tirto.id - Tradisi bagi-bagi menteri berdasarkan kelompok masyarakat sudah bukan hal yang tabu di Indonesia. Dua posisi yang paling mencolok adalah menteri agama dan menteri pendidikan. Menteri agama akan selalu digilir dari dua ormas Islam besar Indonesia: kalau tidak dari kalangan Nahdlathul Ulama, ya dari pengurus Muhammadiyah. Begitu pula dengan menteri pendidikan, pilihannya tetap orang Muhammdiyah atau NU.
Stereotip dua posisi menteri itu baru muncul belakangan. Pada awal kemerdekaan, hal macam itu masih jarang. Ki Hadjar Dewantara, misalnya, mengemban menteri pendidikan (saat itu bernama menteri pengajaran) pertama dalam posisi seorang nasionalis yang mendirikan Sekolah Taman Siswa di Yogyakarta.
Begitu pula dengan penerusnya, Todung Sutan Gunung Mulia Harahap, seorang tokoh Kristen asal Padang Sidempuan, yang dipercaya oleh Sukarno untuk mengemban tugas menteri pendidikan pada November 1945 hingga Oktober 1946. Peran Gunung Mulia salah satunya merumuskan dasar pendidikan di Indonesia dan wawasan kebangsaan.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam satu pidato tahun 2011 pernah menyebut Gunung Mulia sebagai tokoh pendidikan terkemuka yang turut mengembangkan kurikulum pendidikan nasional pada awal kemerdekaan.
“Di masa jabatannya yang relatif singkat sebagai Menteri Pengajaran dari tahun 1945 hingga tahun 1946, beliau memimpin perbaikan sarana dan prasarana pendidikan di tengah berkecamuknya revolusi fisik,” kata Yudhoyono.
Bukan berlebihan sanjungan yang dilontarkan oleh SBY. Sejak awal, Gunung Mulia memang memiliki jejak langkah yang baik di dunia pendidikan. Gunung Mulia mengenyam pendidikan dasar di Europeesche Lagere School (ELS) di kampungnya. Usai menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah, Gunung Mulia melanjutkan studi ke universitas Leiden, Belanda. Ia lulus dengan menyandang gelar sarjana hukum.
Tidak puas menyabet gelar sarjana, Gunung Mulia meneruskan studi doktoral dalam ilmu sastra dan filsafat di Universitas Amsterdam. Disertasinya, “Het primitive denken in de moderne wetenschap,” diterjemahkan menjadi Pemikiran Primitif dalam Ilmu Pengetahuan Modern. Ia dibukukan pada 1933 dan diterbitkan di Belanda.
Gunung Mulia pernah menjalani guru sekolah rendah di Kotanopan, Mandailing Natal, serta guru kursus Doofdacte di Bandung. Pengalamannya di bidang pengajaran itu kelak mengantarkannya menjadi pegawai di departemen pengajaran dan departemen perekonomian.
Ia juga berkiparah dalam dunia politik dan menjadi anggota Volkstraad (Dewan Rakyat) pada masa sidang 1922-1927 dan 1935-1942. Dalam aktivitas Kekristenan, ia menjadi salah satu peserta konferensi Pekabaran Injil Sedunia di Yerusalem pada 1928.
Pendiri Kampus Kristen dan Partai Kristen
Sepulang dari Belanda, pemikiran Gunung Mulia soal politik dan pendidikan makin moncer. Pasca kemerdekaan, ia menghabiskan sebagian waktunya untuk menyusun pertemuan ke pertemuan dengan para pemuda dan mahasiswa Kristen dari Batak di Jakarta. TB Simatupang dalam Percakapan dengan Dr. T.B. Simatupang (1989) bercerita tentang aktivitas komunitas diskusi Pemuda Kristen Batak yang kerap dilaksanakan di Jalan Kebon Sirih 44. Gunung Mulia dan sepupunya, Amir Syarifuddin, adalah dua orang yang cukup aktif dalam kegiatan di sana dan terkenal sebagai tokoh di gereja Kernolong.
Baca:
- Simatupang Mematahkan Mitos
- Pengikut Kristus untuk Kemerdekaan Indonesia
- Minoritas Kristen dalam Kancah Pergerakan Nasional
Setelah tidak lagi menjabat sebagai menteri pengajaran, Gunung Mulia tetap fokus pada dunia pendidikan. Pada 1953 ia bersama sejumlah tokoh Kristen mewujudkan gagasan agar umat kristen memiliki lembaga pendidikan tinggi. Maka, pada 15 Oktober 1953, mereka meresmikan Universitas Kristen Indonesia dengan dua fakultas: Fakultas Sastra dan Filsafat serta Fakultas Ekonomi.
Di masa awal kemerdekaan, Gunung Mulia juga tertarik dengan isu perpolitikan. Ia dan bersama sejumlah tokoh Kristen lain seperti Johannes Leimena menggagas partai Kristen pertama di Indonesia pada 1950. Gunung Mulia yang mengusulkan nama partai: Partai Kristen Indonesia atau disingkat Parkindo.
Kiprah Gunung Mulia dalam bidang politik, pendidikan, dan kekristenan membuat namanya kemudian diabadikan sebagai nama penerbitan Kristen, BPK (Badan Penerbitan Kristen) Gunung Mulia. Gunung Mulia meninggal pada 1966 dalam usia 70 tahun. Sejak itu namanya perlahan dilupakan orang sebagai tokoh Kristen yang pernah menjadi menteri pendidikan kedua di Indonesia.
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam