Menuju konten utama

Trump Nekat Mengakui Yerusalem sebagai Ibukota Israel

Pada 1995, Kongres AS mengesahkan undang-undang pemindahan Kedubes dari Tel Aviv ke Yerusalem, tetapi baru Trump yang berani merealisasikan.

Trump Nekat Mengakui Yerusalem sebagai Ibukota Israel
Polisi Israel mengawal Yehuda Glick, anggota Knesset, parlemen Israel, saat mengunjungi halaman Kubah Sakhrah bagi Muslim dan Bait Allah bagi Yahudi, di Kota Tua Yerusalem, Selasa (29/8/2017). Kubah Batu menjadi latar belakang. ANTARA FOTO/REUTERS/Ammar Awad

tirto.id - Presiden Amerika Serikat Donald Trump secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel. Pada saat yang sama, Trump juga memerintahkan dimulainya pemindahan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke kota bersejarah tersebut. Dua hal itu disampaikan Trump pada Rabu (6/12/2017) waktu AS atau Kamis (7/12/2017) WIB.

"Saya telah menetapkan bahwa sekarang saatnya untuk secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Setelah lebih dari dua dekade penundaan, kita tidak lagi mendekati kesepakatan damai antara Israel dan Palestina." kata Trump dari Ruang Penerimaan Diplomatik Gedung Putih sebagaimana dikutip CNN.

“Saya juga mengarahkan Departeman Luar Negeri untuk memulai persiapan untuk memindahkan kedutaan Amerika dari Tel Aviv ke Yerusalem.”

Meski sejumlah petinggi negara hingga elemen masyarakat di banyak negara menilai langkah ini akan menjadi bibit bagi konflik baru di Timur Tengah, Trump beranggapan sebaliknya.

Ia berketetapan bahwa kebijakan ini adalah bagian dari pendekatan baru terhadap konflik Israel-Palestina yang telah terjadi sejak puluhan tahun yang lalu, dan AS masih berkomitmen terhadap perdamaian di wilayah tersebut.

"Keputusan ini tidak dimaksudkan, dalam cara apapun, untuk mencerminkan hilangnya komitmen kuat kami untuk memfasilitasi sebuah kesepakatan damai yang abadi. Kami menginginkan kesepakatan yang sangat baik bagi Israel dan juga untuk rakyat Palestina," katanya.

Amerika Serikat adalah negara sahabat terpenting Israel dan kondisi ini sudah bukan rahasia lagi. Pejabat Israel punya lobi yang luar biasa kuat di Gedung Putih sehingga kebijakan-kebijakan yang tercipta bisa menguntungkan negaranya.

Dalam catatan CNN, kebijakan Amerika Serikat sebenarnya sama seperti negara lain, yakni menempatkan kantor kedutaannya di Tel Aviv sebagai ibukota de jure Israel—bukan Yerusalem. Titik baliknya bermula pada 1989 saat Israel mulai menyewa tanah di Yerusalem untuk kedutaan AS yang baru. Sampai hari ini proyek ini belum dikembangkan, dan tanahnya masih melompong.

Sebagai tindak lanjut dari isu tersebut, pada 1995, Kongres AS mengesahkan undang-undang agar pemerintah mesti memulai pendanaan dan pemindahan kedutaan besar negara dari Tel Aviv ke Yerusalem, paling lambat 31 Mei 1999. Meski demikian, UU tersebut tak pernah direalisasikan sepanjang era kepresidenan Bill Clinton, George W. Bush, hingga Barrack Obama.

Clinton maupun Bush pada saat kampanye menyampaikan akan merealisasikan UU tersebut. Namun saat sudah menjabat sebagai presiden, keduanya [dan Obama] memilih untuk menundanya secara berkala.

Pertimbangan utamanya, menurut mereka, adalah dampak yang akan dihasilkan akan buruk bagi keamanan nasional AS maupun kestabilan Timur Tengah. Mereka ingin menghindari konflik baru. Maka tiap enam bulan mereka menggunakan hak penolakannya dengan menandatangani surat khusus.

Status terakhir Yerusalem selalu menjadi salah satu pertanyaan paling sulit dan sensitif dalam konflik Israel-Palestina yang sudah berlangsung sejak akhir 1940-an. Jika AS menyatakan Yerusalem sebagai ibu kota Israel, hal ini akan dianggap sebagai keputusan sepihak, padahal isu ini seharusnya diserahkan ke perundingan. Selain itu, manuver AS juga dianggap melanggar konsensus internasional mengenai masa depan kota suci tersebut.

Para pemimpin Arab sebelumnya telah memperingatkan agar AS tidak memindahkan kedutaan besarnya di Israel ke Yerusalem. Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud mengatakan kepada Trump bahwa relokasi kedutaan atau pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel "akan merupakan provokasi mencolok umat Islam, di seluruh dunia."

Pemimpin Palestina Mahmoud Abbas memperingatkan tentang "konsekuensi berbahaya keputusan [pemindahan] itu terhadap proses perdamaian, keamanan, serta stabilitas kawasan dan dunia". Sementara itu, Raja Yordania Abdullah mengatakan bahwa keputusan tersebut akan "melemahkan upaya untuk melanjutkan proses perdamaian" dan "memprovokasi umat Islam".

Presiden Mesir Abdul Fattah al-Sisi mendesak Trump "untuk tidak memperumit situasi di wilayah ini". Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan memperingatkan negaranya dapat memutuskan hubungan dengan Israel jika AS mengakui Yerusalem sebagai ibu kotanya, demikian sebagaimana diwartakan BBC News.

Baca juga artikel terkait KONFLIK ISRAEL PALESTINA atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Politik
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Zen RS