Menuju konten utama
Profil Ilmuwan Muslim

Biografi Ibnu Haitham: Kisah Bapak Ilmu Optik & Penemu Apa?

Berikut ini biografi ilmuwan muslim, Ibnu Haitham sang penemu

Biografi Ibnu Haitham: Kisah Bapak Ilmu Optik & Penemu Apa?
Ilustrasi Ibn Al-Haytam. FOTO/Istimewa

tirto.id - Ibnu Haitham adalah salah satu ilmuwan muslim yang terkenal dengan kecerdasannya dalam ilmu optik. Sosoknya berkontribusi besar terhadap perkembangan kajian cahaya dan penglihatan. Berikut ini biografi Ibnu Haitham yang dikenal sebagai Bapak Optik Modern, serta ilmuwan cemerlang di masa Kejayaan Islam (the Islamic golden age).

Ibnu Haitham disebut sebagai peletak dasar metode kamar gelap atau Albeit Almuzlim yang lebih dikenal dengan kamera obscura. Pengetahuan itu menjadi dasar fotografi modern kontemporer.

Karena kontribusinya itulah, Ibnu Haitham dikenal sebagai Bapak Optik Modern. Sebagai ilmuwan, Ibnu Haitham memiliki nama lain yang dikenal oleh dunia Barat, yakni Al-Hazen, Avennathan, dan Avenetan.

George Sarton (1931:721) menyatakan bahwa Ibnu Haitham adalah ahli fisika muslim dan sarjana di bidang optik terbesar sepanjang masa: “the greatest Muslim physicist and one of the greatest students of optics of all times'. Pernyataan itu juga dikukuhkan oleh banyak sarjana lainnya [tidak hanya George Sarton]," (Lindberg, 1976:58; Hogendijk dan Sabra, 2003:89-90; Adamson, 2006:207).

Biografi Singkat Ibnu Al-Haitham & Penemuan Optik di Penjara

Ibnu Haitham lahir di Basra (kini Irak) pada 965 M dan dibesarkan di Basrah dan Baghdad, dua kota yang menjadi pusat ilmu pengetahuan Abbasiyah pada masa itu. Ia memulai pendidikan awalnya di Basrah, sebelum kemudian dilantik menjadi pegawai pemerintah di kota kelahirannya.

Beberapa saat usai mengabdi untuk pemerintah, Ibnu Haitham memutuskan merantau ke Ahwaz dan Baghdad. Selama merantau, ia melanjutkan pengkajian dan aktif dalam dunia tulis-menulis.

Kecenderungannya condong pada pembelajaran bidang ilmu agama maupun umum sekaligus, sampai dengan ilmu matematika, fisika, astronomi, kedokteran, filsafat, mantik dan lain-lain lagi.

Kecerdasan Ibnu Haitham membuatnya dikenal luas oleh masyarakat sebagai cendekiawan sains. Bahkan, Khalifah Al-Hakim bin Amirillah (386-411 H / 996-1021 M) dari Dinasti Fathimiyah mengundang Ibnu Haitham ke Mesir. Saat itu, perjalanan darat dari Bagdad ke Mesir sangat sukar ditempuh, tak seperti sekarang.

Sesampainya Ibnu Haitham di Mesir, pemerintah Dinasti Fathimiyah berharap ia bersedia menerapkan ilmunya guna mengatasi banjir sungai Nil yang kerap kali melanda negeri itu setiap tahunnya.

Akan tetapi, harapan tersebut belum dapat diwujudkan karena kurangnya peralatan dan teknologi pada masa itu. Lantaran belum dapat mewujudkan harapan pemerintah, Ibnu Haitham meninggalkan pekerjaan itu dengan berpura-pura hilang ingatan untuk melindungi dirinya dari kemurkaan pemerintah.

Kendati demikian, ia tetap dihukum penjara. Itulah di penjara, ia kemudian terinspirasi mengenai inovasi penting ketika berada di sebuah kamar gelap. Temuan Albeit Almuzlim atau metode kamar gelap itulah yang menjadi dasar ilmu optik modern hingga sekarang.

Pada 1021, saat Sultan Al-Hakim bin Amirillah wafat, Ibnu Al Haitham dibebaskan dari penjara dan kembali aktif dalam berbagai kegiatan akademis. Ia mengabdikan diri di Universitas Al-Azhar, Kairo dan terus menyambung penelitian ilmiahnya dalam bidang optik.

Untuk mendalami bidangnya, Ibnu Haitham kemudian pergi ke Andalusia (Spanyol), kiblat ilmu pengetahuan Eropa pada masa itu untuk mempelajari optik sampai namanya menjadi terkenal dalam bidang tersebut.

Di sisi lain, Ibnu Haitham juga menerjemahkan buku-buku matematika dan falak ke bahasa Arab, terutama dari bahasa Latin.

Pada tahun terakhir menjelang wafatnya, beliau kembali ke Kaherah (Mesir). Ibnu Al Haitham wafat di Kaherah pada tahun 1039 M ketika berusia 74 tahun.

Pemikiran dan Karya Ibnu Haitham

Pemikiran Ibnu Haitham yang paling populer berkaitan dengan penemuannya di bidang optik. Sebenarnya, dasar tentang optik telah ada sejak zaman keemasan pemikiran Yunani. Kendati demikian, Al-Haitham melakukan telaah kritis terhadap karya-karya pemikir Yunani terdahulu seperti teori Ptolemy dan Euclid.

Teori pemikir Yunani tersebut menyatakan bahwa manusia melihat benda melalui pancaran cahaya yang keluar dari matanya. Namun, menurut Al-Haitham, bukan mata yang memberikan cahaya, tetapi benda yang memantulkan cahaya menuju mata hingga terjadi penglihatan, sebagaimana teori-teori cahaya dan penglihatan yang dipelajari di sekolah menengah saat ini.

Salah satu karya tersohornya berjudul Book of Optics (1021) atau Kitab Al-Manaazir atau De Aspectibus. Kitab ini telah diterjemahkan dalam bahasa latin serta menjadi rujukan para ilmuwan setelahnya. Pemikiran Al-Haitham banyak memengaruhi para pemikir Barat masa pencerahan seperti Roger Bacon, René Descartes, Christian Huygens, Johannes Kepler, Leonardo da Vinci dan lainnya.

Pemikiran dan karya Al-Haitham hingga saat ini masih relevan untuk perkembangan ilmu optik. Bahkan Harvard Magazine edisi September-Oktober 2003 menyampaikan apa yang pernah diucapkan oleh Ibnu Haitham: "Jika tujuan akhir seseorang belajar adalah mencapai kebenaran, ia harus membuat dirinya sebagai musuh dari apa yang semua telah dibacanya."

Apresiasi atas kontribusi pemikiran dan karya Al-Haitham terus mengalir. UNESCO meluncurkan sebuah kampanye pentingnya sains bidang cahaya pada 19 Januari 2015. Nama programnya, yakni "1001 Inventions and the World of Ibn Al-Haitham". Selain itu, namanya diabadikan untuk sebuah kawah di bulan “The Crater Al-Hazen” dan untuk nama asteroid 59239 Alhazen demi mengenang kontribusi penting Ibnu Haitham di bidang optik.

Baca juga artikel terkait PROFIL ILMUWAN MUSLIM atau tulisan lainnya dari Nurul Azizah

tirto.id - Humaniora
Kontributor: Nurul Azizah
Penulis: Nurul Azizah
Editor: Abdul Hadi