tirto.id - Serangan pada 11 April yang lalu mengakibatkan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan hampir kehilangan penglihatan sudah lewat 50 hari. Tercatat sudah lima orang pernah diduga oleh penyidik kepolisian terlibat teror penyiraman air keras itu. Tapi, tak kunjung ada tersangka di kasus ini.
Kapolri Tito Karnavian pernah menyatakan tiga di antara terduga pelaku merupakan mereka yang terindikasi terlibat menyerang Novel berdasarkan temuan bukti-bukti di Tempat Kejadian Perkara (TKP), keterangan saksi dan rekaman CCTV di rumah milik Novel.
Namun, ketiga orang itu, yakni M, H dan AL dilepas oleh penyidik kepolisian. Tak ada bukti ketiganya berada di lokasi kejadian saat Novel diserang dengan disiram air keras.
M dan H pernah terekam kamera CCTV di rumah Novel menyambangi area dekat kediaman penyidik KPK itu. Sementara AL merupakan satpam sebuat tempat Spa di Jakarta yang juga memiliki hubungan kekerabatan dengan M dan H.
Dua terduga lainnya ialah Miryam S. Haryani, tersangka di KPK dalam kasus pemberian kesaksian palsu, dan seorang lagi bernama Miko Panji Tirtayasa. Nama terakhir adalah keponakan Muchtar Effendy, terpidana kesaksian palsu dan tersangka kasus suap yang menyeret nama mantan Ketua MK, Akil Mochtar.
Menurut Tito, keduanya diduga terlibat penyerangan Novel karena terindikasi memiliki motif dendam.
Miryam dianggap bisa saja mendendam kepada Novel karena keduanya pernah saling bantah di sidang korupsi e-KTP. Politikus Hanura itu mengklaim mendapat tekanan dari Novel sehingga mencabut keterangan dia di Berkas Acara Pemeriksaan (BAP).
Novel kemudian membantah keterangan Miryam di persidangan. Dia juga menyatakan Miryam mengaku dalam pemeriksaan telah ditekan oleh sejumlah anggota Komisi III DPR agar tak mengobral keterangan mengenai adanya pembagian duit suap proyek e-KTP ke puluhan anggota DPR RI periode 2009-2014.
Adapun Miko, dianggap memiliki dendam kepada Novel, sebab pernah mengunggah video pernyataan kekecewaannya terhadap Novel. Miko mengklaim ditekan Novel saat bersaksi di persidangan pamannya, Muchtar Effendy. Ia juga mengaku menerima sejumlah duit dari KPK.
Penyidik melepas Miko, setelah memeriksanya seharian, karena pria asal Tasikmalaya itu terbukti sedang berada di Malang, Jawa Timur saat penyerangan terhadap Novel terjadi.
Meskipun demikian, kinerja kepolisian dianggap lelet oleh para aktivis korupsi. Padahal, kasus penyerangan terhadap Novel merupakan ancaman nyata terhadap aparat penegak hukum dan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Apalagi, Novel tak hanya sekali ini saja menjadi korban penyerangan. Ia juga jadi langganan korban kriminalisasi, termasuk yang terindikasi dilakukan bekas korpsnya, kepolisian. Sementara daftar kasus korupsi besar yang sudah diungkap oleh Novel sudah panjang.
Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama S. Langkun mengkritik polisi lambat dalam menangani perkara ini. Apalagi beberapa kali penyidik Polda Metro Jaya menangkap terduga pelaku tapi kemudian melepaskannya lagi.
"Penanganan perkara novel terbilang lama dari yang kita harapkan. Sudah lebih dari sebulan belum ada perkembangan signifikan. Kemudian fakta yang terjadi adalah adanya tangkap-lepas, tangkap-lepas, dan itu tidak hanya sekali-dua kali. Ini artinya ada problem serius," kata Tama saat dihubungi Tirto, pada Rabu (31/5/2017).
Tama berpendapat penanganan kasus Novel memerlukan perlakuan khusus. Dia mendesak Presiden Joko Widodo segera mengeluarkan Keppres untuk pembentukan Tim Pencari Fakta (TPF) gabungan yang bertugas mengusut kasus ini.
Menurut dia, pembentukan TPF gabungan itu akan lebih menjamin keterbukaan dalam proses penyidikan kasus serangan ke Novel.
"Kalau sekarang kita gak tahu orang yang ditangkap dan dilepas ini bagaimana kondisinya? penangkapannya seperti apa? kemudian proses pemeriksaannya bagaimana? Jadi, dalam kata lain, akuntabilitas perkara Novel ini enggak kelihatan," kata Tama.
Tama mengingatkan kisah TPF Munir sebagai contoh. Penanganan perkara pembunuhan Munir yang sempat mandeg bisa diselesaikan berkat adanya pembentukan TPF. TPF Munir mengungkap adanya keterlibatan Pollycarpus.
Sementara dalam kasus Novel, pembentukan TPF juga jauh lebih penting. Tama menerangkan, ada tiga alasan.
Pertama, Novel selalu menangani perkara korupsi besar, terutama di korupsi e-KTP. Di kasus tersebut, Novel tidak sekadar menjadi penyidik, tetapi juga saksi perkara. Kedua, perkara Novel bentuk vulgar teror ke pemberantasan korupsi.
"Kasus ini pesan (ancaman) sangat keras untuk pemberantasan korupsi," kata Tama.
Ketiga, Tama melanjutkan, lambannya penanganan kasus Novel bisa menimbulkan preseden buruk dalam penanganan perkara korupsi. Intimidasi terhadap penyidik bisa dianggap para koruptor menjadi salah satu strategi ampuh menghambat penyidikan kasus korupsi.
"Kalau ada perkara ditangani KPK itu sebagain besar divonis bersalah. 99,9 persen tersangka pasti masuk penjara. Bagaimana cara mengganggunya? Daripada capek-capek nunggu sidang, sudah gangguin saja penyidiknya, teror aja penyidiknya atau yang lain," kata Tama.
Tama juga mengingatkan kasus Novel bukan kasus biasa, tetapi sudah masuk kategori perbuatan menghalangi proses hukum atau obstruction of justice.
"Ini bukan sekadar pelanggaran atau kejahatan dalam perspektif KUHP, tapi ini bagian obstruction of justice, mungkin dalam kapasitas ingin mengganggu proses yang ditangani di KPK atau yang sudah selesai, atau juga yang akan datang," kata Tama.
Tama lebih khawatir lagi kasus penyerangan terhadap Novel bisa mengganggu ritme kerja KPK di masa depan. "Efeknya panjang. Paling tidak, ini serangan ke moril KPK," kata Tama.
Karena itu, dia menambahkan, KPK memiliki tiga tanggung jawab terkait dengan kasus penyerangan terhadap Novel.
Pertama, memastikan pemulihan kesehatan Novel. Kedua, mendorong pengusutan pelaku penyerangan Novel. Ketiga, KPK harus segera merumuskan mitigasi risiko di setiap kasus korupsi yang sedang ditangani lembaga itu.
Menurut Tama, perkara korupsi selalu dekat dengan kekuasaan, kapasitas finansial, hingga jaringan yang bisa mendukung penyerangan terhadap penyidik. Makanya, KPK tidak bisa sekadar menunggu laporan, tapi juga harus terlibat langsung dalam pengusutan perkara Novel.
"Kami meminta KPK bertanggung jawab. Tanggung jawabnya apa? Dalam penyembuhan, kemudian membongkar perkaranya karena kita anggap ini bukan perkara biasa, tetapi OJ (obstruction of justice) sehingga upaya-upaya menghalang-halangi seperti ini, kan, bisa didalami," kata Tama.
Polisi Mengklaim Penyelidikan Jalan Terus
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Raden Prabowo Argo Yuwono mengklaim proses penyelidikan kasus penyerangan terhadap Novel tidak terhenti. Kepolisian masih terus mencari tersangka dalam kasus tersebut.
"Kita masih melakukan penyelidikan. Kita tetap mencari potensi-potensi yang mengarah ke bersangkutan," ujar Argo di Polda Metro Jaya, Jakarta, Rabu (31/5/2017).
Argo belum mau berbicara tentang kesulitan penyelidikan kasus ini. Ia menyatakan, hal itu sudah diungkapkan berkali-kali. Argo juga enggan menjelaskan detail perkembangan penyelidikan.
Sampai saat ini, polisi sudah memeriksa 52 saksi. Para saksi itu dimintai keterangan karena polisi masih mencari rangkaian peristiwa tersebut. Argo menolak menjelaskan rincian hasil pemeriksaan para saksi itu.
"Masih dalam kegiatan penyelidikan. Nanti penyidik (yang menyampaikan). Tidak mungkin saya sampaikan," kata Argo.
Pada 19 Mei lalu, Argo mendatangi KPK untuk melaporkan perkembangan penyelidikan kasus penyerangan Novel ke pimpinan lembaga itu. Argo juga menjelaskan kepada pimpinan KPK alasan pelepasan para terduga pelaku di kasus ini.
Menurut Argo, penyidik kepolisian akan secara rutin berkoordinasi dengan KPK setiap dua minggu sekali untuk melaporkan perkembangan penyelidikan.
Usai bertemu Argo, Ketua KPK Agus Rahardjo juga mengatakan pertemuan koordinasi secara reguler itu digelar agar pihak kepolisian bisa mendapatkan bantuan maksimal dari KPK.
"Kami akan melakukan pertemuan secara reguler. Kami akan selalu bantu sesuai dengan kewenangan mereka (polisi)," kata Agus seperti dikutip Antara pada pada Jumat (19/5/2017).
Penyidik Terindikasi Keteteran Tangani Kasus Novel
Adapun Kriminilog Universitas Indonesia (UI) Kisnu Widagso menilai pengusutan kasus penyerangan terhadap Novel memang sulit untuk diungkap. Dia mengamati polisi kesulitan karena tidak mempunyai bukti cukup dan kurang menguasai kasus penyerangan ini.
"Dari awal, bukti-bukti yang ditinggalkan pelaku di TKP sangat minim sehingga polisi tidak bisa fokus," kata Kisnu.
Dia menduga minimnya bukti itu membuat penyidik kepolisian kesusahan meski telah memeriksa puluhan saksi, meneliti rekaman CCTV di rumah Novel dan melakukan olah Tempat Kejadian Perkara (TKP).
Menurut Kisnu, kesulitan penyidik itu terlihat ketika polisi belum juga menemukan pelaku sekalipun telah berusaha mencari korelasi antara penyerangan terhadap Novel dengan perkara yang ia tangani maupun bukti-bukti di lapangan.
Dia berpendapat penyelidikan kasus Novel berbeda konteks dengan kasus lain yang selama ini cepat ditangani polisi, seperti kasus ledakan bom bunuh diri di Kampung Melayu.
Pada kasus terakhir, polisi bisa begitu cepat menangkap sejumlah terduga pelaku karena sudah memahami betul peta jaringan teroris. Polisi juga sejak lama terlatih untuk menangani kasus teror bom.
"Konteksnya berbeda dengan kasus Novel. Tidak ada orang yang tahu siapa, bertemu dengan siapa, apa (terkait) kasus e-KTP atau kasus lain," kata Kisnu.
Posisi kepolisian di kasus Novel juga serba salah. Sebabnya, menurut Kisnu, polisi sedang menangani kasus yang minim alat bukti. Sementara tuntutan publik untuk percepatan penuntasan kasus ini tinggi.
"(Polisi) bisa (menuntaskan kasus Novel), tapi perlu waktu (lama) karena bukti yang tertinggal di tempat kejadian perkara sedikit, tidak ada saksi mata yang langsung melihat, rekaman CCTV kenyataannya gak bisa (mengungkap pelaku),” kata dia.
Kisnu menambahkan, “Di sisi lain, kalau misal polisi asal tangkap, itu melanggar HAM."
Meskipun demikian, Kisnu tidak merekomendasikan pembentukan TPF. Menurut Kisnu, kehadiran TPF tidak diperlukan karena pengusutan perkara ini akan tetap bergantung pada ketersediaan bukti di TKP.
"Tim independen akan lari ke TKP juga. Kalau memang buktinya minim, apa yang bisa dilakukan tim independen," kata Kisnu.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Addi M Idhom