Menuju konten utama

Gotong Royong Membangun Rumah Idaman dengan Cohousing

Cohousing jadi alternatif bagi mereka yang ingin memiliki rumah dengan harga miring dan bebas berkreasi. Tanpa campur tangan pengembang untuk mendapatkan rumah, beberapa orang bisa mewujudkan mimpinya demi urusan papan idaman. Akankah konsep ini bisa berkembang di Indonesia?

Gotong Royong Membangun Rumah Idaman dengan Cohousing
Ilustrasi pembangunan perumahan. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra.

tirto.id - Tembok berplester sonder cat itu tiba-tiba terbuka dan muncul sosok anak muda lengkap dengan helm di kepala yang siap bergegas ke luar rumah. Sepintas tak ada yang menyangka guratan tembok persegi panjang itu ternyata sebuah pintu yang sengaja disamarkan oleh si empunya. Adalah Mande Austriono si pemilik sekaligus pembuat hunian unik berukuran 60 meter persegi berlantai dua itu.

Rumah Mande merupakan bagian dari sembilan unit di sebuah kluster mungil di Jalan Baiturrahim, Bintaro, Tangerang Selatan, Banten. Selain tembok dengan “pintu rahasia”, tak ada yang istimewa dari kluster di rumah Mande, yang sebagian bangunan masih tahap penyelesaian akhir. Kluster yang diberi nama DFhousing itu terbangun dari sebuah konsep yang kini dikenal dengan cohousing atau collaborative housing, ada juga yang menyebutnya bofællesskaber yaitu kolaborasi hunian oleh suatu komunitas yang membangun hunian mereka minus pengembang properti, istilahnya dari mereka untuk mereka.

Cohousing memang konsep relatif baru di Indonesia. Namun, konsep ini sudah marak di Eropa maupun Amerika. Kemunculan cohousing di dunia berawal di Denmark pada era 1960-an, dan berkembang ke berbagai negara. Di Indonesia sempat lahir komunitas cohousing antara lain Komunitas Rumah Bersama pada 2009, dan DFhousing yang muncul 2014 lalu. Konsep ini muncul sebagai antitesis dari harga rumah yang terus naik digoreng oleh pengembang.

Keuntungan

Konsep ini jadi sarana bagi orang-orang yang berminat terhadap sebuah lokasi yang sama, lalu membangun hunian secara bersama-sama sesuai selera. Kegiatan perencanaan pembangunan hingga pembiayaan, dan pembangunan fasum dan fasos dilakukan melalui proses musyawarah dengan para calon penghuni. Dfhousing yang dikembangkan oleh Mande melalui web khusus yang sampai saat ini sudah ada 700 orang peminat yang mendaftar.

“Bagaimana mengumpulkan orang-orang hingga rumah sudah jadi, sebuah perjuangan yang luar biasa, banyak hal di balik itu,” kata Mande yang merupakan seorang arsitek ini kepada tirto.id di kediamannya, Jumat (25/11/2016).

Dengan konsep cohousing, seseorang sangat mungkin memperoleh harga rumah jauh dari harga pasar di sekitarnya. Ini karena tak ada campur tangan pengembang. Ambil contoh, pada 2014 saat Mande membangun rumahnya dengan skema KPR, biayanya sekitar Rp600-750 juta per unit, sudah termasuk total hamparan lahan parkir kendaraan untuk delapan penghuni lain di klusternya. Padahal harga rumah di lokasi sekitar dengan spek yang sama sudah mencapai Rp1,2 miliar per unit.

Cohousing bisa memberikan penghematan harga bila dibandingkan membeli rumah dari pengembang yang memperhitungkan margin, biaya promosi, biaya tetek bengek lainnya atau risiko yang dibebankan ke konsumen yang membuat harga rumah bisa menggelembung.

“Sebagai yang pernah kerja di pengembang, saya tahu bagaimana modal pengembang yang Rp300 juta bisa menjual rumah Rp1 miliar,” katanya.

Peserta cohousing bebas mendesain rumahnya tanpa menerima begitu saja desain standar bila membeli rumah dari pengembang. Peserta bisa menentukan ukuran ruangan mana yang menjadi prioritas, seorang yang gemar masak tentu akan mendesain dapurnya lebih luas, atau yang gemar mengoleksi buku akan menyisakan perpustakaan dari rumah yang dibangunnya. Segala kelebihan ini tentunya digapai tak mudah.

Infografik Urunan Membeli Rumah Idaman

Tantangan

Konsep cohousing memang bisa memberikan kebebasan berkreasi bagi para calon penghuni rumah dan sebuah hasil harga rumah yang lebih terjangkau dari pasaran. Namun cohousing bukan tanpa kendala, selain tantangan untuk mengumpulkan orang-orang yang punya minat sama, konsep ini juga harus membutuhkan uang muka sekitar 30 persen layaknya seseorang yang mengambil KPR dari pengembang konvensional.

Menemukan orang-orang yang punya minat dan komitmen yang sama juga belum cukup. Dukungan pembiayaan dari perbankan juga jadi tantangan. Perbankan di Indonesia belum familiar untuk membiayai KPR dengan skema rumah yang dikembangkan dengan cara urunan atau crowdfunding ini. Setelah uang bank cair, tantangan lebih besar siap menghadang. Pemilihan kontraktor bangunan, biaya konstruksi, desain bangunan, fasilitas kluster, dan segala aspek teknis lainnya butuh dimusyawarahkan bersama. Di sini lah, komitmen para calon penghuni diuji, termasuk dalam meredam risiko konflik atau perbedaan pandangan sesama calon penghuni.

Cohousing yang dianggap memberikan harga rumah yang miring tak luput dari incaran para spekulan properti atau investor properti. Namun, cohousing yang memang berakar dari semangat membangun komunitas bersama, tentu akan sangat “mengganggu” bagi mereka yang membangun cohousing bukan untuk ditempati langsung. Kesiapan mental untuk sering musyawarah dan sering berkumpul, hanya untuk membahas satu demi satu persoalan dari yang kecil sampai yang besar bukan pekerjaan yang ringan dan butuh kesabaran. Berdasarkan pengakuan Mande, tipe peminat cohousing yang motifnya hanya untuk berspekulasi akan mundur secara teratur.

Cohousing ini sebenarnya buat kelas menengah ngehe, yang punya duit ngepas, biaya membeli rumah yang besar jadi bisa ditekan, tapi diganti dengan effort yang dikeluarkan lebih besar, harus sering musyawarah,” kata Mande.

Cohousing masih mencari bentuk di Indonesia. Salah satu tantangan awal bagi mereka yang mengembangkan cohousing adalah menanggalkan ego masing-masing untuk mengembangkan hunian bersama. Persoalan lain, para pegiat cohousing juga harus berhadapan dengan mencari lahan yang tak mudah dan murah apalagi di Jakarta atau sekitarnya yang tak terbebas dari spekulan tanah. Sehingga konsep ini dianggap tak sepenuhnya menyelesaikan masalah soal perumahan.

Cohousing muncul karena public housing oleh pemerintah tak berjalan. Bagaimana pun cohousing ada motif bisnis juga,” kata Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda kepada tirto.id.

Konsep cohousing yang dikembangkan Mande memang tak terlepas dari profesinya sebagai arsitek. Sebagai fasilitator cohousing, Mande setidaknya bisa menyediakan jasanya untuk masing-masing unit hunian yang dikembangkan, tapi aspek sosial baginya lebih utama.

“Semi sosial, kalau saya motifnya cari keuntungan mendingan jadi developer,” kilahnya.

Sebagai sebuah alternatif untuk mendapatkan rumah idaman, cohousing masih menyisakan pekerjaan seperti regulasi, dukungan pembiayaan, para pegiat yang perlu komitmen tinggi. Namun, kehadiran cohousing ini diharapkan bisa berkembang di masa depan.

“Saya ingin ini diduplikasi orang. Saya yakin ini berkembang walaupun secara lambat,” kata Mande.

Baca juga artikel terkait PERUMAHAN atau tulisan lainnya dari Suhendra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Suhendra
Penulis: Suhendra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti