tirto.id - Gabungan Pengusaha Farmasi mengeluhkan tingginya ongkos produksi obat-obatan yang menyebabkan harga jual ikut terkerek. Tingginya biaya ini disebabkan berbagai komponen biaya mulai dari bahan baku sampai logistik yang naik signifikan.
Ketua Umum GP Farmasi F. Tirto Koesnadi mengatakan, beban biaya bahan baku industri farmasi saat ini sudah naik sampai 3-4 kali lipat. Di sisi lain sebagian besar bahan baku obat berasal dari impor.
“Betul sekali telah kita merasakan harga obat meningkat di pasaran karena bahan kita impor (harga) naik dan ongkos angkut freight naik tidak ketulungan 3-4 kali lipat,” ucapnya dalam rapat dengar pendapat virtual Komisi VI DPR RI, Senin (27/4/2020).
Tirto menyatakan tingginya biaya distribusi ini disebabkan karena sulitnya mencari angkutan transportasi obat-obatan. Ia bilang di tengah COVID-19 operasional maskapai dan kapal laut berkurang sehingga mereka kesulitan mencari alat angkut. Bahkan berebut dengan pelaku industri lain.
Ia mencontohkan biaya angkut dari Singapura ke Jakarta naik signifikan dari 1.000 dolar AS menjadi 4-5 ribu dolar AS.
“Banyak penerbangan grounded tidak boleh terbang. Berebut angkutan jadi maskapai penerbangan, perkapalan menaikkan harga suka-suka mereka,” ucap Tirto.
Direktur Eksekutif GP Farmasi Dorodjatun Sanusi mengatakan gara-gara kesulitan ini mereka semakin terbebani dalam mendistribusikan obat ke wilayah Timur. Ia bilang ongkos angkut ke Timur lebih mahal dari biaya produksinya.
Di sisi lain, mereka juga kesulitan karena saat ini kurs dolar AS juga bergerak menguat jauh terhadap rupiah. Ia bilang kondisi ini praktis bakal semakin mempersulit kerja industri farmasi.
“Dolar (perlu) ditahan pada tingkat tertentu biar tidak terjadi penguatan terhadap rupiah. Ini umum basis tapi strategis,” ucap Dorodjatun dalam rapat dengar pendapat virtual Komisi VI DPR RI, Senin (27/4/2020).
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Hendra Friana