tirto.id - Rombongan K.H. Hasyim Muzadi terlihat cemas ketika beberapa laskar berseragam menjemput Ketua Umum PBNU periode 2000-2010 itu. Ia hanya diizinkan pergi bersama K.H. Abdul Mun’im DZ, penulis sekaligus sejarawan, untuk menuju tempat rahasia yang sudah ditetapkan.
Mereka kemudian masuk ke dalam kendaraan yang dikawal beberapa kendaraan lainnya, lalu melaju di jalanan Beirut jelang tengah malam. Kaca jendela mobil sangat gelap sehingga mereka tidak bisa melihat situasi kiri kanan. Rombongan lalu beralih ke kendaraan lain setelah memasuki semua gedung.
K.H. Abdul Mun’im lalu menceritakan bagaimana mereka berdua masuk ke sebuah basemen, lalu kembali ganti mobil dan kembali melaju di keheningan malam Beirut.
“Di situ saya dengan Kiai Hasyim disuruh menunggu di lobi gedung tua,” tuturnya dikutip dari laman Nu Online.
Tentara berseragam lalu memisahkan mereka berdua dan hanya K.H. Hasyim Muzadi yang diizinkan melanjutkan perjalanan. Sedangkan K.H. Abdul Mun’im diantar kembali ke hotel tempat rombongan NU menginap.
Memasuki tengah malam, di sebuah lokasi rahasia itulah K.H. Hasyim Muzadi bersua dengan Sayyid Hasan Nasrallah, komandan Hizbullah yang kerap diburu Israel.
“Selamat datang, Saudaraku di Markas Hizbullah. Semoga Allah melindungi selalu,” ungkap Hasan Nasrallah menyambut tamunya.
Mereka berdialog tentang berbagai hal, khususnya peran umat Islam di Indonesia, termasuk sebagai mediator dalam menyatukan dunia Islam. Rombongan PBNU pada tahun 2009 itu memang sedang mengadakan muhibbah ke berbagai negara di Timur Tengah.
Usai menghadiri sejumlah pertemuan dengan berbagai ulama di Lebanon Selatan, rombongan lalu dikontak Hizbullah secara mendadak yang mengagendakan pertemuan dengan Hasan Nasrallah. Selain ke Lebanon, mereka juga mengunjungi beberapa ulama di Syiria.
Hasan Nasrallah dikenal sebagai petinggi Hizbullah yang dianggap sebagai simbol perlawanan di Lebanon terhadap agresi Israel. Belakangan ia jarang berpidato karena lokasinya dikhawatirkan terdeteksi Israel yang terus memburunya. Domisilinya juga sering berpindah-pindah.
Pada 27 September 2024 lalu, serangkaian serangan udara Israel menewaskan Nasrallah di Beirut selatan. Ia meninggal di usianya yang ke-64. Netanyahu menyebut bahwa kemampuan Hizbullah telah melemah, sementara Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant, mengatakan Hizbullah babak belur dan tak punya pemimpin setelah kematian Hassan Nasrallah.
Di bawah kepemimpinan Nasrallah, Hizbullah memang tumbuh menjadi kelompok paramiliter yang kuat di Timur Tengah selama tiga dekade terakhir.
Kepemimpinannya dikenal dengan strategi gerilya dan kebijakan yang mempertahankan keseimbangan antara politik dan perlawanan bersenjata.
Latar Belakang dan Awal Karier
Hasan Nasrallah lahir pada 31 Agustus 1960, di Bourj Hammoud, sebuah distrik di pinggir kota Beirut. Ia anak tertua dari sembilan bersaudara. Ayahnya, Abdul Karim Nasrallah, seorang penjual buah dan sayur yang miskin. Ia kerap dipanggil sayyid mengingat garis keturunannya yang masih merupakan keturunan Nabi Muhammad lewat garis Husain bin Ali.
Hobinya ada mengoleksi buku-buku, meskipun buku itu nantinya akan ia baca saat dewasa. Dari usia muda, ia sudah tertarik dan sangat ingin mendalami ilmu agama dan politik, yang kemudian membawanya untuk belajar di sekolah-sekolah agama terkemuka di Najaf, Irak, pada tahun 1976. Kelak, di sana ia bersua dengan ulama Lebanon, Sayyid Abbas Mussawi.
“Nasrallah ingat bahwa pada pertemuan pertama dengan Mussawi, ia mengira Mussawi adalah orang Irak, karena warna kulitnya yang gelap, dan berbicara kepadanya dalam bahasa Arab beraksen Irak,” tutur Nicholas Blanford dalam pengantar buku Voice of Hezbollah The Statement of Sayyed Hassan Nasrallah (2007:3).
Pemikirannya kala itu juga dipengaruhi Sayyid Musa al-Sadr, tokoh yang menginisiasi Gerakan Amal pada tahun 1974, sebuah komunitas yang kemudian menjadi partai politik Syiah Lebanon dengan basis orang-orang Lebanon yang tersisihkan.
Memasuki tahun 1975, Nasrallah tumbuh di lingkungan yang penuh gejolak akibat perang saudara Lebanon. Ia dan keluarganya kerap berpindah tempat akibat konflik tersebut. Pengalaman hidupnya yang keras turut membentuk kepribadian dan pandangan politiknya tentang pentingnya perlawanan terhadap penindasan dan ketidakadilan.
Ia kemudian bergabung dengan kelompok Gerakan Amal bersama saudaranya. Meski saat itu usianya masih 15 tahun, ia sudah dipercaya untuk menjadi pemimpin gerakan tersebut di wilayahnya.
Kemunculannya dalam kancah politik lalu diperkuat oleh Revolusi Iran 1979, yang memberikan inspirasi bagi gerakan-gerakan Syiah di Timur Tengah, termasuk Hizbullah.
Latarnya ialah saat Israel menginvasi Lebanon pada Juni 1982, Beirut dikepung selama beberapa minggu. Diketahui kelompok Abu Nidal yang berafiliasi dengan PLO, Organisasi Pembebasan Palestina, melakukan upaya pembunuhan terhadap duta besar Israel untuk London, Shlomo Argov, yang membuat Israel berang.
Presiden Lebanon kala itu, Elias Sarkis, membentuk komite persatuan untuk menggabungkan Gerakan Amal dengan beberapa kelompok milisi, termasuk sekutu Israel di Lebanon pimpinan Bashir Gemayel.
Nasrallah, Musawi, dan beberapa pihak yang kadung condong ke Iran, lalu membelot dari Gerakan Amal dan mendirikan Hizbullah pada pertengahan tahun 1982 yang didukung Iran dan Suriah.
Hizbullah memiliki doktrin Syiah Khomeini tentang Wilayah Al-faqih, yang menegaskan bahwa setiap pemimpin tertinggi Iran memiliki otoritas agama sekaligus politik, bukan hanya pada warga Iran, tetap ke seluruh kaum Muslimin.
Melihat potensi kepemimpinannya, Nasrallah kemudian dikirim ke Iran untuk melanjutkan pendidikan agama di Qom di penghujung akhir 1980-an. Kota Qom adalah pusat studi Islam Syiah yang sangat penting, dan banyak ulama besar Syiah berasal dari kota ini.
Pendukung Kuat Perlawanan Palestina
Berangkat dari latar belakang yang sederhana, ia bergabung dengan gerakan Amal sebelum mendirikan Hizbullah sebagai tanggapan atas invasi Israel ke Lebanon. Di bawah kepemimpinannya, Hizbullah tumbuh menjadi kekuatan politik dan militer, terlibat dalam konflik dengan Israel dan mendukung perjuangan rakyat Palestina.
Hizbullah sering kali terlibat dalam konflik Israel-Palestina. Organisasi ini memberikan dukungan kepada kelompok-kelompok Palestina yang berjuang melawan Israel, seperti Hamas dan Jihad Islam.
November 1982, Hizbullah melancarkan serangan ke markas militer Israel dan bertanggung jawab atas kematian 75 warga Israel di Tyre, Lebanon selatan. Pada April 1983, terjadi pengeboman di Kedutaan Besar AS di Lebanon yang menewaskan 17 warga Amerika dan 30 warga Lebanon.
Pada Oktober di tahun itu juga, front pasukan terjun payung Prancis di Beirut dan barak-barak Marinis AS diserang menyebabkan 300 tentara tewas dari kedua belah pihak. Hizbullah menolak bertanggung jawab, namun mendukung upaya-upaya pembunuhan tersebut.
Di bawah kepemimpin Nasrallah, Hizbullah kerap memenangkan berbagai konfrontasi dengan Israel, yang paling terkenal adalah penarikan pasukan Israel dari selatan Lebanon pada tahun 2000, yang dicap sebagai kemenangan besar bagi kelompok ini.
Hizbullah juga terlibat dalam pertempuran setelah serangan Hamas pada 7 Oktober 2023. Ia memuji kerahasiaan yang membawa kesuksesan Hamas dalam serangan itu.
Pengaruh Nasrallah meluas ke anggota poros perlawanan lainnya, dan keterlibatannya dalam konflik dan aliansi regional telah membentuk lanskap geopolitik. Sebagai Sekretaris Jenderal Hizbullah, Nasrallah berhasil mengonsolidasikan organisasi tersebut menjadi kekuatan politik dan militer utama di Lebanon.
Ia terkenal karena keterampilannya dalam manuver politik dan kemampuannya untuk memobilisasi dukungan massa.
Hizbullah memiliki hubungan yang sangat erat dengan Iran. Nasrallah sering disebut sebagai "wakil" Iran di Lebanon. Dukungan Iran dalam hal finansial dan militer sangat penting bagi Hizbullah dalam menjalankan operasinya.
Hassan Nasrallah memimpin Hizbullah menjadi partai paling kuat dalam sejarah Lebanon modern, dengan jaringan sekutu regional dan pengaruh yang besar.
Kepemimpinan Nasrallah tidak lepas dari kontroversi. Hizbullah sering dituduh oleh negara-negara barat dan sekutu-sekutunya sebagai organisasi teroris, dan menjadi sasaran utama sanksi internasional.
Meskipun mendapat dukungan dari sebagian warga Lebanon, ada pula kritik atas dampaknya terhadap hubungan Lebanon.
Strategi militernya yang sering melibatkan bentrokan dengan Israel menyebabkan banyak perpecahan di kalangan politik Lebanon, beberapa pihak menganggapnya membahayakan stabilitas nasional.
Pengaruh Regional dan Kebijakan
Nasrallah juga dikenal karena kemampuannya memengaruhi kebijakan regional. Hizbullah di bawah kepemimpinannya, berhasil mendapatkan dukungan dari Iran dan Suriah, memperkuat posisinya melintasi batas-batas nasional.
Strategi diplomasi ini membuatnya menjadi tokoh berpengaruh dalam konflik-konflik regional, termasuk perang saudara di Suriah. Seturut James Worrall dkk dalam Hezbollah From Islamic Resistance to Government (2015:158), dalam konteks perang di Suriah, Nasrallah tetap berkomitmen pada perjuangan Hizbullah di Suriah melawan militan takfiri, membandingkannya dengan perjuangan melawan musuh Israel dan berpendapat bahwa pertempuran di Suriah akan menyebar ke Lebanon jika takfiri berkuasa di Suriah.
Meskipun sikap dan kebijakannya sering kali kontroversial, ia tetap menjadi simbol resistensi bagi banyak orang di komunitas Syiah dan sekitarnya.
Nasrallah dikenal sebagai pemimpin yang karismatik dan memiliki pengaruh besar terhadap para pengikutnya. Ia sering muncul di depan publik memberikan pidato-pidato yang membakar semangat dan memberikan pandangannya tentang berbagai isu regional dan internasional.
Hassan Nasrallah telah memimpin Hizbullah sejak 1992. Ia meninggal di sebuah bunker setelah serangan udara Israel. Menurut sebuah laporan, ia tercekik akibat gas beracun selama serangan.[4] Ia pergi meninggalkan istri dan empat orang anak. Anak tertuanya telah menjadi martir pada saat bertempur dengan Israel pada September 1997.
Hamas mengirimkan belasungkawa dan menegaskan tekad kuat untuk membalas serangan yang lebih gencar terhadap zionis Israel. Sementara Iran berduka atas kematian Nasrallah dan memperingatkan Israel agar tidak meningkatkan eskalasi lebih lanjut.
Kematian Sayyid Hasan Nasrallah meninggalkan kekosongan besar dalam struktur Hizbullah dan dinamika politik Lebanon. Kepemimpinannya dikenang sebagai era di mana Hizbullah berkembang dari gerakan kecil menjadi kekuatan politik dan militer yang dominan.
Selama masa jabatannya, Hizbullah bukan hanya berfungsi sebagai kelompok militan, tetapi juga sebagai pemain politik signifikan di dalam dan di luar Lebanon. Setelah kematiannya, calon pengganti dalam jajaran Hizbullah disebut-sebut dialihkan ke Hashem Safieddine, tokoh penting yang juga masih memiliki kerabat dengan Hassan Nasrallah.
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi