tirto.id - Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Gubernur Sulawesi Tenggara non-aktif Nur Alam dengan hukuman 18 tahun penjara, dalam sidang pada Kamis (8/3/2018).
"Menjatuhkan pidana kepada terdakwa berupa pidana penjara 18 tahun penjara dan pidana denda Rp1 miliar subsider 1 tahun kurungan," ujar Jaksa KPK Subari di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Jakarta.
Jaksa KPK juga menuntut Nur Alam membayar uang pengganti senilai Rp2,7 miliar. "Menghukum agar terdakwa membayar pengganti Rp2,7 miliar dengan perhitungan harga satu bidang tanah dan bangunan yang terletak di Kompleks Primer Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur yang disita diproses penyidikan," kata Jaksa Subari.
Apabila Nur Alam tidak mampu membayar uang pengganti tersebut dalam waktu 1 bulan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya akan disita oleh jaksa. Apabila terdakwa tidak mempunyai harta yang cukup, maka uang pengganti diganti dengan pidana penjara 1 tahun.
Selain itu, Jaksa KPK menuntut pencabutan hak politik Nur Alam selama 5 tahun setelah selesai menjalani hukuman pidananya.
Jaksa menilai Nur Alam telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut.
Menurut Jaksa Subari, Nur Alam melakukan perbuatan melawan hukum dalam penerbitan SK Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan, Persetujuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi dan SK Persetujuan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi Menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi kepada PT Anugerah Harisma Barakah (AHB). Perusahaan itu melakukan penambangan nikel di Kabupaten Buton dan Bombana, Sulawesi Tenggara.
Jaksa KPK menyebut bahwa Nur Alam terbukti memperkaya dirinya sendiri senilai Rp2,7 miliar terkait dengan penerbitan izin usaha pertambangan di Sulawesi Tenggara tersebut. Selain itu, Jaksa KPK menganggap Nur Alam juga memperkaya korporasi PT Billy Indonesia senilai Rp1,5 miliar. Jaksa juga menyatakan Nur Alam terbukti menerima gratifikasi senilai Rp40,2 miliar.
Dalam tuntutannya, Jaksa KPK menyatakan perbuatan Nur Alam telah merugikan negara senilai Rp4,3 triliun.
Jaksa KPK menyatakan Nur Alam melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 12 b UU Tipikor juncto pasal 64 ayat 1 KUHP, sebagaimana dakwaan alternatif pertama dan dakwaan kedua.
Menurut Jaksa KPK, hal-hal yang memberatkan hukuman Nur Alam adalah karena dia tidak mendukung pemberantasan korupsi, tidak bersikap antikorupsi sebagai kepala daerah dan tidak menyesali perbuatannya. Jaksa juga menilai perbuatan Nur Alam, yang mengakibatkan kerusakan lingkungan di Kabupaten Bombana dan Buton, memperberat hukumannya.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan pengajuan tuntutan untuk Nur Alam sudah berdasarkan fakta persidangan. Dia menegaskan tuntutan untuk Nur Alam sudah proporsional sesuai dengan kesalahannya.
Febri menambahkan Jaksa KPK juga mempertimbangkan dampak korupsi di perkara itu yang memicu kerugian negara dalam nilai besar. "Di kasus ini, ada keterkaitan antara perbuatan dugaan korupsi dan juga efek izin yang dikeluarkan tersebut, terutama untuk lingkungan. Karena itu kerugian negaranya cukup besar," kata Febri.
Febri menambahkan KPK berharap hakim memperhatikan masa hukuman, uang pengganti, dan hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik dalam tuntutan itu. Menurut dia, hukuman pencabutan hak politik penting agar Nur Alam tidak mudah kembali menjadi pejabat publik.
Selain itu, menurut Febri, KPK berharap tuntutan itu bisa memberikan efek jera terhadap pejabat negara yang terlibat korupsi.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Addi M Idhom