tirto.id - Masa Pemilu 2019 memberi kenangan buruk bagi Primadoni. Selepas meliput monitoring politik uang bersama Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat, tangan wartawan berusia 38 tahun ini mendadak lemas.
“Balik dari Dharmasraya itu tangan kanan ini agak-agak lemah, tapi masih bisa bawa motor pulang. Besok paginya, lemah kedua kaki ini, tapi masih bisa berjalan. Hari-hari berikutnya tidak bisa berjalan kaki saya. Tidak sanggup berdiri lagi sampai sekarang,” Doni menuturkan apa yang dirasakannya pada Jumat, 12 April 2019.
Akhirnya, ia dibawa ke Rumah Sakit BMC Padang dan dirawat selama 3 hari. Namun, hingga ia diperkenankan pulang dari rumah sakit tersebut, dokter tak berhasil menemukan penyebab kelumpuhan di tangan dan kakinya.
Dokter pun meminta Doni melakukan pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI), tapi penyakitnya tak juga ditemukan. “Karena bersih semua di jaringan saraf otak dan leher. Kemudian minta rujukan ke rumah sakit lanjutannya di RSUP M. Djamil, Padang,” ungkap Doni.
Proses diagnosis itu memakan waktu hingga dua minggu. Doni akhirnya mengetahui penyakit yang hinggap di tubuhnya setelah Wakil Gubernur Sumatera Barat mengunjungi Doni bersama Kepala Dinas Kesehatan.
“Dia rekomendasi, dia bawa dokter dari rumah sakit umum. Di situlah dokter itu menganalisis penyakitnya itu Guillain-Barré Syndrome (GBS),” ujar pria yang bekerja di Covesia ini.
Namun, Doni bercerita bahwa ia tak merasakan gejala apapun dari penyakit itu. “Dokter itu kan banyak tanya dia sebelum menganalisis itu. Enggak ada [gejala apa pun]. Demamnya pun tidak ada, sakit pun tidak ada, tekanan darah normal, gula darah pun normal. Enggak ada itu sebelum-sebelumnya riwayat itu. Tahu-tahu lemah, tanpa tenaga. Enggak bisa bertumpu, bertahan, dan menggenggam,” kata Doni dengan nada heran.
Untuk memulihkan fisiknya, dokter memerintahkan Doni untuk melakukan fisioterapi. Selain itu, dokter juga menyarankan dia meneruskan pengobatan ke RSCM, Jakarta untuk mengetahui jenis dari penyakit GBS yang ia idap. Namun, dokter belum bisa memastikan durasi pemulihannya.
Doni pun menceritakan tentang mahalnya obat dari penyakit ini. Saat dirawat, ia pun diberitahu tentang jenis obat intravena imunoglobulin yang mungkin diberikan pada pasien yang baru saja terserang GBS, tapi obat seharga Rp30 juta itu tak ditanggung BPJS. Padahal, untuk memulihkan penyakitnya, pasien membutuhkan lima kali infus.
“Itu Rp150 juta, fantastis sekali,” ungkapnya.
Apa itu Guillaine-Barré Syndrome?
Seperti dijelaskan dalam situsweb resmi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Guillain-Barré Syndrome (GBS) adalah penyakit yang menyerang sistem kekebalan tubuh dari sistem saraf tepi. Akibatnya, saraf yang mengontrol pergerakan otot dan mengirimkan rasa sakit, suhu dan sensasi sentuhan akan terpengaruh.
Situs resmi Kementerian Kesehatan memaparkan penyakit ini bukanlah penyakit baru karena sudah ditemukan pada 1859. GBS adalah penyakit langka; kasusnya hanya terjadi pada satu dari 100.000 orang di dunia setiap tahunnya.
Dokter Spesialis Saraf, dr. Ahmad Yanuar Safri, Sp.S(K) menyampaikan bahwa penyakit ini bisa disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri yang ada di lingkungan. “Enggak semua orang kalau terinfeksi virus atau bakteri tersebut menjadi Guillain-Barré Syndrome. Hanya orang tertentu saja ya,” ujar Ahmad.
Bakteri penyebab sindrom ini pun tak hanya satu jenis. Namun, menurut Ahmad, yang paling sering dilaporkan adalah bakteri Campylobacter jejuni, bakteri yang menyerang saluran pencernaan dan menimbulkan diare.
“Yang bisa menjadi GBS kita belum tahu sampai sekarang, kenapa ada orang yang [terserang bakteri] bisa menjadi GBS, kenapa yang lain enggak jadi GBS. Bisa jadi faktor dari kumannya, bisa faktor dari tubuh pasiennya. Tapi sampai sekarang kita belum tahu secara rinci prosesnya,” tutur Ahmad.
Ban Mishu Allos dalam studinya yang berjudul “Campylobacter jejuni Infection as A Cause of the Guillain-Barré Syndrome” (PDF) (1998) mengatakan bahwa sindrom Guillain-Barré yang disebabkan oleh infeksi C. jejuni pertama kali terjadi pada 1982.
Artikel yang ditulis Allos itu memperkuat pernyataan Ahmad bahwa kasus GBS terbanyak berasal dari infeksi C. jejuni. Dalam keadaan parah, infeksi ini bisa mengakibatkan cedera aksonal: cedera otak yang bisa mengakibatkan kerusakan sel otak.
Sebelum mengalami kelumpuhan, ada berbagai macam gejala GBS: demam, batuk dan pilek, atau diare. Kelemahan pada saraf pasien itu, menurut Ahmad, terjadi dalam waktu 1 sampai 3 minggu setelah gejala muncul.
Menurut WHO, gejala pertama sindrom GBS adalah melemahnya bagian tubuh dan sensasi kesemutan. Anggota tubuh yang pertama merasakan sakit adalah kaki dan menyebar ke lengan dan wajah. Pada 20 sampai 30 persen pasien, sindrom ini bisa memengaruhi otot-otot dada dan menyebabkan kesulitan bernapas.
Dalam kasus GBS yang dialami Doni, GBS tak membuatnya sampai tak bisa berbicara. Hanya saja, beberapa aktivitas tak bisa dilakukan secara mandiri.
“Kalau untuk gerak harus dibantu, kalau makan harus dibantu disuapin. Badannya kalau digerakin dikit-dikit bisa, tapi kalau dibawa berdiri, duduk sendiri itu enggak bisa. Kalau jalan dipapah atau dibantu karena susah, kakinya enggak bisa melangkah,” ujar Alif Ahmad, Pemimpin Redaksi Covesia.
Meski langka, Guillain-Barré Syndrome bisa disembuhkan. Dokter Ahmad Yanuar Safri mengatakan pemberian obat intravena imunoglobulin untuk pasien GBS harus diberikan secepat mungkin. Selain itu, pasien juga bisa menjalani Therapeutic Plasma Exchange (TPE).
“Karena ini kelainan autoimun, jadi yang diobati adalah sel-sel imun yang salah [terserang GBS] dinetralisir dengan obat intravena imunoglobulin atau dicuci atau dibuang dengan tindakan therapeutic plasma exchange tadi. Nah setelah sel-sel imun yang salah itu dinetralisir atau dibuang, maka sel-sel serabut saraf yang rusak akibat autoimun yang rusak itu akan meregenerasi kembali,” kata Ahmad.
Namun, proses regenerasi dari sel-sel serabut saraf yang rusak itu tidak sebentar; ia bisa memakan waktu 3 hingga 6 bulan.
Kondisi Psikis Penderita GBS
Gangguan saraf yang diderita oleh pasien GBS bisa memengaruhi kehidupan sosial mereka. Begitu bunyi kesimpulan dari riset yang dilakukan oleh Robert A.J.A.M Bernsen, bersama tiga koleganya dalam riset “Long-Term Impact on Work and Private Life After Guillain-Barré Syndrome” (PDF) (2002).
Dalam penelitian yang dipublikasikan pada Journal of the Neurological Science itu, mereka meneliti 122 orang yang pernah mengidap GBS—3 sampai 6 tahun penelitian—dalam waktu 31 sampai 77 bulan setelah fase akut penyakit mereka. Bernsen, dkk. memberikan kuesioner pilihan berganda kepada para pasien untuk membahas berbagai subjek, termasuk kondisi psikososial mereka saat ini.
Para peneliti itu membagi responden dalam tiga kelompok berdasarkan tingkat pekerjaan fisik dan tiga kelompok berdasarkan tingkat tanggung jawab, yakni: ringan, sedang, dan berat. Selain itu, para ilmuwan itu juga memeriksa kondisi neurologis dari pasien dalam waktu 2 bulan setelah menerima kuesioner dengan mengukur kekuatan otot, gejala sensorik, dan pemeriksaan neurologis.
Menurut studi itu, 38 persen pasien yang memiliki pekerjaan harus mengubah aktivitas mereka akibat terserang GBS, 44 persen mengubah aktivitas waktu luang mereka, 37 persen pasien merasa tidak memiliki peran yang baik di rumah seperti sebelum terserang GBS, dan 39 persen di antaranya mengalami perubahan dalam hubungan mereka dengan pasangan.
Perubahan aktivitas yang dialami penderita GBS pun kemudian memengaruhi kondisi psikologis mereka. Hal itulah yang dicatat Weiss H. bersama empat rekannya dalam penelitian “Psychotic Symptoms and Emotional Distress in Patients with Guillain-Barré Syndrome” (PDF) (2002).
Kelima periset itu mengkaji gangguan psikologis terhadap 49 pasien sindrom Guillain-Barré melalui wawancara semi-terstruktur dengan pasien. Mereka juga mengumpulkan keterangan tambahan dari dokter, perawat, serta kerabat pasien.
Hasilnya, 82 persen pasien mengalami kegelisahan dan 67 persen di antaranya mengalami gangguan stres akut dan episode depresi, sedangkan 25 persen dari mereka mengalami psikosis reaktif singkat, dan 14 persen mengalami psikosis oneiroid.
Akibat adanya ancaman gangguan kejiwaan pada pasien GBS ini, WHO berpendapat para penderita harus mendapatkan pemantauan ketat selama masa pemulihannya.
Editor: Maulida Sri Handayani