tirto.id - Medio November 2018, Presiden Amerika Serikat Donald Trump sempat melontarkan pernyataan kontroversial agar harga minyak dunia ditekan semurah-murahnya. Ucapan ini lantas direspons negatif oleh OPEC sebagai organisasi yang mewadahi negara-negara produsen minyak.
Harapan Trump agar harga minyak bisa jinak memang kesampaian. Minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) misalnya, sejak November sudah mengalami penurunan dan menjauhi level psikologis $50 per barel jelang tutup tahun 2018. Per 24 Desember, harga minyak jenis ini diperdagangkan di kisaran $42,53 per barel atau turun 6,71 persen setara $3,06 per barel dibanding perdagangan pada 21 Desember 2018.
Harga minyak jenis Brent juga berada dalam tren penurunan dan diperdagangkan pada kisaran $50,47 per barel pada 24 Desember 2018. Harga itu tergerus 6,22 persen setara $3,35 per barel dibanding pada 21 Desember 2018 yang mencapai $53,82 per barel. Namun, pada 27 Desember harga minyak Brent sempat naik lagi ke posisi $54,47 per barel.
Sepanjang 2018, harga minyak dunia dalam tren naik turun merespons berbagai sentimen yang terjadi di dunia. Namun, di akhir tahun ini dalam tren menurun. Bagaimana dengan kondisi harga minyak pada 2019?
Harga Minyak Bakal Masih Naik-Turun
US Energy Information Administration (EIA) memproyeksikan harga rata-rata minyak Brent 2018 dan 2019 tak terpaut berbeda, masing-masing $72 dan $73 per barel. Artinya kondisi harga minyak tahun depan masih akan berpotensi berfluktuasi seperti tahun ini.
Organisasi Negara Pengekspor Minyak alias Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) dalam paparannya menyebut setidaknya ada beberapa penyebab fluktuasi harga minyak dunia pada 2019.
Pertama, meningkatnya produksi minyak dan bahan bakar alternatif di AS. Biro Administrasi Informasi Energi atau US Energy Information Administration (EIA) memperkirakan produksi bahan bakar AS rata-rata mencapai 11,5 juta barel per hari pada November 2018. Angka itu mengalahkan rekor produksi AS sebelumnya yang sebesar 9,6 juta barel per hari pada tahun 1970.
Perkiraan tersebut juga mengalahkan rata-rata produksi minyak AS sebesar 9,4 juta barel per hari pada 2017, dan 10,9 juta barel per hari pada 2018. Rata-rata produksi minyak AS akan naik ke rekor 12,1 juta barel per hari sepanjang 2019. Produksi dari Texas Barat akan meningkat 2 juta barel per hari. Perusahaan AS telah mengebor 114.000 sumur,. Banyak di antaranya dapat meraup untung sampai dengan $30 per barel lantaran rendahnya biaya produksi minyak serpih.
AS menjadi produsen sekaligus eksportir minyak mentah dengan capaian 15,68 juta barel per hari pada 2017. Jumlah cadangan minyak AS juga naik sampai dengan 1,09 juta barel selama empat minggu belakangan. Hal ini turut membuat harga minyak landai.
Jenis Brent, misalnya, rata-rata akan berada di level $61 per barel sepanjang 2019, sedangkan harga jenis WTI akan lebih rendah $7 per barel secara rata-rata pada tahun depan setara $54,19 per barel.
Kelompok tiga negara penghasil minyak terbesar dunia adalah Rusia, Arab Saudi, dan AS yang total produksinya mencapai 40 persen dari total produksi global. Hasil produksi minyak mentah Rusia juga meningkat mencapai 11,4 juta barel per hari, hampir 0,5 juta barel lebih banyak dibanding hasil produksi 2017. Pasokan minyak dari produksi tiga negara itu, mengimbangi penurunan produksi minyak Iran dan Venezuela.
Pada saat bersamaan, sumur-sumur minyak besar di negara Timur Tengah mulai berproduksi dalam jumlah besar. Terlepas dari harga minyak yang rendah, para produsen sekaligus pengekspor minyak tentu tidak dapat menghentikan produksi. Akibatnya, perusahaan minyak tradisional besar berhenti mengeksplorasi cadangan baru.
Kedua, fluktuasi harga minyak adalah belum tercapainya kesepakatan soal pemangkasan produksi oleh negara-negara OPEC. Secara historis memang ada beberapa kesepakatan. Pada 30 November 2016, tercapai kesepakatan pemangkasan jumlah produksi sebesar 1,2 juta barel per hari mulai Januari 2017. Harga minyak terdongkrak tepat setelah pengumuman. Meski dipangkas menjadi 32,5 juta barel per hari, tapi angka itu masih lebih tinggi ketimbang rata-rata produksi 2015 yang sebesar 32,32 juta barel per hari.
November 2017, OPEC kembali setuju untuk mempertahankan pengurangan produksi hingga 2018. Namun, Arab Saudi selaku kontributor terbesar OPEC bersedia menjual minyak mentah dengan harga lebih rendah dari target $70 per barel. Dengan begitu, OPEC tetap mempertahankan target produksi di angka 30 juta barel per hari.
Pada pertemuan yang digelar pada 7 Desember lalu, OPEC sepakat untuk mengurangi produksi minyak sampai dengan 1,2 juta barel per hari sejak Januari 2019 sampai pertengahan tahun 2019. Kesepakatan rencana penurunan produksi yang bertujuan mengangka harga minyak.
Namun, di lapangan, harga minyak jenis Brent untuk pengiriman Februari 2019 misalnya, turun sebanyak $2,60 menjadi $54,64 per barel di ICE Futures Europe exchange London. Periode yang sama, minyak jenis WTI terpangkas $1,38 menjadi $45,82 per barel di New York Mercantile Exchange.
Analis memperkirakan dibutuhkan pemangkasan jumlah produksi minyak mentah negara-negara OPEC sampai dengan dua kali lipat pada kuartal IV-2019 agar angka penawaran dan permintaan tetap terjaga. Sebab, masih ada kekhawatiran dari investor global bahwa The Fed belum selesai menaikkan suku bunga.
“Pelaku pasar ingin menerima sinyal yang lebih pasti bahwa The Fed selesai menaikkan suku bunga, sayangnya mereka gagal memenuhi harapan investor. Pelaku pasar terus berjuang dengan ketidakpastian atas kelebihan pasokan dan melambatnya pertumbuhan,” kata Kim Kwangrae, analis komoditas di Samsung Futures Inc., Seoul, sebagaimana dilansir Bloomberg.
Kenaikan suku bunga federal oleh Bank Sentral AS The Federal Reserve (The Fed) sebesar 0,25 persen atau 25 basis poin ke kisaran 2,25-2,5 persen, ditengarai sebagai salah satu pemicu bergolaknya harga minyak. Investor global khawatir dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi AS yang akan berdampak pada ekonomi dunia.
Hal ini mengakibatkan terpuruknya nilai tukar mata uang negara-negara di dunia. Transaksi impor minyak menjadi lebih mahal ketimbang target awal. Di satu sisi, situasi ini menguntungkan bagi negara-negara pengekspor minyak. Di sisi lain, dengan ketidakpastian kondisi ekonomi, ekspor minyak dipastikan berkurang lantaran berkurangnya permintaan. Dengan begitu, impor minyak di berbagai negara juga mengalami penurunan.
Badan Energi Internasional (International Energy Agency/IEA) memperkirakan penurunan permintaan di negara-negara non anggota OECD sebesar 165.000 barel per hari. Penurunan permintaan diperkirakan datang dari India, Brazil dan juga Argentina lantaran perlambatan pertumbuhan ekonomi.
IEA juga memperkirakan permintaan minyak pada 2019 akan stagnan di posisi 1,4 juta barel per hari. Angka itu tidak berubah dengan permintaan minyak mentah tahun ini yang mencapai 1,3 juta barel per hari. Dalam laporannya, IEA pun menyebut permintaan minyak pada 2019 akan menyusut menjadi 285.000 barel per hari dari sebelumnya yang sebesar 355.000 barel per hari sepanjang 2018 ini.
Penurunan permintaan disebabkan oleh perang dagang yang melibatkan Cina. Sebagai salah satu negara produsen sekaligus konsumen terbesar minyak di dunia, Cina menurunkan permintaan. Cina yang mengonsumsi 12 persen dari produksi minyak global akan menurunkan konsumsi minyak sebagai bagian dari siasat mengatasi perang dagang yang terus berlanjut.
Editor: Suhendra