tirto.id - Anjloknya harga minyak dunia awal pekan lalu jadi ancaman baru di tengah tekanan perekonomian global akibat merebaknya wabah COVID-19. Kondisi ini diperkirakan bakal berlangsung lama dan memberikan sentimen negatif pada pasar keuangan Indonesia.
Awal pekan lalu saja, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) rontok hingga 6,58 persen ke posisi 5.136,81 dan menjadi yang paling buruk di Asia. Pelemahan indeks saham di atas 6 persen terakhir kali terjadi pada 22 September 2011—saat IHSG turun hingga 8,8 persen.
Hingga Selasa (10/3/2020), harga minyakUS West Texas Intermediate (WTI) masih berada di angka 34,36 dolar AS per barel, sementara harga minyak berjangka brent di angka 37,20 dolar AS per barel.
Peneliti fiskal dari Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet mengatakan fluktuasi tajam harga minyak dunia akibat perang harga antara Arab Saudi dan Rusia itu bisa membuat IHSG ditutup di bawah 5.000.
Defisit Meningkat, Utang Bertambah
Di sisi lain, arus keluar modal asing (capital outflow) dari pasar keuangan juga dikhawatirkan dapat membuat harga Surat Berharga Negara (SBN) jatuh sehingga yield (imbal hasil) melambung.
"Artinya, ongkos pembiayaan atau utang pada APBN bisa lebih mahal,” ucap Yusuf saat dihubungi pada Selasa (10/3/2020).
Padahal, di saat yang bersamaan, defisit APBN berpotensi makin lebar lantaran penerimaan negara tergerus karena tergelincirnya harga minyak.
Tahun lalu, misalnya, PNBP sektor Migas mengalami penurunan dari Rp142,8 triliun ke Rp120,4 triliun di 2019 dan PPh Migas turun dari Rp64,7 triliun menjadi Rp59,1 triliun. Penyebabnya, Indonesia Crude Price (ICP) turun dari 67,5 dolar AS per barel menjadi 62 dolar AS per barel, yang diiringi dengan penurunan lifting minyak dari 778 ribu barel per hari (bph) di 2018 menjadi 741 bph di 2019.
“30 Persen penerimaan PNBP kita berasal dari migas,” kata Yusuf.
Yusuf juga menilai ada risiko tambahan dari penurunan harga minyak, yaitu merembet ke penurunan harga komoditas lain terutama batu bara. Yusuf bilang nilai ekspor batu bara berpotensi terkoreksi lebih dalam, padahal saat ini permintaan terhadap komoditas itu dari pasar ekspor utama Cina sudah terkontraksi atau minus 19 persen yoy.
Neraca perdagangan berpotensi melebar dan memperburuk pembengkakan defisit transaksi berjalan atau Current Account Deficit (CAD). Alhasil, nilai tukar rupiah yang trennya sudah melemah bisa semakin memburuk.
Yusuf lantas menyarankan agar pemerintah melakukan penyesuaian anggaran atau APBN Perubahan. Menurutnya, berbagai target mau tak mau harus dirasionalisasi, menyesuaikan dengan situasi yang ada.
Kalaupun pemerintah mau menggenjot penerimaan lain lewat ekstensifikasi atau intensifikasi basis pajak, kondisi relatif tidak banyak mendukung dan malah menahan ekspansi pelaku usaha.
“APBNP ini untuk mengakomodasi asumsi makro lainnya seperti target pertumbuhan ekonomi atau nilai tukar,” ucap Yusuf.
Diminta Pangkas Subsisidi
Ekonom dari Universitas Indonesia Fithra Faisal menegaskan penurunan harga minyak dalam jangka waktu cukup lama ini memang perlu diwaspadai. Sebab, menurutnya, penurunan harga minyak tiap 1 dolar AS bisa memangkas pendapatan negara bisa sebesar Rp4-5 triliun.
Pada kondisi ini kemampuan fiskal pemerintah tentu akan semakin terbatas, baik untuk melakukan transfer ke daerah sampai belanja stimulus ekonomi.
Ia mengusulkan agar pemerintah menarik subsisdi BBM karena kenyataannya harga minyak tengah jatuh.
Dengan demikian, pemerintah bisa mengurangi potensi pembengkakan defisit APBN sembari tetap menolong sektor-sektor ekonomi yang perlu uluran tangan.
Di sisi lain, pemerintah juga perlu menggenjot ekspor untuk meminimalisasi defisit neraca perdagangan agar tekanan akibat jatuhnya harga minyak tak merembet ke fundamental ekonomi lain.
“Kita bisa menggenjot ekspor dengan diversifikasi ke pasar non tradisional. Tapi yang paling efektif tetap memangkas subsidi BBM. Kita alokasikan ke yang lebih membutuhkan,” ucap Faisal saat dihubungi pada Selasa (10/3/2020).
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan perang harga antara Arab Saudi dan Rusia cukup mengejutkan. “Kita melihat penerimaan pasti tertekan karena harga minyak,” ujarnya kepada wartawan di Kemenkeu, Senin (9/3/2020).
Namun pemerintah telah mempersiapkan sejumlah kebijakan untuk merespons 'pukulan' kedua usai wabah virus Corona itu. Stimulus fiskal baik itu jangka pendek sampai April 2020 atau jangka panjang hingga akhir 2020 telah rampung dibahas.
Kalaupun pemerintah akan menambah utang untuk memberikan stimulus tersebut, ia memastikan situasinya relatif mendukung karena suku bunga dunia sedang dalam tren menurun.
“Makanya, dalam desain 2021 yang sudah mulai dilakukan dan jaga APBN 2020, fokusnya tetap ke ekonomi dan instrumen tetap sehat meski tekanan luar biasa,” ucap Sri Mulyani, Kemarin (10/3/2020).
Penulis: Hendra Friana
Editor: Hendra Friana