tirto.id - Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menjadi partai yang paling diuntungkan secara elektabilitas di antara parpol yang telah menyatakan dukungan kepada Joko Widodo (Jokowi) untuk maju kembali menjadi calon presiden dalam Pemilu Presiden 2019. Keuntungan yang didapat PDIP berpotensi membuat partai pendukung memilih jalur lain untuk menyelamatkan elektabilitas partai.
Temuan kenaikan elektabilitas itu muncul dalam hasil riset Indikator Politik Indonesia yang digelar pada 25 Maret hingga 31 Maret 2018. Dalam survei yang melibatkan 1.200 responden yang dipilih dengan metode multistage random sampling, PDIP meraih kenaikan tren elektabilitas dari 22,6 persen pada September 2017 menjadi 27,7 persen di Maret 2018.
Raihan ini merupakan yang tertinggi dibanding 15 partai lain yang juga menjadi peserta pemilu 2019.
“Angka itu menunjukkan bahwa hanya PDIP yang memonopoli cocktail effect dari elektabilitas Jokowi,” kata Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanudin Muhtadi dalam pemaparannya, di Kantor Indikator Politik Indonesia, Kamis (3/5/2018).
Analisis Burhanuddin ini didukung temuan survei. Selain PDIP, hanya Partai Nasdem yang mengalami kenaikan serupa meski tidak terlalu signifikan. Elektabilitas Nasdem naik dari 2 persen pada September 2017 menjadi 2,7 persen pada Maret 2018 meski angka itu belum mencapai ambang batas parlemen sebesar 4 persen.
Berkebalikan dengan PDIP dan Nasdem, tiga partai lain pendukung pemerintah yakni Golkar, PPP, dan Hanura malah mengalami penurunan elektabilitas.
Golkar yang juga sudah menyatakan dukungan kepada Jokowi dan menjadi partai urutan kedua dalam Pemilu Legislatif 2014, malah mengalami penurunan elektabilitas. Semula, Golkar punya angka elektabilitas 16,1 persen pada Agustus 2016, kemudian menurun menjadi 12 persen pada September 2017, lantas kembali turun menjadi 8 persen pada survei kiwari.
Demikian pula dengan PPP yang terus mengalami penurunan elektabilitas dari 5,1 persen pada Agustus 2016, menjadi 4,6 persen pada September 2017, lalu turun lagi menjadi 3,5 persen pada survei kiwari. Elektabilitas PPP dalam survei itu bahkan menunjukkan mereka belum mencapai ambang batas parlemen 4 persen untuk Pileg 2019.
Sementara elektabilitas Hanura dalam survei ini semakin menjadikan partai yang diinisiasi Wiranto ini menjadi partai gurem. Elektabilitas Hanura hanya 0,5 persen pada Maret 2018, atau turun 0,9 persen dari bulan September 2017.
Menurut Burhanuddin kondisi ini diakibatkan masyarakat menganggap PDIP lah yang paling berperan dalam menyukseskan pemerintahan Jokowi. PDIP juga dianggap Burhanuddin paling getol mendukung Jokowi kembali maju dalam Pilpres 2019.
“Slogan dan baliho-baliho yang dipasang partai pendukung Jokowi lainnya banyak tidak diketahui publik,” kata Burhanudin.
Pendapat Burhanudin ini merujuk hasil survei Indikator Politik Indonesia pada Februari 2018 yang menyatakan 58 persen responden menganggap PDIP sebagai partai yang paling loyal pada Jokowi. Sementara Nasdem hanya 9 persen, Golkar 3 persen, Hanura 1 persen, dan PPP nol persen atau tidak ada yang menganggap partai ini loyal.
Temuan Indikator Politik Indonesia terkait elektabilitas partai pendukung Jokowi berbanding terbalik dengan elektabilitas dua partai oposisi Gerindra dan PKS. Elektabilitas Gerindra meningkat dari 10,3 persen pada September 2017 menjadi 11,4 persen pada Maret 2018. Sementara, PKS meningkat dari 3,2 persen menjadi 4,0 persen pada rentang bulan yang sama.
“Karena hanya dua partai, jadi elektabilitas Prabowo bisa mereka nikmati sendiri,” kata Burhanudin.
Potensi Pecah Koalisi
Naiknya elektabilitas PDIP dalam survei kali ini dianggap politikus PDIP Maurarar Sirait bukan lantaran partainya memonopoli cocktail effect seperti yang dibilang Burhanuddin. Ara, sapaan akrab Maurara, menyebut kenaikan elektabilitas ini merupakan efek dari ketangguhan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dalam menjaga soliditas internal partai.
Partai pendukung Jokowi, kata Ara, punya kesempatan mencitrakan diri sebagai pendukung. Akan tetapi cara yang dipakai kurang mampu mendongkrak angka keterpilihan karena kurang mampu memaksimalkan tokoh partai.
“Golkar dan partai lain lebih baik mempersiapkan tokohnya untuk membantu menaikkan elektabilitas partainya,” kata Ara.
Turunnya elektabilitas ini, dinilai Ara, tidak akan membuat partai pendukung Jokowi mengalihkan dukungan ke capres lainnya. Ia bilang, parpol pendukung Jokowi kerap menjalin komunikasi yang baik selama ini.
“Jadi bukan soal takut atau enggak takut, kita harus memahami kebersamaan harus ada. Jokowi suaranya di atas PDIP. Artinya ada pendukung Golkar, Hanura, Perindo, dan lain-lain,” kata Ara.
Meski Ara berkeyakinan partai pendukung solid, Wakil Ketua Dewan Kehormatan Demokrat Amir Syamsudin menyarankan parpol pendukung Jokowi untuk berpikir ulang terkait keputusan mereka mendukung Jokowi. Amir bilang, percuma jika melabuhkan dukungan ke mantan Gubenur DKI Jakarta tersebut, tapi terseok saat Pileg 2019.
“Tidak ada manfaat signifikan saat sudah mencalonkan secara dini,” kata Amir.
Pendapat Amir rupanya juga dipikirkan Ketua DPP Partai Golkar Bambang Soesatyo. Ketua DPR itu mengatakan partainya sedang mempersiapkan “tikungan terakhir” guna mendongkrak elektabilitas dalam memenangi Pileg 2019.
“Masih banyak ribuan tikungan yanh harus kita lewati, yang penting bagi Golkar adalah tikungan terakhir nanti," kata Bambang.
Saat diminta menjelaskan maksud dari tikungan terakhir tersebut, Bambang enggan menjawab dan hanya tertawa sembari mengulangi menyatakan “Yang penting kan tikungan terakhir.”
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Mufti Sholih