tirto.id - Presiden Palestina Mahmoud Abbas tengah berusaha mengumpulkan dukungan diplomatik menit-menit terakhir untuk membujuk Presiden AS Donald Trump agar tidak mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel. Langkah ini dilakukan di tengah spekulasi yang terus berlanjut bahwa Trump dapat melakukannya dalam sebuah pidato minggu ini.
Petunjuk bahwa Trump bisa secara sepihak mengakui Yerusalem – yang juga diklaim orang Palestina sebagai ibu kota negara mereka di masa depan – telah beredar dalam beberapa hari ini. Ini muncul karena Presiden AS itu mempertimbangkan untuk memperbarui undang-undang pembebasan enam bulanan yang mengamanatkan transfer kedutaan AS dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Mengutip The Guardian, Minggu (3/12/2017) batas waktu Trump untuk menandatangani pembebasan itu jatuh pada Senin di tengah klaim bahwa dia masih belum memutuskan apa yang harus dilakukan. Penasihat Trump, Jared Kushner mengatakan bahwa presiden "masih melihat banyak fakta" terkait hal itu.
Menurut seorang juru bicara, Abbas mengadakan serangkaian panggilan telepon pada Minggu dengan para pemimpin dunia untuk "menjelaskan bahaya dari keputusan memindahkan kedutaan ke Yerusalem atau mengakui [Yerusalem] sebagai ibu kota Israel."
"Langkah Amerika yang terkait dengan pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel, atau memindahkan kedutaan AS ke Yerusalem, merupakan ancaman bagi masa depan proses perdamaian dan tidak dapat diterima oleh orang-orang Palestina, Arab, dan internasional," kata Abbas kepada sekelompok yang mengunjungi anggota parlemen Arab dari Israel.
Gagasan soal Trump berencana menunjuk Yerusalem sebagai ibu kota Israel disebut-sebut sebagai langkah pendek untuk memindahkan kedutaan besar. Meskipun secara umum bersifat simbolis, langkah pemindahan tersebut ditentang keras oleh sejumlah negara di kawasan ini.
Gedung Putih diperingatkan lagi pekan lalu oleh pejabat kebijakan luar negeri AS dan pejabat keamanan mengenai risiko terhadap diplomasi dan keamanan AS di wilayah tersebut dengan memindahkan kedutaan.
Seruan Abbas sejauh ini ditujukan pada para pemimpin Arab, Presiden Perancis Emmanuel Macron, dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, di tengah kekhawatiran bahwa peringatan Palestina mungkin tidak dipertimbangkan oleh Gedung Putih.
Erdogan mengatakan kepada Abbas bahwa sebuah negara merdeka Palestina harus memiliki Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya, kantor berita Anadolu yang dikelola negara Turki melaporkan.
Abbas juga mengatakan akan menggelar pertemuan Organisasi Kerjasama Islam dan Liga Arab untuk membahas masalah tersebut.
Sementara konsensusnya adalah bahwa Trump akan menandatangani soal pemindahan kedutaan AS, ketidakpastian keputusan Presiden AS yang cenderung memberi isyarat pro-Israel telah memicu kecemasan.
Yordania, Presiden Liga Arab saat ini, akan mengundang anggota kedua organisasi Islam tersebut untuk bersidang jika pengakuan tersebut diperpanjang.
"Ini pada akhirnya dapat menghambat semua upaya proses perdamaian dan memiliki risiko yang sangat tinggi untuk memprovokasi negara-negara Arab serta Muslim dan komunitas Muslim di barat," kata sumber diplomatik Yordania, yang meminta tidak disebutkan namanya, kepada Reuters.
Berbicara kepada Fox News pada Minggu, penasihat keamanan nasional Trump, HR McMaster, mengatakan bahwa penasihat presiden telah mempresentasikan kepadanya sejumlah opsi mengenai masalah ini.
"Ada beberapa opsi yang melibatkan perpindahan kedutaan di masa depan, yang menurut saya bisa Anda gunakan untuk mendapatkan momentum menuju kesepakatan damai, dan sebuah solusi yang sesuai untuk orang Israel dan Palestina," kata McMaster.
Penulis: Yuliana Ratnasari
Editor: Yuliana Ratnasari