Menuju konten utama
12 September 1923

Metode Dakwah dan Sikap Politik Persatuan Islam dari Masa ke Masa

“Persis menegaskan bahwa semua orang Islam wajib aktif dalam kegiatan politik sebagai salah satu kewajiban agama."

Metode Dakwah dan Sikap Politik Persatuan Islam dari Masa ke Masa
Ilustrasi Mozaik Persatuan Islam. tirto.id/Nauval

tirto.id - Persatuan Islam (Persis) didirikan oleh Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus di Bandung pada 12 September 1923, tepat hari ini 97 tahun silam. Organisasi keagamaan ini menjadi populer dengan bergabungnya Ahmad Hassan, dai kelahiran Singapura yang mulanya datang ke Bandung untuk belajar pertenunan.

Pengaruh Ahmad Hassan bagi perkembangan Persis sangat besar. Pada 1941 ia pindah dari Bandung ke Bangil, Jawa Timur, atas permintaan keluarganya. Dan di kota ini juga Persis berkembang pesat.

“Ahmad Hasan adalah adalah figur utama dalam Persatuan Islam dan ia bertanggung jawab terhadap orientasi khasnya dalam persoalan-persoalan keislaman […] Tidak ada orang lain lagi dalam organisasi itu yang mengekspresikan diri sepenuh hati seperti yang dilakukan Ahmad Hassan,” tulis Howard Federspiel dalam Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX (1996).

Dalam menjalankan dakwahnya, Persis rajin membuat sejumlah media cetak berupa majalah. Dadan Wildan mencatat dalam “Pergulatan Persatuan Islam (Persis) dalam Dakwah di Tatar Sunda: Kajian terhadap Majalah Sunda Iber sebagai Media Dakwah Berbahasa Sunda” yang ia paparkan pada Konferensi Internasional Budaya Sunda II (19-22 Desember 2011), sejak pengujung 1920-an Persis telah menerbitkan majalah, yakni Pembela Islam (1929).

Selanjutnya majalah lain terbit berturut-turut sepanjang tahun 1930-an, yakni Al-Fatwa (1931), Al-Lissan (1935), At-Taqwa (1937), dan Al-Hikam (1939). Menurut Dadan Wildan, At-Taqwa adalah majalah berbahasa Sunda untuk memenuhi kebutuhan orang-orang Sunda yang tidak mengerti bahasa Indonesia. Sebelum berhenti terbit pada 1941, tiras At-Taqwa rata-rata mencapai 1.000 eksemplar.

Menjelang berakhirnya masa revolusi, Persis kembali menerbitkan majalah baru bernama Aliran Islam pada 1948. Selanjutnya mereka juga menerbitkan majalah Risalah (1962), Iber (1967), dan Pemuda Persis Tamaddun (1970). Publikasi mereka tak sebatas itu, menurut Dadan Wildan di cabang-cabang Persis pun terbit sejumlah siaran publikasi lain bagi para jamaah.

Lahir dan berpusat di Bandung, Persis sangat memerhatikan jamaahnya yang mayoritas penutur bahasa Sunda. Selain At-Taqwa, Iber yang bermakna “kabar” atau “berita” juga memakai bahasa Sunda dan bertahan sangat lama. Majalah yang berslogan “Basana Moal Basi (Bahasanya tidak akan Basi)” ini dipelopori oleh K.H. E. Abdullah.

“Jargon ‘Basana Moal Basi’ seolah ingin menegaskan kepada para pembacanya, bahwa bahasa, kajian, isi, dan substansi yang ada di dalam majalah itu tidak dibatasi oleh waktu dan tanggal penerbitan,” tulis Dadan Wildan.

Catatan Dadan ini memperlihatkan irisan bagaimana Persis bersinar dan bertahan di Jawa Barat. Selain Ahmad Hassan sebagai sosok yang berpengaruh yang tinggal cukup lama di Bandung, majalah-majalah berbahasa Sunda juga menjadi salah satu faktor yang merebut simpati masyarakat Tatar Sunda.

Bahkan, untuk para penutur bahasa Jawa, Iber juga menyajikan rubrik “Bahasa Jawa” meski porsinya sedikit dan diletakkan di bagian akhir majalah.

Pasang Surut Persis dalam Politik Nasional

Dalam kancah politik nasional, Persis beberapa kali ikut berkecimpung dengan kader-kadernya yang militan. Dadan Wildan Anas dan kawan-kawan dalam Anatomi Gerakan Dakwah Persatuan Islam (2015) menerangkan, Persis tercatat sebagai anggota istimewa Partai Masyumi bersama Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.

Mereka menambahkan, anggota-anggota Persis secara pribadi dianjurkan memasuki Partai Masyumi, bahkan beberapa tokohnya seperti Mohammad Natsir dan Isa Anshary terpilih sebagai pimpinan Partai Masyumi di tingkat pusat.

“Persis menegaskan bahwa semua orang Islam wajib aktif dalam kegiatan politik sebagai salah satu kewajiban agama. Hal ini tampak dalam tulisan-tulisan A. Hassan, tulisan dan pidato-pidato Isa Anshary serta Muhammad Natsir, tertuang pula dalam manifesto organisasi, dan secara panjang lebar dalam fatwa-fatwa ulama Persis,” tulisnya.

Mohammad Natsir yang merupakan sosok penting Partai Masyumi, adalah kader Persis yang banyak belajar dari Ahmad Hassan sejak ia bersekolah di Bandung, yakni di AMS jurusan sastra Belanda.

“Sosok inilah (Ahmad Hassan) yang menginspirasi dan membentuk karakter Mohammad Natsir. Kesederhanaan hidup, ketekunan, dan buah pikirannya yang tajam kelak di kemudian hari seolah diwariskan pada Natsir,” tulis Artawijaya dalam Belajar dari Partai Masjumi (2014).

Saat Masyumi berkesempatan masuk dalam pusaran kekuasaan nasional, M. Natsir menjabat sebagai Perdana Menteri. George McTurnan Kahin dalam “In Memoriam: Mohammad Natsir (1907-1993)” yang dikutip Dadan Wildan Anas dan kawan-kawan dalam Anatomi Gerakan Dakwah Persatuan Islam (2015) menyebut M. Natsir sebagai tokoh yang memengaruhi perkembangan pemikiran sosial dan politik Islam di Indonesia.

“Ia memainkan peran yang penting dalam menceritakan sejarah politik negerinya,” tulisnya.

Sementara Isa Anshary yang menjadi Ketua Persis dari 1948 sampai 1961 adalah sosok yang garang di pelbagai palagan debat. Ia terutama ganas terhadap paham komunis yang menguat pada periode 1950-an sampai pertengahan 1960. Tokoh-tokoh PKI menjadi musuh bebuyutannya dalam adu pendapat.

Pada 4 Maret 1957, ia menandatangani manifesto politik Persis yang dikeluarkan oleh Pusat Pimpinan Persis. Beberapa poin dari manifesto itu di antaranya adalah menolak konsepsi Bung Karno yang menyertakan kaum komunis ke dalam pemerintahan Republik Indonesia. Selain itu, Persis juga mengajak segenap kaum muslimin untuk melakukan perlawanan total dan frontal terhadap ideologi komunisme.

Selama kepemimpinannya, Persis berkali-kali mengeluarkan manifesto yang semuanya ditujukan untuk menentang komunisme. Sejumlah manifesto itu terbit pada tahun 1953, 1954, 1957, 1958, dan 1960. Bahkan pada periode 1953 sampai 1958, Isa Anshary menerbitkan majalah anti komunis dan membentuk “Front Anti Komunis”.

“Tulisan-tulisannya selama periode ini menampilkan seruan kepada umat Islam untuk melawan ideologi-ideologi yang tidak selaras dengan Islam. Dalam tulisan yang berjudul 'Bahaya Merah di Indonesia' dan kemudian dalam pidatonya sebelum sidang konstituante, Isa Anshary mengecam komunisme karena bertentangan dengan Islam dan nasionalisme Indonesia” tulis Dadan Wildan Anas dan kawan-kawan dalam Anatomi Gerakan Dakwah Persatuan Islam (2015).

Bukti lain tentang kerasnya Persis terhadap komunisme adalah kisah tentang organisasi otonom Persis yang diisi oleh para generasi muda yang bernama Pemuda Persis. Mereka sempat melakukan infiltrasi ke kantong-kantong yang dikuasai oleh PKI.

Infografik Mozaik Persatuan Islam

Infografik Mozaik Politik Persatuan Islam. tirto.id/Nauval

Para pemuda ini melakukan sejumlah ceramah dan pengajian keliling, dan kadang jika situasinya sangat genting, mereka tidak membawa nama organisasi. Masyarakat menyebut mereka sebagai “mubalig liar” atau “mubalig amateur”

Selain itu, karena Pemuda Rakyat (organ pemuda PKI) ikut serta dalam Badan Kerjasama Pemuda dan Militer (BKSPM) yang dibentuk oleh pemerintah Sukarno, Pemuda Persis menolak ikut bergabung dalam badan tersebut.

“Kami dari Pemuda Persis sudah berkeyakinan bahwa haram hukumnya bekerjasama dengan komunis, jika Pemuda Rakyat bercokol di BKSPM, Pemuda Persis akan berdiri di luar,” ungkap mereka.

Persis juga sempat berseteru dengan NU. Dadan Wildan Anas dan kawan-kawan menyebutkan, setelah NU memutuskan untuk keluar dari Partai Masyumi, Persis lewat Sekretaris Umum-nya yakni K.H. E. Abdurrahman menyebut NU hanya menggunakan sebutan Ahlu Sunnah wal Jamaah sebagai simbol partai dan propaganda, serta menyebarkan fitnah dan hasutan.

“Ia (K.H. E. Abdurrahman) menegaskan bahwa Persis-lah, dan bukan NU, sebenarnya yang pantas disebut Ahlu Sunnah wal Jamaah, karena Persis selalu berusaha menghilangkan bid’ah dalam agama serta menjalankan ajaran islam yang sebenarnya,” tulis mereka.

Sepanjang sejarah, keterlibatan Persis dalam politik nasional, tambah mereka, sangat diwarnai oleh sikap para pemimpin dan tokoh-tokohnya. Jika Ahmad Hassan menjadi peletak dasar prinsip-prinsip Persis yang bersifat pemikiran keagamaan, maka M. Natsir dan Isa Anshary bersikap amat politis dan aktif dalam pelbagai tikungan tajam politik nasional.

Generasi berikutnya, Persis agak menjauh dari gempita politik sebelum K.H. Abdul Latief Muchtar sebagai Ketua Persis bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Lalu di masa kepemimpinan K.H. Shiddieq Amien, Persis kembali fokus kepada kegiatan pendidikan dan dakwah.

Dan sekarang di masa kepemimpinan K.H. Aceng Zakaria, jika dilihat dari sikap resmi Persis yang tidak mengarahkan dukungan politiknya kepada salah satu capres dan cawapres pada Pilpres 2019 lalu, Persis masih menjaga jarak dengan kontestasi politik nasional.

“Pendulum ini bergerak berkorespondensi secara langsung dengan pemimpinnya dan secara tidak langsung dengan iklim politik. Tetapi semua pemimpin itu sangat sadar akan tugasnya, yaitu menegakkan Alquran dan Sunnah,” pungkas Dadan Wildan Anas dan kawan-kawan.

==========

Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 22 Februari 2019. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait PERSATUAN ISLAM atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh

tirto.id - Politik
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Nuran Wibisono