tirto.id - Gereja-gereja dunia "buka suara" soal kebijakan Donald Trump yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan berencana memindahkan Kedutaan Besarnya dari Tel Aviv ke sana. Baik Vatikan, Anglikan, maupun Ortodoks sepakat kebijakan itu keliru.
Paus Fransiskus, pemimpin Gereja Katolik sekaligus kepala negara Vatikan, meminta Presiden Amerika Serikat (AS) itu menghormati status quo Yerusalem sebagaimana yang disepakati dalam Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dalam Resolusi PBB 478 tahun 1980, PBB menyerukan agar seluruh negara menarik perwakilan diplomatiknya dari kota suci tersebut.
"Saya ingin memberi teguran tulus atas komitmen setiap orang untuk menghormati status quo kota [Yerusalem], sesuai dengan Resolusi PBB yang bersangkutan," kata Paus, di Paul VI Hall, dalam acara mingguan General Audience, seperti dikutip Vatican Radio.
Yerusalem, kata Paus, adalah "kota yang kudus baik bagi Yahudi, Kristen, dan Muslim." Oleh karenanya, dibutuhkan "kebijaksanaan" dan "kehati-hatian" agar bisa mencegah ketegangan baru. Paus jelas mengkritik Trump dalam pernyataannya ini.
Dalam kesempatan yang sama, Paus juga mendoakan agar rakyat Palestina dapat merasakan "kedamaian dan kemakmuran."
Sikap yang sama ditunjukkan Justin Welby, Uskup Agung Canterbury. Pimpinan simbolik Komuni Anglikan sedunia, dalam laman Facebook resminya mengatakan bahwa status quo Yerusalem adalah salah satu dari sedikit "elemen stabil" untuk menjaga perdamaian dan rekonsiliasi Kristiani, Yahudi, dan Muslim. Langkah Trump, katanya, akan "meningkatkan kebencian, kekerasan, dan penderitaan di Yerusalem. Membuat kami semakin jauh dari tujuan persatuan dan lebih dalam."
Kritik tersebut jadi pernyataan bersama 13 pimpinan Gereja di seluruh dunia, dimana
Uskup Agung Anglikan di Yerusalem, Suheil Dawani, tergabung di dalamnya. Selain itu, bergabung juga Patriark—gelar bagi uskup tertinggi dalam Gereja Ortodoks.
Dilaporkan Anglican Communion, pimpinan Gereja ini menyarankan dan memohon secara serius agar AS mengakui status internasional Yerusalem saat ini. "Setiap perubahan mendadak akan menyebabkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki," tulis pernyataan resmi mereka.
Pernyataan tersebut juga menyebut bahwa orang Israel dan Palestina hanya dapat menegosiasikan perdamaian yang berkelanjutan dan adil sepanjang mendapat dukungan kuat. "Kota suci dapat dibagi dan dinikmati sepenuhnya begitu proses politik membantu membebaskan hati semua orang yang hidup di dalamnya dari kondisi konflik dan kerusakan yang mereka alami."
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Dewan Gereja Dunia Olav Fykse Tveit mengatakan bahwa AS harusnya memainkan peran penting dalam mendorong perundingan yang konstruktif, bukan malah memperkeruh suasana.
"Keputusan mengenai status Yerusalem hanya akan menyebabkan kekecewaan, meningkatkan ketegangan, dan mengurangi harapan," kata Tveit.
Meski banyak tentangan, Trump bergeming. Ia justru menganggap apa yang dilakukannya adalah "pendekatan baru" dalam menghadapi konflik Palestina-Israel yang telah terjadi sejak puluhan tahun lalu.
"Keputusan ini tidak dimaksudkan, dalam cara apapun, untuk mencerminkan hilangnya komitmen kuat kami untuk memfasilitasi sebuah kesepakatan damai yang abadi. Kami menginginkan kesepakatan yang sangat baik bagi Israel dan juga untuk rakyat Palestina," kata Trump.
Penulis: Rio Apinino
Editor: Maulida Sri Handayani