Menuju konten utama

Hanya 120 dari 2.880 RS yang Punya Izin Mengelola Limbah Medis

Menurut Muhadjir Effendy, penanganan limbah medis menjadi persoalan serius yang harus segera ditangani. Selama pandemi, jumlahnya mencapai tiga kali lipat.

Hanya 120 dari 2.880 RS yang Punya Izin Mengelola Limbah Medis
Menko PMK Muhadjir Effendy. foto/Lukas/Biro Setpres

tirto.id - Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengatakan, kapasitas pengolahan limbah medis di Indonesia masih belum memadai. Jumlah dan sebarannya tidak merata.

Selain itu menurutnya, jumlah fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) yang mempunyai fasilitas pengolah limbah berizin atau insenerator saat ini baru berjumlah 120 dari 2.880 rumah sakit (RS). Lalu hanya 5 rumah sakit yang memiliki autoclave.

"Kondisi inilah yang menyebabkan pengelolaan limbah di daerah khususnya luar Pulau Jawa mengalami kendala dan harus segera kita benahi," kata Muhadjir saat mengunjungi PT PRIA (Putra Restu Ibu Abadi), tempat pengelolaan limbah di Jetis, Mojokerto, Jawa Timur, Selasa (16/2/2021).

Padahal, kata Muhadjir, seharusnya semua provinsi mempunyai alat pengolah limbah medis di daerahnya. Sehingga bisa mengacu konsep yang dibangun Permenkes Nomor 18/2020 tentang Pengelolaan Limbah Medis Fasyankes Berbasis Wilayah.

Apalagi, sambungnya, di era pandemi COVID-19, jumlah produksi limbah medis di fasyankes meningkat tajam. Berdasarkan data Kementerian PPN/Bappenas, potensi peningkatan timbunan limbah medis akibat penggunaan alat pelindung diri (APD) mencapai 3-4 kali dari jumlah sebelumnya.

"Meningkatnya jumlah kasus positif COVID-19 mengakibatkan bertambahnya jumlah limbah medis fasyankes. Namun demikian, faktanya belum banyak rumah sakit yang memiliki pengolahan limbah on-sitem," ujarnya.

Padahal, ungkap Muhadjir, UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, tegas mengatur bahwa setiap orang yang menghasilkan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) wajib melakukan pengelolaan limbah B3. Apabila setiap orang tidak mampu melakukan sendiri pengelolaan limbah B3, pengelolaannya diserahkan ke pihak lain dan wajib mendapatkan izin dari menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya.

Namun bila pengelolaan limbah B3 tidak dilakukan dengan baik sesuai peraturan perundang-undangan, UU tersebut juga mengatur ketentuan pidana dalam bentuk pidana penjara dan denda.

"Ini penting karena dampak dari pengelolaan limbah medis yang tidak terkelola dengan baik dapat menimbulkan dampak lingkungan seperti pencemaran lingkungan, termasuk dampak kesehatan seperti tertusuk benda tajam, hepatitis, bahkan HIV," ujarnya.

Baca juga artikel terkait LIMBAH MEDIS atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Dieqy Hasbi Widhana