tirto.id - Alkisah, kucing liar (Felis catus) datang ke Australia pada sekitar awal abad ke-17. Mereka dibawa oleh rombongan imigran kulit putih Eropa yang menumpang kapal-kapal Belanda dan mendirikan pemukiman baru di benua suku Aborigin, demikian mengutip catatan Kementerian Lingkungan Australia.
Kucing liar dimanfaatkan untuk mengontrol populasi tikus, baik di kapal maupun di pemukiman baru. Beberapa bahkan ada yang sengaja diimpor oleh pemukim untuk tujuan yang sama.
Di sebuah peternakan dekat Bourke, pedalaman New South Wales, pemukim pernah memesan ratusan kucing liar dari Inggris. Para pemukim di Pulau St. Francis di lepas pantai Australia selatan juga melakukan hal serupa. Sasarannya tidak hanya tikus, tapi juga pengerat jenis marsupialia (hewan berkantung) ukuran kecil.
Sebagian besar bergerak sendiri. Mereka aktif di malam hari (nokturnal). Pada siang hari mereka berdiam di liang, bebatuan, atau batang-batang kayu. Liangnya kerap bekas kelinci—hewan yang jadi salah satu mangsa mereka. Selaku karnivora, kucing liar turut memburu burung, reptil, amfibi, ikan, dan serangga.
Daya tahan kucing liar tergolong prima karena bisa bertahan di tempat yang minim air. Kucing liar melakukan tugasnya dengan efektif. Satu ekor kucing bisa memakan 10 tikus untuk mengenyangkan perut. Tapi dalam semalam ia bisa lanjut berburu 50-an lainnya hanya untuk memuaskan hasrat membunuh.
Problem lanjutannya: mereka sangat sukses beranak pinak sehingga populasinya amat susah dikontrol.
Mengancam Ragam Hewan Endemik
Dua tahun lalu Guardian melaporkan penelitian Dr. Sarah Legge dari University of Queensland yang mengungkap kucing liar telah memadati 99,8 persen Australia. Artinya, ada satu kucing liar di setiap empat kilometer persegi.
Legge mengembangkannya dari hampir 100 survei yang dijalankan dari 40 peneliti lingkungan dari beberapa lembaga. Ia menemukan total populasi kucing liar di Australia lebih rendah dari 20 juta sebagaimana perkiraan sebelumnya. Ia memperkirakan jumlahnya antara 2,1 hingga 6,3 juta.
Meski demikian Legge mengungkapkan tidak butuh kucing liar sebanyak itu untuk mengganggu keseimbangan ekosistem. Pemerintah pun dikejar-kejar untuk menyelamatkan 124 spesies asli yang menghadapi ancaman kepunahan akibat jadi santapan kucing-kucing liar.
Setiap tahunnya kucing liar mencabut nyawa 1000-an jenis binatang per tahun, mulai dari jangkrik hingga kadal. Sebagian kucing liar yang berukuran besar bahkan mampu memamah walabi (sejenis Kanguru ukuran kecil).
Kebutuhan makan plus hasrat membunuhnya yang tinggi membuat kucing liar se-Australia mematikan satu juta burung, satu juta reptil, dan satu juta mamalia kecil per harinya. Peneliti tidak melimpahkan seluruh kesalahan pada kucing liar, demikian dalam laporan Nikkei Asia Review, tapi juga pada rubah.
Komisioner Spesies Terancam Australia, Gregory Andrews, berkata pada Sidney Morning Herald bahwa kucing liar adalah ancaman terbesar bagi hewan-hewan asli Australia. “Mereka sudah secara langsung memusnahkan antara 20-30 mamalia asli,” ujar Andrews.
Andrews menegaskan pihaknya tidak melaksanakan perburuan massal karena menyukainya atau karena benci kucing. Mereka hanya dipaksa situasi untuk “menyelamatkan binatang-binatang yang kami cintai dan yang mendefinisikan kami sebagai bangsa, seperti bilby, warru (walabi batu berkaki hitam) dan burung beo malam.”
Kembali merujuk pada Kementerian Lingkungan Australia, kucing liar di Pulau Macquarie menyebabkan penurunan drastis populasi burung parkit berkepala merah pada 1880-an hingga kepunahannya pada 1891.
Di daratan utama mereka mengancam 35 spesies burung, 35 mamalia, 7 reptil dan 3 amfibi. Mereka diperkirakan berkontribusi terhadap kepunahan banyak mamalia ukuran kecil hingga menengah, burung-burung yang bersarang di zona kering, dan secara serius memengaruhi populasi bilby, mala, dan numbat.
Perburuan Tak Semulus Rencana
Situasi tersebut menjadi kekhawatiran pemerintah Australia dalam beberapa tahun terakhir. Pada pertengahan Juli 2015 mereka akhirnya menggalakkan program genosida kucing liar. Targetnya dua juta kucing liar pada 2020, atau jika mengacu ke perkiraan tertinggi, mencapai sepertiga dari total populasi.
Praktiknya tidak semudah wacana. Kucing liar punya pergerakan yang cepat sehingga susah ditangkap. Mereka pemburu yang efisien sebab jarang meninggalkan jejak. Hal ini dikarenakan kucing liar bukan pemakan bangkai, melainkan pemburu aktif. Mereka juga terlalu pintar untuk perangkap konvensional.
Beberapa komunitas yang peduli telah bergerak memburu kucing liar. Pemerintah Australia menggelontorkan $5 juta untuk mereka. New York Times, misalnya, baru-baru ini menyuguhkan laporan perburuan kucing liar oleh asosiasi-asosiasi penembak di Australia.
Para konservasionis mengusulkan untuk membangun kembali habitat yang lebat agar hewan-hewan berkantung bisa memiliki pertahanan diri yang lebih baik. Upaya ini bisa dibarengi dengan meningkatkan dingo, anjing liar yang salah satu mangsanya adalah kucing liar, di daerah pedalaman.
Kembali mengutip Guardian, Dr. Christopher Dickman dari University of Sydney mengatakan beberapa proyek menunjukkan bahwa meningkatkan populasi dingo di suatu wilayah mampu menekan populasi kucing liarnya.
Sempat ada usulan memerangkap, mensterilisasi agar tidak bisa beranak, dan mengembalikan kucing liar ke alam. Dickman menilai usulan itu “gila” sebab dampaknya baru akan terasa jika yang disterilkan minimal 75 persen dari total populasi. Sterilisasi, katanya, juga memperpanjang usia harapan hidup sehingga kucing yang dilepas justru akan melatenkan problem.
Kembali ke laporan Sydney Morning Herald, salah satu eksperimen paling menarik yang sedang dilakukan adalah menyemprotkan racun ke tubuh kucing liar.
Satu alat dipasang di habitat mereka. Berbekal kamera infra-red, alat akan otomatis menembakkan racun ke bulu kucing (menggunakan algoritma kompleks yang bisa mengidentifikasi kucing liar dan makhluk lain).
Sebagaimana kebiasaan kucing pada umumnya, target akan menjilat bulunya, lalu racun masuk ke tubuh, dan pada akhirnya akan membunuhnya.
Suara Kontra pun Menggema
Program genosida ini tentu saja mengundang sikap kontra dari para pecinta kucing di seluruh dunia.
Sebuah petisi yang di Change.org muncul tak lama setelah pemerintah Australia mengumumkan programnya. Isinya mengecam sekaligus meminta penghentian “pembunuhan tak manusiawi kucing liar di Australia”. Hingga awal Mei 2019 petisi sudah mencapai hampir 15.000 tanda tangan dukungan.
Kecaman juga datang dari penyanyi Inggris Morrisey yang juga seorang aktivis hak-hak binatang. Menurut Guardian yang mengutip rilis yang dimuat beberapa media musik, Morrisey menyebut program pemerintah Australia sebagai bentuk “kebodohan yang terlalu jauh”.
“Kucing-kucing itu, yang menjaga populasi tikus terkontrol, akan dibunuh dengan cara yang ganas dengan menggunakan Compound 10/80, jenis racun yang menyayat usus secara mengerikan dan lama. Kucing-kucing itu, pada dasarnya, dua juta Cecil si Singa dalam ukuran yang lebih kecil,” katanya.
CNN World mengutip pendapat Tim Doherty, ekologis dari Deakin University of Australia. Doherty sepakat jika kucing liar mengancam populasi binatang asli, tapi ia menyebut program genosida pemerintah didasarkan pada sains yang kurang akurat.
“Pada saat itu, saat targetnya dicanangkan pada 2015, kita tidak benar-benar mengetahui berapa jumlah kucing liar di Australia. Tidak ada cara yang bisa diandalkan untuk memperkirakannya. Jika Anda ingin menetapkan sebuah target, jika Anda ingin hasilnya bermakna, Anda harus mampu mengukur kemajuan Anda sendiri.”
Doherty juga mengkritik cara perburuan komunitas-komunitas penembak yang terpencar-pencar. “Pelaksanaannya mesti terpusat, bukan pendekatan pencar pistol.”
Pada 2016 pemerintah Australia telah berhasil membantai 211.000 kucing liar. Masih jauh dari target. Tapi angkanya terus bertambah dan mereka masih punya waktu tiga tahun lagi.
Editor: Windu Jusuf