bicara. Secara terang-terangan, dia menyebut gaya kepemimpinan Airlangga “otoriter”—sesuatu yang ingin dihapus Golkar sejak diktator Soeharto lengser 21 tahun silam.

"Saya sepakat bahwa sikap otoriter ini, sikap tirani ini, menjadi musuh kita bersama di Partai Golkar," kata Bamsoet di Kompleks MPR/DPR seperti dikutip CNN.

Baca juga artikel terkait PARTAI POLITIK atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Ivan Aulia Ahsan